Friday 15 August 2014

Teropong

                                Tersanjung
                                                            
                                                          Oleh: Mustofa AS


INI sekelumit cerita mengenai wartawan. Temanku yang suka usil, menganggap wartawan itu makhluk yang langka. Mengapa? Tanpa menyebut angka-angka, katanya, jumlah juru warta alias jurnalis di negeri kita relatif sedikit bila dibandingkan dengan  profesi lainnya, misalnya dokter. Meskipun jumlah itu bertambah selama reformasi berjalan. Wartawan juga memiliki kedudukan yang baik di masyarakat.”Ibaratnya, kedudukan wartawan itu berada sedikit di bawah presiden dan sedikit di atas gembel !”katanya. Pokoknya, jadi wartawan kelihatannya menyenangkan!


Temanku ini bahkan bisa menggambarkan dengan baik tabiat atau kelakukan wartawan secara umum. Ceritanya, wartawan Indonesia, tentu, merupakan gambaran dari kebebasan. Dari penampilannya sehari-hari umumnya para jurnalis itu berbeda dengan profesi lainnya. Dari penampilannya orang akan segera tahu yang dihadapi itu wartawan,  ciri-ciri yang bisa dikenali antara lain sedikit nakal, agak sombong sedikit, sok tahu dan seringkali tidak mau mengalah. Benarkah itu?

Pendapat itu benar, tapi bisa juga tidak. Mungkin perilaku itu sebagai kompensasi dari apa yang sehari-hari dihadapi oleh profesi yang dulu dijuluki sebagai ‘kuli tinta’ itu, tuntutan memperoleh berita aktual dan berlomba dengan waktu.

Dulu pers (wartawan) dijuluki sebagai kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan, juga digelari sebagai ‘Ratu Dunia’. Silakan wartawan yang merasa tersanjung boleh tersenyum, tapi jangan lantas “GR” (Gedhe Rumongso), malu! Namun, di balik sebutan atau julukan terhadap profesi wartawan-dari sanjungan sampai penghinaan, sebenarnya pekerjaan wartawan banyak mengandung risiko.

 Wartawan selalu dikejar tugas dan waktu. Akibatnya, tidak jarang wartawan terkena stress. Maklum, rata-rata wartawan tak punya waktu makan tetap, pulang larut malam, akibatnya bangun pagi sering terlambat, dan malas berolahraga. Maka bisa dimengerti penyakit wartawan  tidak jauh dari hipertensi, liver, lambung terganggu, atau ginjal.  Maka, banyak wartawan kita yang mati muda.

Dalam pekerjaannya,  wartawan seringkali mengorbankan idealismenya (kalau masih ada), karena dia harus menghadapi kekuasaan (bisa di kantornya maupun di luar tempat ia bekerja). Teori yang didapat dari berbagai disiplin ilmu terkadang hanya tinggal kenangan. Ironi memang, seorang wartawan gigih memperjuangkan nasib orang atau kelompok lain. Tetapi, ia sendiri tak berdaya memperjuangkan nasibnya sendiri di media tempat ia bekerja. Kerja bagai kuda, tapi gaji bikin ia terus merana.

Menjelang kampanye Pemilu ’99 banyak suara mengkhawatirkan akan terjadinya kerusuhan. Nah, ketika meliput kerusuhan bagaimana  jaminan keselamatan   para insan pers itu? Seminar pun digelar, tetapi tak ada jalan keluar yang menjanjikan. Paling-paling wartawan harus bisa menyelamatkan diri sendiri bila ada kerusuhan. Itu sih kita semua sudah tahu.
 
Lalu, begitu rawankah profesi kewartawanan itu? Banyak wartawan terbunuh karena profesinya, terakhir adalah wartawan Bernas, Moh Syarifuddin alias Udin, dan wartawan BBC Jill Dando yang ditemukan tewas terkapar di dekat pintu depan rumahnya.

Hari Kebebasan Pers Internasional  3 Mei lalu, baru saja diperingati oleh UNESCO. Sekadar mengingatkan, alangkah idealnya bila setiap penerbitan pers mengansurasikan para wartawannya, tidak sekadar Jamsostek.  Sehingga, bila sesuatu yang buruk menimpa, sang wartawan maupun keluarganya tidak kapiran alias telantar.


Harian Umum ABRI
Kamis, 6 Mei 1999

                               


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.