Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa
shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Sudah sering kita mendengar ucapan
semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani.
Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang
Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di
antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar
(baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat
natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan
sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau
dianjurkan.
Namun untuk mengetahui manakah yang
benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada
ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini
janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang
diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu
sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan
orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini.
Mereka berusaha mengutak-atik dalil
atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena
ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa
nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham
orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa
nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada
kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari
ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.
Fatwa Pertama – Mengucapkan Selamat
Natal dan Merayakan Natal Bersama
Berikut adalah fatwa ulama besar
Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari
kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu
‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum mengucapkan selamat natal
(Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan
mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah
seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa
maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena
malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah
kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”
Beliau rahimahullah menjawab :
..
Memberi ucapan Selamat Natal atau
mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada
orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama
(baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim
rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah
mengatakan,
“Adapun memberi ucapan selamat pada
syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan
selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari
raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang
berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan
semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari
kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini
pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka
lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi
Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang
memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa,
berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama
terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan
dari amalan yang mereka perbuat.
Oleh karena itu, barangsiapa memberi
ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka
dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan
Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari penjelasan di atas, maka dapat
kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah
sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti
seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat.
Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun
tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar
kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah
Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya
Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi
hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu
itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3)
Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat
Natal?
Memberi ucapan selamat semacam ini
pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis
ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka
tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka
sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi
hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari
raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus
dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.
Mengenai agama Islam yang mulia ini,
Allah Ta’ala sendiri berfirman,
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron [3] : 85)
[Bagaimana Jika Menghadiri
Perayaan Natal?]
Adapun seorang muslim memenuhi
undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan
semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat
terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi
menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.
[Bagaimana Hukum Menyerupai Orang
Nashrani dalam Merayakan Natal?]
Begitu pula diharamkan bagi kaum
muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling
tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan
dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah,
pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal).
Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَ تَشَبَّ بِقَىِوٍ فَهُىَ يِ هُُِىِ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul
Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,
“Menyerupai orang kafir dalam
sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas
kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan
pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan
kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-
Barangsiapa yang melakukan sebagian
dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah
dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau
sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama
Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat
dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.
Allah-lah tempat kita meminta.
Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah
memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum
muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha
Mulia.
Fatwa Kedua – Berkunjung Ke Tempat
Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka
Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin,
3/29-30, no. 405.
Syaikh rahimahullah ditanya : Apakah
diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat
hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?
Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak diperbolehkan seorang muslim
pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana
ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar
terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَبِذَءُوا انْيَهُىدَ وَلاَ ان صََُّارَي بِانسَّلاَوِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi
dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)
Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika
itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi
pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk
menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.
Bagaimana mungkin perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya
masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk
menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini
dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.
Fatwa Ketiga - Merayakan Natal
Bersama
Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah
Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan
Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Pertanyaan : Apakah seorang muslim
diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang
biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian
orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka
duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa
hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada
dalil syar’i yang membolehkan hal ini?
Jawab :
Tidak boleh bagi kita bekerjasama
dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada
sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan
karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di
samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa.
Padahal Allah berfirman,
وَتَعَاوَ ىَُا عَهَ انْبِرِّ وَانتَّقْىَي وَنَا تَعَاوَ ىَُا
عَهَ انْئِثْىِ وَانْعُذِوَاٌِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)
Semoga Allah memberi taufik pada
kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Saatnya Menarik Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan :
Pertama,
Kita –kaum muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di
dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram
oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang
dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.
Kedua,
Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani
dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qoyyim.
Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini
sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman
yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَيَ يُشَاقِقِ انرَّسُىلَ يِ بَعِذِ يَا تَبَيَّ نَ انْهُذَي
وَيَتَّبِعِ غَيِرَ سَبِيمِ انْ ؤًُِيِ يُِنَ ىَُنِّ يَا تَىَنَّ وَ صَُِهِ جَهَ
ىََُّ وَسَاءَتِ
يَصِيرّا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’
(kesepakatan) mereka.
Oleh karena itu, yang mengatakan
bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada
orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin
menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama
dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan
dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika
menyelisihinya.
Ketiga,
jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu
bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh
Allah Ta’ala.
Keempat,
tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang
kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.
Kelima,
membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena
ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.
Keenam,
diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta
natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau
makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.
Demikianlah beberapa fatwa ulama
mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk
menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke
jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya
Allah-lah yang dapat memberi taufik.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa
shohbihi wa sallam.
Hukum Mengucapkan Selamat Natal
Saya ingin bertanya bagaimana
hukumnya dalam Islam mengucapkan selamat natal. Apakah haram hukumnya?
Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dgn teman-teman ataupun
relasi? Terima kasih untuk jawabannya.
