Monday 18 August 2014

Profil pengabdi seni


Suteja Neka pendiri dan kurator Museum Neka

Kekhawatiran akan mengalirnya  hasil-hasil karya seni lukis bermutu tinggi keluar negeri, menimbulkan tekad P.W. Suteja Neka untuk meninggalkan pengabdiannya di bidang pendidikan dan beralih mengabdi sebagai kolektor karya lukis bermutu. Cita-cita dan pengabdian  pria kelahiran Ubud, Bali, tahun 1939, itu kini  bisa kita saksikan dan  kita nikmati di Museum Neka yang terletak di Desa Campuan, Ubud, Bali.
Foto:yukpegi.com

Siapa pun pencinta seni akan kagum  melihat penataan  maupun koleksi seni lukis yang ada  di sana. Museum  Neka menawarkan karya pelukis-pelukis ternama  untuk dinikmati dan dikagumi, bahkan untuk ditelaah dan diperbandingkan.
Hasil-hasil karya para pelukis terkenal seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Doblog, Ida Bagus Widja, Affandi, Rusli, Nashar, Soedjojono, dan sederetan nama terkenal yang berkiprah dalam bidang seni lukis lainnya, terpampang di sana. Juga pelukis-pelukis mancanegara yang pernah tinggal menetap di Bali seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith dan lain-lainnya.

Tidak kurang dari 178 lukisan berbagai ukuran dipamerkan di museum yang dikelola swasta itu. Museum itu sendiri menempati tanah seluas 7.700 m2, dengan bangunan khas bercorak Bali seperti tata letak rumah keluarga besar masyarakat Bali.

Suteja Neka yang mantan guru kesenian itu, selain sebagai pendiri Museum Neka, ia juga sebagai kurator di sana.

Suteja yang sering mondar-mandir  mengadakan pameran lukisan baik di Bali, di luar Bali bahkan sampai ke Honolulu itu menyatakan, ia cukup berbahagia karena  pada masa pembangunan sekarang ini bisa ikut mengabdikan dirinya di bidang seni sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sekaligus dharma bakti terhadap kedua orang tuanya, terhadap guru, pemerintah, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keberanian Suteja Neka atas panggilan batinnya untuk bergelut dan berjuang menyelamatkan karya-karya seni lukis yang bermutu, patut kita hargai. Sebab dengan usaha yang dilakukan  dengan susah payah dan  pengorbanan yang tidak sedikit itu tentu tidak akan sia-sia. Khususnya bagi generasi mendatang untuk menikmati dan bercermin terhadap  kesungguhan para pelukis besar kita.
Para wisatawan yang berkunjung ke Ubud, rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjungi museum yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 7 Juni 1982 itu.

Prihatin
Menuturkan pengalamannya yang cukup panjang akhir tahun lalu, Suteja Neka merasa tergugah hatinya  untuk mengumpulkan karya-karya seni milik ayahnya dalam sebuah Art Shop kecil, setelah melihat keberhasilan ayahnya  sebagai seniman pematung yang sukses.
Wayan Neka, demikian nama ayah Suteja Neka,  adalah seorang pematung yang pada tahun 1935 tergabung dalam organisasi “Pita Maha” di bawah bimbingan Walter  Spies, Rudolf Bonnet, dan Cokorde Gde Agung Sukawati.

Wayan Neka berhasil menjuarai sayembara seni patung di Bali tahun 1960. Ia memperoleh berbagai hadiah, termasuk satu truk  kayu sawo kecik bahan patung.

Melihat keberhasilan ayahnya itu, Suteja mengumpulkan karya-karya ayahnya , di samping lukisan-lukisan tradisional Bali yang dipinjam dari kawan-kawan ayahnya dan beberapa  pelukis di sekitar Ubud, untuk dipajang di Art Shop-nya yang kecil itu.”dari hasil penjualan barang-barang seni itu kami memperoleh imbalan  yang dikumpulkan sebagai modal,”tutur pria yang mengaku hanya berpendidikan formal sampai SPG itu.

Istrinya membantu mengelola jual beli barang seni itu supaya ia tetap bisa melakukan tugasnya  sebagai guru. Perhatiannya  bisa tercurahkan kepada Arts Shopnya jika Suteja Neka selesai mengajar.
Dorongan untuk lebih giat bekerja datang ketika Wayan Neka mendapat kehormatan untuk membuat patung  garuda setinggi 3 meter untuk dipamerkan pada Pavilion Indonesia di New York World Fair.”Peristiwa itu mendorong kami untuk lebih giat mengumpulkan  lukisan-lukisan dengan modal yang ada,” ujar Suteja seraya mkenambahkan, banyak lukisan yang terkumpul diikutsertakan dalam pameran internasional itu.

Dengan dibukanya hotel internasional pertama di Bali yakni Hotel Bali Beach di Sanur, semakin banyak wisatawan mancanegara membawa souvenir atau cenderamata, termasuk memboyong karya seni bermutu tinggi ke negara asalnya.

