Sunday 31 August 2014

Teropong



                                   Simpati

                                                            Oleh: Mustofa AS

   DI KAMPUNGKU, ganden adalah sebutan untuk palu berukuran besar. Tapi, Ganden yang kuceritakan ini adalah tetanggaku. Menurut pengakuannya, orangtua Ganden  memang sengaja memberinya nama demikian. Dengan harapan agar anaknya dipanggil Gan (singkatan dari Juragan) atau Den (singkatan dari Raden), dua panggilan untuk orang keturunan ningrat. Namun, dasar nasib, ternyata orang lebih suka memanggilnya dengan sebutan lengkap, Ganden.

   Ganden memang hanya sebagai tukang cuci mobil di pinggir jalan Kalimalang. Namun, rupanya ia memiliki kesadaran politik yang lumayan. Paling tidak, di kalangan tetangganya ia dikenal sebagai seorang yang suka bicara tentang peta politik di tanah air. Sebagai pengamat politik tingkat RT, ia bisa berjam-jam ngobrol permasalahan nasional yang sedang aktual, termasuk  kasus Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Ganden menyukai acara debat politik, talk show atau acara semacam itu di televisi.

   Anehnya, ia tidak suka mrenjadi anggota partai politik. Katanya, ia mengikuti jejak para mahasiswa yang mempelajari ilmu politik. Semakin banyak tahu tentang politik, semakin malas ikut berpolitik. “Lihat Mas, tokoh-tokoh mahasiswa yang berdemo dan kemudian terjun ke dunia politik jarang yang dari fakultas sosial politik. Sejarah telah mencatatnya,”ujar pria yang  berumur 40-an dan kurus itu.

   Iseng-iseng saya tanya pandangannya mengenai hasil Pemilu 1999 yang sementara ini dimenangkan oleh PDI Perjuangan. Dengan antusias ia mengatakan bahwa kemenangan partai tersebut karena banyak rakyat pemilih menaruh simpati kepada Mega. Selain figur Megawati Soekarnoputri sebagai penerus Bung Karno, kata Ganden, para konseptor PDI-P di sekeliling Mega adalah orang-orang yang pintar.

   Meskipun banyak orang menyangsikan kemampuan Merga sebagai calon presiden mendatang, namun rakyat kebanyakan  masih memandang dan menghormati Bung Karno.”Jadi, mereka yang mencoblos PDI-P kebanyakan orang-orang yang dulu mengidolakan Bung Karno turun temurun,”kata Ganden sambil menyedot kreteknya dalam-dalam.

   “Banyak orang yang bersimpati kepada Mega. Karena, ketika banyak pemimpin partai dan orang-orang pandai beramai-ramai menghujat  mantan Presiden Soeharto, Mega tidak ikuit-ikutan. Ia lebih banyak berdiam diri. Mungkin karena dia juga pernah menanggung betapa sakitnya menerima hujatan dari banyak orang terhadap kesalahan yang dibuat almarhum ayahnya,” tambah Ganden dengan gaya meyakinkan. “Orang-orang kecil juga mengalami nasib seperti Mega, mereka tertindas dan terpinggirkan pada masa Orde Baru,” sambungnya.

   Ketika diajak untuk debat capres, Megawati juga menolak dengan alasan debat terbuka bukan budaya kita. “Nah, jawaban Mega yang sederhana itu  justru menarik simpati masyarakat. Karena, rakyat menganggap figur ini ternyata seorang nasionalis tulen,” kata Ganden lagi dan matanya pun kemudian tampak berbinar-binar. “Saya pernah dengar perkataan seorang ulama. Katanya doa orang yang teraniaya itu cepat dikabulkan. Nah, mungkin doa Mega dikabulkan untuk memenangkan  Pemilu kali ini.  Karena selama orde baru Mega ditindas dan teraniaya. Bahkan, sampai sekarang pun banyak yang masih memandang dengan sebelah mata kepadanya,” tambah Ganden dengan suara lirih.

   Mengenai kemungkinan Ketua Umum PDI-P itu menjadi presiden, Ganden sejenak mengerutkan dahinya. “Begini, Mas. Untuk mencapai orang nomor satu di negara ini, sepertinya sulit bagi Mega. Mengapa?” pertanyaan itu kemudian dijawabnya sendiri, “Soalnya, umat Islam di Indonesia yang jumlahnya mayoritas tidak menghendaki seorang wanita menjadi pemimpin selama masih ada pria yang mampu untuk jabatan itu. Ini ajaran agama. Maka jalan Mega menuju Istana Negara pasti akan dihadang kendala,” ujar Ganden dengan wajah sungguh-sungguh.

  Ia kemudian menunjuk hasil Rapimnas II PPP Selasa lalu. Partai berlambang Kabah itu memutuskan menolak calon presiden wanita. Keputusan itu merupakan tindak lanjut partai atas fatwa para ulama bahwa presiden mendatang haruslah putra terbaik bangsa dan beragama Islam. Aku pun hanya mengangguk-angguk dan mengucapkan terima kasih kepada tetanggaku itu.


 Harian Umum ABRI
Kamis, 17 Juni 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.