Pertanyaan kedua, bagaimana hukumnya
seorang pegawai supermarket yang diminta atasan untuk mengenakan topi
sinterklaus dalam rangka memeriahkan natal.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Waalaikumussalam Wr Wb
Perbedaan Pendapat tentang
Mengucapkan Selamat Natal
Diantara tema yang mengandung
perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan selamat Hari Natal. Para ulama
kontemporer berbeda pendapat didalam penentuan hukum fiqihnya antara yang
mendukung ucapan selamat dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar
kepada sejumlah dalil.
Meskipun pengucapan selamat hari
natal ini sebagiannya masuk didalam wilayah aqidah namun ia memiliki hukum
fiqih yang bersandar kepada pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci
terhadap berbagai nash-nash syar’i.
Ada dua pendapat didalam
permasalahan ini :
1. Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu
Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh
Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal
hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama
mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya.
Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh
(menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
Mereka juga berpendapat wajib
menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai
perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk
menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai
perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka
serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah
mereka.
2. Jumhur
ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka
mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا
أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
#Artinya : “Apabila kamu diberi
penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An
Nisaa : 86)
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa
juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang
yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin
minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini
memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim
atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan
maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau
berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ
مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ
وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ
عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah)
orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
Kalimat-kalimat yang digunakan dalam
pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama
mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat
pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima
berbagai hadiah dari mereka karena sesungguhnya Nabi saw telah menerima
berbagai hadiah dari non muslim seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir
dan juga yang lainnya dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang
diharamkan oleh kaum muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang membolehkan
adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al
Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di
Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho.
(www.islamonline.net)
Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia)
pada tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan
dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an
maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa ummat Islam diperbolehkan
untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat Islam tidak boleh
mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat Islam harus mengakui
ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada
para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan
bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu
anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat
nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar
mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam mengajarkan bahwa Allah SWT
itu hanya satu.
G) Islam mengajarkan ummatnya untuk
menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta
untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram
kecuali Darurat
Di antara dalil yang digunakan para
ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah swt :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al
Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshoh
(keringanan) dari Allah swt untuk membina hubungan dengan orang-orang yang
tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan
bahwa hal itu adalah pada awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan
meninggalkan perintah berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini
dihapus dengan firman Allah swt :
….فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدتُّمُوهُمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah :
5)
Adapula yang menyebutkan bahwa hukum
ini dikarenakan satu sebab yaitu perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan
futuh Mekah maka hukum didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal
hanya tulisannya untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus
untuk para sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi
saw dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi mengatakan bahwa mereka
adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu
Sholeh. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini
dikhususkan terhadap orang-orang beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang
mengatakan bahwa yang dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan
anak-anak dikarenakan mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan
untuk berbuat baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli
tafsir… (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari pemaparan yang dsebutkan Imam
Qurthubi diatas maka ayat ini tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi
dikhususkan untuk orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah saw
selama mereka tidak memutuskannya (ahli dzimmah).
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban
kafir dzimmi adalah sama persis dengan kaum muslimin di suatu negara islam.
Mereka semua berada dibawah kontrol penuh dari pemerintahan islam sehingga
setiap kali mereka melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar
perjanjian maka langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Di dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah
kamu memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian
bertemu salah seorang diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.”
(HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan sempitkan jalan
mereka adalah jangan biarkan seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi
jadikan dia agar berada ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut
berjalan bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada
halangan baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan di sini
jangan sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding atau
yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits “menyempitkan jalan” itu
menunjukkan bahwa seorang muslim harus bisa menjaga izzahnya dihadapan
orang-orang non muslim tanpa pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan.
Namun demikian dalam menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi
mereka sehingga mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini
terjadi maka ia akan mendapatkan sangsi.
Disebutkan didalam sejarah bahwa
Umar bin Khottob pernah mengadili Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan
anaknya yang memukul seorang Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih
pernah memenangkan seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib
dalam kasus beju besinya.
Sedangkan pada zaman ini,
orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah suatu pemerintahan islam yang
terus mengawasinya dan bisa memberikan sangsi tegas ketika mereka melakukan
pelanggaran kemanusiaan, pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang
muslim ataupun umat islam.
Keadaan justru sebaliknya,
orang-orang non muslim tampak mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia
baik pilitik, ekonomi, budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi
ini, mereka melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol
islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari
pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang
minoritas kaum muslimin.
Bukan berarti dalam kondisi dimana
orang-orang non muslim begitu dominan kemudian kaum muslimin harus kehilangan
izzahnya dan larut bersama mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama
mereka. Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya
dihadapan berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi bagaimanapun.
Tentunya diantara mereka—orang-orang
non muslim—ada yang berbuat baik kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya
maka terhadap mereka setiap muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik
pula.
