Tersanjung
Oleh:
Mustofa AS
INI sekelumit cerita
mengenai wartawan. Temanku yang suka usil, menganggap wartawan itu makhluk yang
langka. Mengapa? Tanpa menyebut angka-angka, katanya, jumlah juru warta alias
jurnalis di negeri kita relatif sedikit bila dibandingkan dengan profesi lainnya, misalnya dokter. Meskipun
jumlah itu bertambah selama reformasi berjalan. Wartawan juga memiliki
kedudukan yang baik di masyarakat.”Ibaratnya, kedudukan wartawan itu berada
sedikit di bawah presiden dan sedikit di atas gembel !”katanya. Pokoknya, jadi wartawan kelihatannya
menyenangkan!
Temanku ini bahkan bisa
menggambarkan dengan baik tabiat atau kelakukan wartawan secara umum. Ceritanya,
wartawan Indonesia, tentu, merupakan gambaran dari kebebasan. Dari
penampilannya sehari-hari umumnya para jurnalis itu berbeda dengan profesi
lainnya. Dari penampilannya orang akan segera tahu yang dihadapi itu wartawan, ciri-ciri yang bisa dikenali antara lain
sedikit nakal, agak sombong sedikit, sok tahu
dan seringkali tidak mau mengalah. Benarkah itu?
Pendapat itu benar, tapi
bisa juga tidak. Mungkin perilaku itu sebagai kompensasi dari apa yang
sehari-hari dihadapi oleh profesi yang dulu dijuluki sebagai ‘kuli tinta’ itu,
tuntutan memperoleh berita aktual dan berlomba dengan waktu.
Dulu pers (wartawan)
dijuluki sebagai kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bahkan, juga digelari sebagai ‘Ratu Dunia’. Silakan wartawan yang merasa
tersanjung boleh tersenyum, tapi jangan lantas “GR” (Gedhe Rumongso), malu! Namun, di balik sebutan atau julukan
terhadap profesi wartawan-dari sanjungan sampai penghinaan, sebenarnya
pekerjaan wartawan banyak mengandung risiko.
Wartawan selalu dikejar
tugas dan waktu. Akibatnya, tidak jarang wartawan terkena stress. Maklum,
rata-rata wartawan tak punya waktu makan tetap, pulang larut malam, akibatnya
bangun pagi sering terlambat, dan malas berolahraga. Maka bisa dimengerti
penyakit wartawan tidak jauh dari
hipertensi, liver, lambung terganggu, atau ginjal. Maka, banyak wartawan kita yang mati muda.
Dalam pekerjaannya, wartawan seringkali mengorbankan idealismenya
(kalau masih ada), karena dia harus menghadapi kekuasaan (bisa di kantornya
maupun di luar tempat ia bekerja). Teori yang didapat dari berbagai disiplin
ilmu terkadang hanya tinggal kenangan. Ironi memang, seorang wartawan gigih
memperjuangkan nasib orang atau kelompok lain. Tetapi, ia sendiri tak berdaya
memperjuangkan nasibnya sendiri di media tempat ia bekerja. Kerja bagai kuda,
tapi gaji bikin ia terus merana.
Menjelang kampanye Pemilu
’99 banyak suara mengkhawatirkan akan terjadinya kerusuhan. Nah, ketika meliput
kerusuhan bagaimana jaminan
keselamatan para insan pers itu?
Seminar pun digelar, tetapi tak ada jalan keluar yang menjanjikan.
Paling-paling wartawan harus bisa menyelamatkan diri sendiri bila ada
kerusuhan. Itu sih kita semua sudah
tahu.
Lalu, begitu rawankah
profesi kewartawanan itu? Banyak wartawan terbunuh karena profesinya, terakhir
adalah wartawan Bernas, Moh
Syarifuddin alias Udin, dan wartawan BBC
Jill Dando yang ditemukan tewas terkapar di dekat pintu depan rumahnya.
Hari Kebebasan Pers
Internasional 3 Mei lalu, baru saja
diperingati oleh UNESCO. Sekadar mengingatkan, alangkah idealnya bila setiap
penerbitan pers mengansurasikan para wartawannya, tidak sekadar Jamsostek. Sehingga, bila sesuatu yang buruk menimpa,
sang wartawan maupun keluarganya tidak kapiran
alias telantar.
Harian Umum ABRI
Kamis, 6 Mei 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.