Sebagai seorang guru seni Suteja merasakan keprihatinannya, karena banyaknya seni lukis bermutu tinggi diangkut ke negara lain. Merasa tidak mampu menjalankan dua tugas sekaligus, yakni sebagai guru dan pengumpul karya seni, Suteja lalu meninggalkan pengabdiannya  di bidang pendidikan. Walaupun katanya, hal itu dilakukan dengan berat hati.

“Mendokumentasikan  karya-karya seni lukis dari para seniman Bali merupakan pengabdian juga,”ucapnya. Sejak itu ia mulai mendokumentasikan lukisan-lukisan yang kelak akan dimanfaatkan untuk bahan pendidikan.

Memburu karya seni
Tentu tidak mudah memperoleh  karya-karya pelukis besar yang memiliki nilai tinggi dan berharga mahal. Ada yang mudah didapat, tetapi tidak jarang untuk mendapatkan satu lukisan ia harus berjuang habis-habisan. Jalan yang cukup ,berliku milsalnya, ketika ia memperoleh lukisan “Sabungan ayam dan penggembala bebek” karya Ida Bagus Made. Lukisan itu telah bertahun-tahun diincarnya.

Rumah Suteja dengan pelukis Ida bagus Made tidak begitu jauh. Sehingga antara keduanya sering melakukan diskusi  mengenai karya-karya seni lukis. Permintaan untuk memiliki ”Sabungan ayam dan penggembala bebek” ia kemukakan beberapa kali dengan cara akan membeli lukisan  tersebut. Namun  pelukis tersebut tetap tidak mau menyerahkan  lukisannya itu.”Yah  tapi saya tidak putus asa,” kata Neka menuturkan.

Suatu hari gallery Sutreja Neka  didatangi kolektor lukisan  dari Belanda dan tertarik pada beberapa lukisan koleksi Neka yang telah diputuskan untuk tidak dijual. Pemburu lukisan dari Belanda itu berkali-kali minta agar Suteja Neka sudi melepaskan salah satu koleksinya itu untuk dibawa ke negeri Belanda.” Ia katanya akan bersedih jika meninggalkan Bali tanpa lukisan yang  disenanginya itu, “ujar Neka menceritakan keinginan kuat tamunya itu.

Akhirnya Suteja Neka mau melepaskan lukisan itu dengan syarat kalau bisa ditukar dengan sebuah lukisan  karya Ida Bagus Made. Si pemburu lukisan itupun bergegas ke rumah Ida Bagus Made. Hampir-hampir tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya, Suteja Neka disodori lukisan ”Sabungan ayam dan penggembala bebek” oleh si Belanda sekembalinya dari rumah pelukis Bali itu.
Tentu saja ia berjingkrak kegirangan, karena lukisan yang diidam-idamkannya bertahun-tahun akhirnya bisa dimilikinya.

Terjadilah tukar menukar lukisan di gallery itu, lukisan koleksi Suteja Neka  ditukar dengan lukisan karya Ida Bagus Made.”Saya sedih melepaskan lukisan koleksi saya, tertapi bisa terobati lukisan dari Ida Bagus Made,”Suteja Neka mengungkapkan. Ia pun berpikir, mengapa lukisan itu lebih gampang  dilepaskan kepada orang asing, padahal ia telah lama meminta dengan cara membeli, namun tidak terlaksana.
Suteja pernah pula kecewa ketika memburu lukisan”Baju Hijau” (1974) karya pelukis Srihadi. Lukisan itu dipamerkan di TIM, Suteja diundang oleh Srihadi untuk  menghadiri pameran itu.
 Seusai pameran ia ke Bandung ke rumah Srihadi dengan niat membeli si Baju Hijau. Namun, betapa kecewanya lukisan itu ternyata telah dibeli oleh orang Jerman, ketika  pameran berlangsung. Berdasarkan pengalaman yang kurang enak itu, jika saya tergetar oleh suatu karya lukisan  sedapat mungkin saya langsung membelinya, takut keduluan orang lain, kata Suteja yang katanya masih terkenang-kenang akan  lukisan Baju Hijau itu.

Pengalaman lain yang cukup berkesan dalam memburu lukisan dikisahkan  oleh Suteja Neka. Suatu ketika ia mendatangi seorang pelukis senior yang memiliki koleksi cukup banyak. Dua buah lukisan  yang berjudul Pura Bali menarik perhatiannya, namun harganya cukup tinggi. Harga itu tidak bisa turun meskipun berkali-kali Suteja menawar. Apa boleh buat jauh-jauh dari Bali ke Jakarta akhirnya pulang dengan tangan hampa, katanya.

Suatu ketika pelukis senior dari Jakarta itu  datang ke gallery milik Neka. Di sana diperlihatkan semua koleksi lukisan  Suteja Neka, dan setelah cukup lama berbincang-bincang si pelukis itu menyatakan bahwa  lukisan yang ditaksir Suteja kini dibawanya dan boleh dibeli dengan harga seperti penawaran Suteja  pada saat di rumah pelukis tersebut.