Al Qur’an maupun Sunah banyak
menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang
baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al
Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi
maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya
saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya
di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan baik kepada mereka bukan
berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena
batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt
:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)
Hari Natal adalah bagian dari prinsip-prinsip
agama Nasrani, mereka meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan.
Didalam bahasa Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus
sedangkan Mass berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang
berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus menurut
keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.
Berbuat kebaikan kepada mereka dalam
hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Natal dikarenakan
alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya
(aspek sosial).
Pemberian ucapan selamat Natal baik
dengan lisan, telepon, sms, email ataupun pengiriman kartu berarti sudah
memberikan pengakuan terhadap agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip
agama mereka. Hal ini dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى
لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika kamu kafir Maka
Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari
Natal kepada orang-orang Nasrani baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga,
teman kantor, teman sekolah dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana
pendapat kelompok pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya)
dan juga fatwa MUI.
Namun demikian setiap muslim yang
berada diantara lingkungan mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang
tempat tinggalnya diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja
dengan orang Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim
yang sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada
di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan
selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya tersebut
disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun harus tidak
dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan baginya untuk
beristighfar dan bertaubat.
Di antara kondisi terpaksa misalnya;
jika seorang pegawai muslim tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss
atau atasannya maka ia akan dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya.
Atau seorang siswa muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada
Gurunya maka kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil,
dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah atau
negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada para
tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan sosial dan lain
sebagainya.
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ
أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa yang kafir
kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)
Adapun apabila keadaan atau kondisi
sekitarnya tidaklah memaksa atau mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali
terhadap karir, jabatan, hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya
terhadap diri dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan
Selamat Hari Natal kepada mereka.
Hukum Mengenakan Topi Sinterklas
Sebagai seorang muslim sudah
seharusnya bangga terhadap agamanya yang diimplementasikan dengan berpenampilan
yang mencirikan keislamannya. Allah swt telah menetapkan berbagai ciri khas
seorang muslim yang membedakannya dari orang-orang non muslim.
Dari sisi bisnis dan muamalah, islam
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba yang merupakan warisan orang-orang
jahiliyah. Dari sisi busana, islam memerintahkan umatnya untuk menggunakan
busana yang menutup auratnya kecuali terhadap orang-orang yang diperbolehkan
melihatnya dari kalangan anggota keluarganya. Dari sisi penampilan, islam
meminta kepada seorang muslim untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis.
Islam meminta setiap umatnya untuk
bisa membedakan penampilannya dari orang-orang non muslim, sebagaimana sabda
Rasulullah saw,”Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah
jenggot dan cukurlah kumis.” (Muttafaq Alaih)
Islam melarang umatnya untuk
meniru-niru berbagai prilaku yang menjadi bagian ritual keagamaan tertentu
diluar islam atau mengenakan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka
seperti mengenakan salib atau pakaian khas mereka.
Terkadang seorang muslim juga
mengenakan topi dan pakaian Sinterklas didalam suatu pesta perayaan Natal
dengan teman-teman atau bossnya, untuk menyambut para tamu perusahaan yang
datang atau yang lainnya.
Sinterklas sendiri berasal dari
Holland yang dibawa ke negeri kita. Dan diantara keyakinan orang-orang Nasrani
adalah bahwa ia sebenarnya adalah seorang uskup gereja katolik yang pada usia
18 tahun sudah diangkat sebagai pastor. Ia memiliki sikap belas kasihan,
membela umat dan fakir miskin. Bahkah didalam legenda mereka disebutkan bahwa
ia adalah wakil Tuhan dikarenakan bisa menghidupkan orang yang sudah mati.
Sinterklas yang ada sekarang dalam
hal pakaian maupun postur tubuhnya, dengan mengenakan topi tidur, baju berwarna
merah tanpa jubah dan bertubuh gendut serta selalu tertawa adalah berasal dari
Amerika yang berbeda dengan aslinya yang berasal dari Turki yang selalu
mengenakan jubah, tidak mesti berbaju merah, tidak gendut dan jarang tertawa.
