Simpati
Oleh: Mustofa AS
DI KAMPUNGKU, ganden
adalah sebutan untuk palu berukuran besar. Tapi, Ganden yang kuceritakan ini adalah
tetanggaku. Menurut pengakuannya, orangtua Ganden memang sengaja memberinya nama demikian.
Dengan harapan agar anaknya dipanggil Gan (singkatan dari Juragan) atau Den
(singkatan dari Raden), dua panggilan untuk orang keturunan ningrat. Namun,
dasar nasib, ternyata orang lebih suka memanggilnya dengan sebutan lengkap,
Ganden.
Ganden memang hanya sebagai
tukang cuci mobil di pinggir jalan Kalimalang. Namun, rupanya ia memiliki
kesadaran politik yang lumayan. Paling tidak, di kalangan tetangganya ia
dikenal sebagai seorang yang suka bicara tentang peta politik di tanah air.
Sebagai pengamat politik tingkat RT, ia bisa berjam-jam ngobrol permasalahan nasional yang sedang aktual, termasuk kasus Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Ganden
menyukai acara debat politik, talk show
atau acara semacam itu di televisi.
Anehnya, ia tidak suka
mrenjadi anggota partai politik. Katanya, ia mengikuti jejak para mahasiswa
yang mempelajari ilmu politik. Semakin banyak tahu tentang politik, semakin
malas ikut berpolitik. “Lihat Mas, tokoh-tokoh mahasiswa yang berdemo dan
kemudian terjun ke dunia politik jarang yang dari fakultas sosial politik.
Sejarah telah mencatatnya,”ujar pria yang
berumur 40-an dan kurus itu.
Iseng-iseng saya tanya
pandangannya mengenai hasil Pemilu 1999 yang sementara ini dimenangkan oleh PDI
Perjuangan. Dengan antusias ia mengatakan bahwa kemenangan partai tersebut
karena banyak rakyat pemilih menaruh simpati kepada Mega. Selain figur Megawati
Soekarnoputri sebagai penerus Bung Karno, kata Ganden, para konseptor PDI-P di
sekeliling Mega adalah orang-orang yang pintar.
Meskipun banyak orang
menyangsikan kemampuan Merga sebagai calon presiden mendatang, namun rakyat
kebanyakan masih memandang dan
menghormati Bung Karno.”Jadi, mereka yang mencoblos PDI-P kebanyakan
orang-orang yang dulu mengidolakan Bung Karno turun temurun,”kata Ganden sambil
menyedot kreteknya dalam-dalam.
“Banyak orang yang
bersimpati kepada Mega. Karena, ketika banyak pemimpin partai dan orang-orang
pandai beramai-ramai menghujat mantan
Presiden Soeharto, Mega tidak ikuit-ikutan. Ia lebih banyak berdiam diri.
Mungkin karena dia juga pernah menanggung betapa sakitnya menerima hujatan dari
banyak orang terhadap kesalahan yang dibuat almarhum ayahnya,” tambah Ganden dengan
gaya meyakinkan. “Orang-orang kecil juga mengalami nasib seperti Mega, mereka
tertindas dan terpinggirkan pada masa Orde Baru,” sambungnya.
Ketika diajak untuk debat
capres, Megawati juga menolak dengan alasan debat terbuka bukan budaya kita. “Nah,
jawaban Mega yang sederhana itu justru
menarik simpati masyarakat. Karena, rakyat menganggap figur ini ternyata
seorang nasionalis tulen,” kata Ganden lagi dan matanya pun kemudian tampak
berbinar-binar. “Saya pernah dengar perkataan seorang ulama. Katanya doa orang
yang teraniaya itu cepat dikabulkan. Nah, mungkin doa Mega dikabulkan untuk memenangkan Pemilu kali ini. Karena selama orde baru Mega ditindas dan
teraniaya. Bahkan, sampai sekarang pun banyak yang masih memandang dengan
sebelah mata kepadanya,” tambah Ganden dengan suara lirih.
Mengenai kemungkinan Ketua
Umum PDI-P itu menjadi presiden, Ganden sejenak mengerutkan dahinya. “Begini,
Mas. Untuk mencapai orang nomor satu di negara ini, sepertinya sulit bagi Mega.
Mengapa?” pertanyaan itu kemudian dijawabnya sendiri, “Soalnya, umat Islam di
Indonesia yang jumlahnya mayoritas tidak menghendaki seorang wanita menjadi
pemimpin selama masih ada pria yang mampu untuk jabatan itu. Ini ajaran agama.
Maka jalan Mega menuju Istana Negara pasti akan dihadang kendala,” ujar Ganden
dengan wajah sungguh-sungguh.
Ia kemudian menunjuk hasil
Rapimnas II PPP Selasa lalu. Partai berlambang Kabah itu memutuskan menolak
calon presiden wanita. Keputusan itu merupakan tindak lanjut partai atas fatwa
para ulama bahwa presiden mendatang haruslah putra terbaik bangsa dan beragama
Islam. Aku pun hanya mengangguk-angguk dan mengucapkan terima kasih kepada
tetanggaku itu.
Harian Umum ABRI
Kamis, 17 Juni 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.