Pelukis Bali yang memiliki nama besar I Gusti Nyoman Lempad ternyata  cukup murah hati, ketika Suteja menyatakan keinginannya  untuk mengoleksi lukisannya. Suteja disuruh memilih sendiri lukisan  yang disenanginya dan ketika  ia menanyakan harganya dengan kalem Lempad berkata,” Tidak usah dibayar, bawa sajalah karena  untuk dikoleksi dan tidak diperdagangkan,”tutur Suteja Neka menirukan kata-kata Lempad. Tentu saja peristiwa itu sangat berkesan di hati Neka.

Karya-karya Abadi
Tahun 1975 Suteja berkeliling ke beberapa kota di Eropa seperti Amsterdam, London, Roma, Jenewa, dan Paris. Kepergiannya ke sana itu  atas saran pembina seni lukis Bali Rudolf Bonnet, supaya Suteja menambah wawasan dengan melihat-lihat museum seni lukis di mancanegara itu. Saran itu dikemukakan Bonnet ketika Suteja Neka merencanakan  memperluas gallerynya pada tahun 1972.

Sepulang dari Eropa Suteja mulai memperluas gallerynya di Campuan Ubud dengan maksud menjadikan tempat itu sebagai museum seni lukis. Bentuk bangunan yang bisa kita lihat sekarang direncanakan oleh Suteja sendiri dan dibangun secara bertahap.

Menurut dia, jika uang telah terkumpul sebagian untuk membangun, sebagian lagi untuk membeli lukisan. Akhirnya  4 bangunan dengan  tata letak pekarangan  Bali rampung sudah, termasuk jumlah lukisan dinilai telah memadai.”Timbul keinginan kami sekeluarga untuk menjadikan koleksi barang seni itu suatu karya abadi dan lestari sepanjang masa,”ujarnya mengenang.

Maka ketika Menteri Daoed Joesoef berkunjung ke Bali Suteja  minta saran-saran dan mengemukakan keinginannya  untuk mendirikan museum seni lukis.

Setelah melalui berbagai proses, termasuk pemeriksaan oleh tim Bina Program Bidang  Permuseumann dan Sejarah Departemen P dan K Bali, maka dinyatakan persyaratan untuk museum pada bangunan itu  telah dipenuhi, karena telah sesuai dengan kesepakatan antara Indonesia dengan ICOM (International Council of Museum). Yakni badan permuseuman internasional yang didirikan Unesco.

Namun demikian pada saat itu masih ada persyaratan yang harus dipenuhi. Yakni suatu badan tetap yang   akan mengelola museum itu. Untuk itu dan atas saran tim pemeriksa dirancanglah suatu badan berupa yayasan.

Lahirlah Yayasan Dharma Seni yang mengelola Museum Neka atas restu Gubernur Bali Ida Bagus Mantra dan Ka Kanwil Departemen P dan K  Bali I Gusti Agung Gde Oka. Kedua pejabat itu duduk sebagai penasihat yayasan.

Di museum yang juga mendapat bantuan pemerintah itu kita bisa melihat lukisasn-lukisan yang  dibuat pada tahun 30-an karya Nyoman Lempad, Ketut Soki, dan sederetan nama  terkenal lainnya. Juga lukisan-lukisan masa kini karya pelukis-pelukis kenamaan  Indonesia.

 Empat gedung itu masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Gedung I digunakan untuk  memamerkan karya –karya pelukis Bali terkemuka  seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Doblog dan Ida Bagus Widja. Gedung II dipajang karya-karya pelukis Indonesia seperti  Affandi, Widayat, Fajar Sidik, Achmad Sadali, Srihadi, Popo Iskandar, Hendra Gunawan, Rusli, Nashar, Abas Alibasyah, Soedjojono, Nyoman Tusan, Dullah, Abdul Azis, Nyoman Gunarsa dan lain-lain.

Untuk gedung III dipamerkan  lukisan-lukisan karya tiga pelukis asing yang tinggal menetap di Bali dan ada  hubungannya dengan perkembangan  seni lukis di Bali. Mereka adalah Walter Spies, Rudolf Bonnet dan Artie Smith. Sedangkan  gedung IV tempat hasil pelukis asing lain yang pernah menetap di Bali, mendapat inspirasi lingkungan alam dan  kebudayaan Bali. Mereka adalah Theo Meier, V.G. Hofker, Hansnell, Antonio Blanco dan Donald Friend.

Museum Neka yang dikelola swasta itu selalu dikunjungi wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara, kini memiliki 15 karyawan.
Suteja Neka pernah menyertai koleksi lukisannya  dari Museum Neka  untuk dipamerkan di Honolulu Oktober tahun lalu. Selain itu ia pernah juga  berkunjung kie Selandia Baru atas undangan Garuda Indonesia.

Cita-citanya untuk mengabdikan dirinya di bidang seni, khususnya pelestarian seni lukis karya para pelukis kenamaan, kini terwujud. Di Ubud, Suteja Neka  juga memiliki gallery, tidak jauh dari rumahnya yang juga ditata apik. (Mustofa AS/2.1)




Harian Umum "AB" 
8 Februari 1989


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.