(disarikan dari sumber : http://h-k-b-p.blogspot.com)
Namun demikian topi tidur dengan
pakaian merah yang biasa dikenakan sinterklas ini sudah menjadi ciri khas
orang-orang Nasrani yang hanya ada pada saat perayaan Hari Natal sehingga
dilarang bagi setiap muslim mengenakannya dikarenakan termasuk didalam
meniru-niru suatu kaum diluar islam, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Siapa
yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (Muttafaq Alaih)
Tidak jarang diawali dari sekedar
meniru berubah menjadi penerinaan dan akhirnya menjadi pengakuan sehingga bukan
tidak mungkin bagi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar keimanan yang kuat
kepada Allah ia akan terseret lebih jauh lagi dari sekedar pengakuan namun bisa
menjadikannya berpindah agama (murtad)
Akan tetapi jika memang seseorang
muslim berada dalam kondisi terdesak dan berbagai upaya untuk menghindar
darinya tidak berhasil maka ia diperbolehkan mengenakannya dikarenakan darurat
atau terpaksa dengan hati yang tidak redho, beristighfar dan bertaubat kepada
Allah swt, seperti : seorang karyawan supermarket miliki seorang Nasrani,
seorang resepsionis suatu perusahaan asing, para penjaga counter di perusahaan
non muslim untuk yang diharuskan mengenakan topi sinterklas dalam menyambut
para tamunya dengan ancaman apabila ia menolaknya maka akan dipecat.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo Lc
Eramuslim, Sabtu, 8 Rabiul Awwal 1437 H / 19
Desember 2015
MUI Tak Haramkan Muslim Ucapkan Selamat Natal
Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsuddin, berjabat tangan dengan Paus Fransiskus
dalam Forum Katolik Muslim ketiga di Vatikan, 13 November 2014. Istimewa
Jakarta - Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat Din Syamsuddin meluruskan pendapat yang berkembang di
masyarakat tentang MUI mengharamkan ucapan selamat Natal. Menurut Din, MUI tak
pernah mengeluarkan fatwa yang melarang umat muslim mengucapkan selamat Natal
pada umat Kristiani.
"Fatwa MUI pada 1981 itu tentang Perayaan Natal Bersama. Hal yang diharamkan adalah bila umat Islam mengikuti upacara Natal bersama," kata Din, yang dihubungi Tempo, Selasa, 23 Desember 2014. (Baca: Perayaan Natal, Gubernur FPI Mengacu pada UUD 45)
Menurut Din, fatwa, yang dikeluarkan pada masa Buya Hamka menjadi Ketua MUI itu, dikeluarkan karena saat itu banyak muslim yang ikut upacara Natal bersama di gereja. Tindakan itu diharamkan karena berkaitan dengan urusan ibadah. "Kerukunan umat beragama pada saat itu salah kaprah," ujarnya. (Baca: Muhammadiyah Tak Haramkan Muslim Ucapkan Natal)
Din membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal terutama apabila yang merayakan adalah kerabat dan saudara. Menurut Din, ucapan tersebut tidak akan merusak keyakinan agama seorang muslim. Islam, kata Din, adalah agama yang membawa rahmat pada sekalian alam bukan merusak kerukunan. (Baca: Gubernur FPI Pantang Ucap Selamat Natal ke Ahok)
Dia menegaskan tidak ada larangan mengucapkan selamat Natal. Namun, bila masih ada umat Islam yang tidak ingin memberikan ucapan tersebut, hal itu juga harus dihargai. "Yang pasti, saya tegaskan bahwa di dalam Fatwa MUI mengucapkan selamat Natal tidak pernah diharamkan." (Baca: Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad)
TEMPO.CO,
"Fatwa MUI pada 1981 itu tentang Perayaan Natal Bersama. Hal yang diharamkan adalah bila umat Islam mengikuti upacara Natal bersama," kata Din, yang dihubungi Tempo, Selasa, 23 Desember 2014. (Baca: Perayaan Natal, Gubernur FPI Mengacu pada UUD 45)
Menurut Din, fatwa, yang dikeluarkan pada masa Buya Hamka menjadi Ketua MUI itu, dikeluarkan karena saat itu banyak muslim yang ikut upacara Natal bersama di gereja. Tindakan itu diharamkan karena berkaitan dengan urusan ibadah. "Kerukunan umat beragama pada saat itu salah kaprah," ujarnya. (Baca: Muhammadiyah Tak Haramkan Muslim Ucapkan Natal)
Din membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal terutama apabila yang merayakan adalah kerabat dan saudara. Menurut Din, ucapan tersebut tidak akan merusak keyakinan agama seorang muslim. Islam, kata Din, adalah agama yang membawa rahmat pada sekalian alam bukan merusak kerukunan. (Baca: Gubernur FPI Pantang Ucap Selamat Natal ke Ahok)
Dia menegaskan tidak ada larangan mengucapkan selamat Natal. Namun, bila masih ada umat Islam yang tidak ingin memberikan ucapan tersebut, hal itu juga harus dihargai. "Yang pasti, saya tegaskan bahwa di dalam Fatwa MUI mengucapkan selamat Natal tidak pernah diharamkan." (Baca: Soal Natal, FPI Anggap Presiden Jokowi Murtad)
TEMPO.CO,
Rabu, 24 Desember 2014 | 12:13 WIB
Dalil yang Melarang Ucapan Selamat Natal?
Ada
yang mengatakan, “Nggak ada larangan, baik di Quran maupun hadis, untuk ucapan
selamat natal, Ustadz.. Coba aja dicari”. Benarkah demikian?
Belum lama ini sebuah media memuat
salah satu pernyataan tokoh liberal yang menyebutkan bahwasannya tidak
ada larangan mengucapkan selamat natal baik dalam Al-Quran maupun hadis.
“Nggak ada larangan, baik di Quran maupun hadis, untuk ucapan selamat natal,
Ustadz.. Coba aja dicari”, ungkapnya.
Benarkah demikian?
Ternyata tidak demikian
kenyataannya. Baiklah, pada kesempatan kali ini -setelah memohon taufik kepada
Allah ‘azzwajalla– penulis akan memaparkan dalil-dalil tersebut. Mari
kita simak pemaparannya berikut ini.
Dalil pertama:
firman Allah ta’ala,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Hamba-hamba Allah yang Maha belas
kasih sayang, yaitu orang-orang yang tidak mau menghadiri atau menyaksikan
upacara agama kaum musyrik (Az-zuur). Jika mereka melewati tempat yang sedang
digunakan untuk upacara agama oleh kaum musyrik, mereka segera berlalu dengan
sikap baik” (QS. Al-Furqon, 72).
Makna kata Az-zuur dalam ayat
di atas adalah hari raya orang-orang musyrik. Sebagaimana diterangkan oleh para
ulama tafsir seperti Mujahid, Rabi’ bin Anas, Ikrimah, Qadhi Abu Ya’la, dan
Ad-Dhahak.
Kurang tepat bila kata Az-zuur
dalam ayat di atas dimaknai “dusta” karena kata Az-zuur di sini
bertemu dengan kata kerja yasy-hadu yang tidak bergandengan dengan huruf
ba’. Dalam gramatika bahasa Arab, verba “syahida” ( yasy-hadu
adalah bentuk fi’il mudhari’nya) bila tidak bergandengan dengan huruf ba’,
maka maknanya adalah ikut serta atau hadir dalam sebuah peristiwa. Semisal
kalimat ini,
شهدت كذا
(Syahidtu
kadza)
Artinya “Saya hadir dalam peristiwa
ini.”
Sebagaimana pula perkataan Umar bin
Khattab radhiyallahu’anhu,
الغنيمة لمن شهد المعركة
(Al-ghaniimatu liman syahida al-ma’rakah)
Artinya “Ghanimah (harta
rampasan perang) itu diperuntukkan untuk mereka yang ikut serta dalam
peperangan” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf no. 9689).
Juga perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu’anhuma,
شهدت العيد مع رسول الله صلى الله
عليه وعلى آله وسلم..
(Syahidtu
al-‘iid ma’a Rasulillah shallallahu’alaihi wa’ala aalihi wasallam)
Artinya “Saya mengahadiri/merayakan
hari raya bersama Rasulullah shallallahu’alaihiwa’alaaalihiwasallam ”
(HR. Bukhari no. 962).
Adapun bila bersandingan dengan
huruf ba’, maka maknanya adalah kalimat berita. Seperti ini,
شهدت بكذا
Syahidtu bi
kadza
Artinya “Saya mengabarkan kejadian
ini.”
Nah, yang kita jumpai pada ayat di
atas adalah kata kerja yash-hadu tidak bergandengan dengan huruf ba’.
Oleh karenanya, makna yang tepat untuk potongan ayat “Wal ladziina laa Yasy-haduunaz
Zuur” adalah orang-orang yang tidak ikut serta dalam merayakan
hari raya orang kafir. Berbeda bila kata yash-hadu bergandengan
dengan huruf ba’, sehingga bunyi ayat menjadi “Wal ladziina laa Yasy-haduuna
biz Zuur”, barulah maknanya “dan orang-orang yang tidak bersaksi
dengan persaksian palsu atau dusta“. Penjelasan ini sekaligus menjadi
koreksi terhadap terjemahan ayat di atas yang beredar di masyarakat.
Pertanyaan:
Lalu mengapa hari raya orang kafir disebut az-zuur yang makna
leksikalnya adalah “kebohongan”?
Jawabannya adalah karena masuk dalam
cakupan makna az-zuur (kebohongan) adalah segala hal yang disamarkan
dari hakikat sebenarnya atau dinampakkan baik padahal sejatinya buruk. Boleh
jadi karena motivasi syahwat atau karena syubhat. Kemusyrikan misalnya, ia
nampak baik di mata para penganutnya karena syubhat. Dan musik nampak indah di
mata para pendengarnya karena motivasi syahwat. Adapun hari perayaan
orang-orang kafir terkumpul di dalamnya dua hal ini; yaitu motivasi syahwat dan
syubhat. Alasan lain adalah karena hari raya orang kafir terasa indah di dunia,
padahal ending di akhirat nanti adalah kesengsaraan. Oleh karena itulah
hari raya mereka disebut az-zuur (Iqtidha’ Shirat Al-mustaqim,
279-280).
Setelah menyimak peaparan di atas,
jelaslah bahwa makna az-zuur dalam ayat adalah hari raya kaum kafir. Ini
dalil bahwa berlepas diri dari perayaan-perayaan kaum kafir adalah sebab
mendapatkan pujian dari Allah ‘azzawajalla. Dan ciri ‘ibaadurrahman
(hamba-hamba Allah yang Maha belas kasih sayang) adalah, mereka yang berlepas
diri dari upacara perayaan hari raya kaum kafir.
Apakah masuk dalam hal ini ucapan
selamat? Tentu. Karena secara tidak langsung, melalui ucapan selamat tersebut
ia telah ikut serta dan turut mengambil andil dalam memeriahkan hari raya
mereka.
Dalil kedua:
Hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan, “Setibanya
Nabi di Madinah, orang-orang Madinah kala itu memiliki dua hari yang mereka bersenang-senang
(merayakan) dua hari tersebut. Lantas Nabi bertanya,
ما هذان اليومان ؟
“Dua hari apa ini?”
إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما:
يوم الأضحى ويوم الفطر
“Sesungguhnya Allah telah
menggantikan dua hari yang lebih baik dari dua hari tersebut, yaitu hari raya
idul adha dan idul fitri.” Tangkas Nabi shallallahu’alaihiwasallam”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa’i).
Sisi pendalilan dari hadis di atas:
Sesuatu yang telah telah tergantikan, maka ia menjadi tidak berlaku karena
telah digantikan oleh hal lain. Tidak mungkin berlaku padanya dua keadaan
sekaligus, yaitu antara berlaku dan telah tergantikan, tentu ini
kontradiksi. Pada hadis di atas diterangkan bahwa Allah ‘azzawajalla
telah menggantikan untuk umat Islam dengan hari raya yang lebih baik daripada
perayaan kaum jahiliyah tersebut, sehingga tidak dibenarkan bila kemudian ada
di antara kaum muslimin yang ikut serta merayakan hari raya orang-orang kafir.
Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari yang lebih baik dari dua hari
tersebut.” menunjukkan pengingkaran beliau akan keikutsertaan umatnya dalam
memeriahkan hari raya kaum kafir. Dan ucapan selamat (tahniah) termasuk
bentuk keterlibatan dalam perayaan mereka. Bahkan itu adalah alamat yang paling
nampak akan keterlibatannya dalam perayaan hari raya orang-orang kafir.
Perlu juga kita ketahui, di antara
bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada hamba-Nya adalah tidak
diharamkan sesuatu melainkan dihalalkan hal yang sejenis. Seperti Allah
mengharamkan riba, kemudian Allah menghalalkan jual beli. Mengharamkan zina
kemudian Allah halalkan nikah. Mengharamkan memeriahkan perayaan orang kafir,
lalu Allah halalkan untuk kita dua hari raya besar, idul fitri dan idul adha.
(Ya Allah… cukupkanlah kami dengan
perkara-perkara yang Engkau halalkan, dari perkara – perkara yang Engkau haramkan.)
Dalil Ketiga:
Hadis Tsabit bin Dhahak radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan, “Seorang
datang menemui Nabi shallallahu’alaihiwasallam sembari berkata, ‘Wahai
Rasulullah, saya pernah bernadzar untuk menyembelih unta di Babwanah (nama
sebuah tempat di dekat kota Makkah).’”
هل كان فيها وثن من أوثان الجاهلية
يُعبد ؟
“Apakah di sana ada arca yang
disembah oleh kaum jahiliyah?” Tanya Rasulullah kepada para
sahabatnya.
“Tidak wahai Rasulullah.” Jawab para
sahabat.
Nabi bertanya kembali,
هل كان فيها عيد من أعيادهم ؟
“Apakah di tempat itu pernah
dilaksanakan perayaan hari rayanya orang-orang jahiliyah?”
“Tidak wahai Rasulullah.” Sahut para
sahabat.
Kemudian Nabi bersabda,
فأوف بنذرك ؛ فإنه لاوفاء بنذر في
معصية الله ولافيما لايملك ابن آدم
“Kalau begitu, silahkan tunaikan
nadzarmu. Karena sesungguhnya tidak boleh menunaikan nadzar yang mengandung
maksiat kepada Allah dan dalam hal yang di luar batas kemampuan manusia”
(HR. Abu Dawud, hadis yang semakna juga terdapat dalam shahihain).
Sisi pendalilan hadis di atas:
Hadis ini menunjukkan bahwa, menyembelih sembelihan di tempat yang
pernah digunakan untuk merayakan hari raya kaum musyrik adalah tergolong
perbuatan maksiat. Hal ini sebagaimana telah disinggung dalam sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“Kalau begitu, silahkan tunaikan nadzarmu. Karena sesungguhnya tidak boleh
menunaikan nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah.” Sabda ini beliau
sampaikan setelah beliau tahu bahwa di tempat tersebut tidak pernah digunakan
untuk merayakan hari raya orang musyrik.
Bila sekedar menyembelih di tempat
yang pernah digunakan untuk merayakan hari raya orang kafir saja terlarang,
apalagi sampai memberikan ucapan selamat kepada mereka yang menunjukkan
dukungan terhadap hari raya mereka. Bahkan para ulama menjelaskan, termasuk hal
yang dilarang bagi umat islam adalah menjual pernak-pernik kebutuhan hari raya
mereka. Karena seperti ini termasuk memberikan dukungan terhadap atas kekufuran
mereka, apalagi sampai memberi ucapan selamat.
Dalil Keempat:
Hadis Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha. Disebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam
bersabda,
إن لكل قوم عيداً وإن عيدنا هذا اليوم
– ليوم الأضحى-
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki
hari raya dan hari raya kita adalah hari ini (yaitu hari
idul adha)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis
ini mengajarkan kepada kita bahwa masing-masing kaum memiliki hari raya
sendiri. Semakna dengan firman Allah ta’ala,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap umat di antara kamu,
Kami berikan syari’at dan jalan masing-masing” (QS. Al-Maidah 48).
Untuk kaum muslimin, telah
ditetapkan hari raya untuk mereka. Sebagaimana disinggung dalam sabdanya shallallahu’alaihiwasallam,
“…hari raya kita adalah hari ini (yaitu hari idul adha)” dan hari raya idul fitri sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis lain. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Islam adalah agama berdikari yang tidak perlu mencomot ajaran agama lain untuk diberlakukan atas penganutnya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya menunjukkan sikap bangga dan percaya diri terhadap hari raya agamanya, tidak perlu ikut serta dengan perayaan hari raya orang lain.
“…hari raya kita adalah hari ini (yaitu hari idul adha)” dan hari raya idul fitri sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis lain. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Islam adalah agama berdikari yang tidak perlu mencomot ajaran agama lain untuk diberlakukan atas penganutnya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya menunjukkan sikap bangga dan percaya diri terhadap hari raya agamanya, tidak perlu ikut serta dengan perayaan hari raya orang lain.
Dalil kelima:
Hadis Ummu Salamah radhiyallahu’anha, dia menceritakan, “Nabi shallallahu’alaihiwasallam
lebih sering puasa
di hari sabtu dan ahad dari pada hari-hari yang lain. Beliau beralasan,
إنهما يوما عيد للمشركين فأنا أحب أن
أخالفهم
“Dua hari ini adalah hari rayanya
orang-orang musyrikin. Saya senang menyelisihi mereka”
(HR. Ahmad dan Nasa’i).
Ada dua faidah yang bisa kita petik
dari hadis ini
Pertama:
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menyukai perbuatan yang menyelisihi
orang-orang yahudi dan nasrani, terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan
syiar mereka dan hari raya adalah syiar terbesar yang ada dalam agama mereka.
Bila ada seorang muslim yang sampai ikut serta dalam syiar terbesar
mereka, itu menunjukkan bahwa ia telah menyelisi perinsip-prinsip kenabian.
Bila ada yang berdalih dengan
toleransi, maka kita katakan, “Toleransi itu ada batasannya. Bukan menyangkut
hal-hal prinsip seperti ini. Bila menyangkut hal yang prinsip, maka sikap
seorang muslim adalah lakum diinukum waliya diin; bagi kalian agama
kalian dan bagiku agamaku.” Bagaimana tidak dikatakan prinsip sementara dalam
perayaan natal tersebut orang-orang nasrani sedang merayakan hari kelahiran
anak tuhan (menurut presepsi mereka). Pada saat itulah mereka menyembah
tuhan-tuhan mereka secara besar-besaran. Berangkat dari sini, tidak dibenarkan
bagi seorang muslim untuk memberi ucapan selamat atas hari raya mereka.
Kedua:
Dalam sabdanya, Nabi menyebut orang-orang yahudi dan nasrani sebagai
“musyrikin”. Ini dalil bahwa boleh bagi kita untuk menyebut mereka
sebagai musyrikin. Sebagaimana juga diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah
ayat 72 dan surat At-Taubah ayat 31.
Dalil Keenam:
Atsar dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan
oleh Imam Al-Baihaqi,
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم
يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah kalian masuk ke
gereja-gereja kaum musyrikin di saat hari raya mereka karena kemurkaan Allah
sedang turun atas mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234).
Amat disayangkan bila kemudian ada
sebagian aktivis dakwah yang membolehkan ucapan selamat natal. Seakan lebih
paham tentang toleransi daripada sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu
yang mendapat julukan al-faruq (pembeda antara yang kebenaran dan
kebatilan) dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Dalil Ketujuh:
Masih seputar atsar dari Umar radhiyallahu’anhu. Pada kesempatan
yang lain beliau berkata,
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
“Jangan dekati orang-orang kafir
pada hari raya-hari raya mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234), dan Kanzul
‘amal 1/405).
Bila sekedar menemui mereka saat
mereka sedang merayakan hari raya saja terlarang, apalagi sampai memberi ucapan
selamat keapada mereka. Tak diragukan lagi dalam ucapan selamat tersebut
mengandung unsur persetujuan atas penyembahan mereka kepada patung-patung atau
dewa-dewa mereka.
Dari tulisan ini, pembaca sekalian
bisa menyimpulkan, apakah boleh mengucapkan selamat natal ataukah tidak, bahkan
dengan logika paling sederhana sekalipun. Demikian yang bisa penulis
sampaikan, Semoga Allah membimbing kita semua untuk meniti jalan yang
diridhai-Nya. Washallallah ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala aalihi wa shahbihi
wasallam.
____
____
*Referensi: Kitab Iqtidha’ Shirat
Al-mustaqim li Mukhalafati Ash-Haabil Jahiim, hal: 287-310. Cetakan Dar
Al-Fadhilah, tahun 1424 H. Tahqiq: Nashir bin Abdulkarim Al-‘aqel.
Madinah An-Nabawiyyah, Islamic
University, 22 Safar 1436
Penulis: Ahmad Anshori
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel Muslim.Or.Id
Selasa, 23 Desember 2014, 14:41 WIB
Irfan Hamka: Buya Ucapkan Selamat Natal
Republika/Agung Supriyanto
Acara bedah buku
Jakarta -- Putra
mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Hamka, Irfan Hamka membantah
ayahnya melarang mengucapkan selamat hari Natal kepada kaum Kristiani. Irfan
mengatakan, dalam fatwa yang dikeluarkan Buya pada 1981, isinya bukan
pelarangan mengucapkan selamat Natal atau mengharamkannya.
Tapi, kata dia, yang diharamkan Buya
adalah mengikuti ibadah Natal. Dia menjelaskan, maksud ayahnya tersebut, umat
Islam dilarang mengikuti ibadah umat yang merayakan Natal, seperti menyanyi di
gereja, membakar lilin atau apapun yang termasuk ibadah pada hari Natal.
Dia mengisahkan, ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut Kristen. Dulu saat tinggal di Kebayoran Baru, ungkap dia, ada dua orang tetangga yang merupakan Kristiani. Nama kedua orang itu adalah Ong Liong Sikh dan Reneker.
Dia mengisahkan, ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut Kristen. Dulu saat tinggal di Kebayoran Baru, ungkap dia, ada dua orang tetangga yang merupakan Kristiani. Nama kedua orang itu adalah Ong Liong Sikh dan Reneker.
Saat ayahnya merayakan Idul Fitri,
keduanya memberikan ucapan selamat kepada Buya. Begitu pun sebaliknya Buya juga
mengucapkan selamat kepada kedua tetangganya tersebut. “Selamat, telah
merayakan Natal kalian,” kata Irfan saat menirukan ucapan ayahnya kepada Republika,
Selasa (23/12).
Ulama penulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut mengegaskan, dalam kata 'Natal kalian' untuk membatasi akidah. Pasalnya, dalam Alquran dijelaskan 'Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku'. Bahkan, lanjut Irfan, Buya juga pernah meminta istrinya untuk memberikan rendang kepada tetangganya. Tapi, rendang tersebut diberikan bukan saat malam Natal, melainkan tahun baru masehi.
Irfan menegaskan tidak masalah mengucapkan selamat Natal, asalkan disertakan kata kalian atau bagi kaum Kristiano. Sebab, kata tersebut yang membedakan antara aqidah masing-masing agama. Dia juga meminta umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen sebelum umat tersebut merayakan ibadahnya. Karena, menurut Irfan, kata selamat diucapkan setelah peristiwa itu terjadi.Sumber:Republika.co.id
Ulama penulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut mengegaskan, dalam kata 'Natal kalian' untuk membatasi akidah. Pasalnya, dalam Alquran dijelaskan 'Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku'. Bahkan, lanjut Irfan, Buya juga pernah meminta istrinya untuk memberikan rendang kepada tetangganya. Tapi, rendang tersebut diberikan bukan saat malam Natal, melainkan tahun baru masehi.
Irfan menegaskan tidak masalah mengucapkan selamat Natal, asalkan disertakan kata kalian atau bagi kaum Kristiano. Sebab, kata tersebut yang membedakan antara aqidah masing-masing agama. Dia juga meminta umat Islam untuk tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen sebelum umat tersebut merayakan ibadahnya. Karena, menurut Irfan, kata selamat diucapkan setelah peristiwa itu terjadi.Sumber:Republika.co.id
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.