Gambaran penjara yang menakutkan kini
sudah berakhir
Oleh: Mustofa AS
Bila kita memasuki Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Tangerang,
Jawa Barat, beberapa langkah setelah melewati gerbang mata kita akan menangkap
warna hijau segar terpantul dari sejumlah bangunan berbentuk “cottage” yang
terlihat manis dan apik.
Antara bangunan satu dengan lainnya
dihubungkan dengan lantai beton dengan di kiri kanan bangunan terhampar halaman
dihiasi rumput hijau, di sudut-sudut lampu hias bulat menambah keasrian tempat
para wanita terpidana itu.
Kalau saja bangunan yang boleh dikatakan mewah itu tidak dihalangi pintu gerbang dan tembok keliling, siapa sangka itu sebuah Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Tangerang pindahan dari LP Bukit Duri Jakarta ini. Tentu saja menarik dari segi
keindahan bangunan dan perawatannya,
entah bagi para Narapidana di dalamnya.
Gedung yang ditempati sejak 5 Pebruarti 1981 itu menurut Kepala LP dra.
Wiwiek Haryati memang dibuat dengan sistem pondok rata-rata berbentuk melingkar dengan blok per blok.
Bangunan sebanyak 13 unit itu berdiri
diatas tanah seluas 2 hektar. Sebanyak 7 unit diperuntukkan bagi narapidana yang kapasitas
tampungnya 250 orang. Selebihnya untuk
kantor dan lain-lainnya. Setiap blok
mempunyai cukup lubang hawa terbuat dari kaca nako. Jeruji dibuat
sedemikian rupa sehingga sangat serasi dengan bentuk bangunan yang cukup kokoh
itu.
Bangunan LP yang bagus itu menurut Ny
Wiwiek dibuat bukan untuk memanjakan
para napi tetapi semata-mata untuk
memenuhi cita-cita pemasyarakatan yang menghargai hak asasi dan menjunjung
harkat manusia.
Kepala LP Wanita itu mengatakan, setiap
blok bisa memuat 30 orang dan setiap kamar bisa dihuni satu sampai 3 orang. Jumlah pegawai di
sana sebanyak 87 orang, 20 orang di
antaranya pria, 30 orang tenaga
administrasi dan selebihnya penjaga.
Lembaga yang diperuntukkan membina para
narapidana wanita dari seluruh Indonesia
itu kini menampung 55 napi terdiri dari 36 napi golongan B 1(orang
yang hukumannya setahun keatas), 17 napi golongan B IIa (di bawah1 tahun di
atas 3 bulan), seorang tahanan kejaksaan, seorang yang menunggu banding dan
seorang anak kecil yang ikut ibunya.
Karena usia anak tersebut belum mencapai dua tahun maka menurut peraturan
diperbolehkan ikut ibunya dengan tanggungan dari LP. Sesudah berumur dua
tahun harus dipisahkan dan tidak
dibenarkan ikut ibunya. Alasannya menurut Ny Wiwiek, karena anak
seusia itu sudah mulai mengerti dan keadaan di LP itu bisa mempengaruihi jiwa
si anak yang beranjak besar itu.
Kegiatan-kegiatan
Bagaimana kegiatan para napi di dalam
lingkungan tembok LP itu? Ternyata mereka juga punya kesibukan seperti
orang-orang di luar tembok LP, bedanya mereka tidak sebebas kita.
Seperti dituturkan Kepala LP bahwa
kegiatan para napi sehari-harinya sudah dijadwalkan, pukul 06.00 mereka keluar
dari bloknya masing-masing dan setelah membersihkan badan mereka makan bersama
sekitar pukul 07.00 dengan menu yang cukup memadai. Pukul 08.00 hingga 13.30
mereka bekerja di bengkel kerja (bengker) sesuai bidangnya masing-masing,
dengan diselingi istrirahat pukul 10.00. Makan malam pukul 17.00, setelah
isitirahat sejenak pukul 18.00 mereka masuk bloknya masing-masing.
Ketika “AB” melihat mereka, kebetulan
mereka sedang makan siang. Menu makan mereka berubah-ubah dari sayur lodeh ikan
asin sampai kepada daging dan telur dinikmati para napi wanita itu.
Para wanita penghuni LP itu selain bekerja
di bengker-bengker terutama dalam bidang kerajinan wanita seperti menjahit,
membordier, menyulam dll. Ada 7 mesin jahit dan sebuah mesin obras di sana.
Dari hasil kerja mereka kadang-kadang mendatangkan uang apabila hasilnya bisa
dijual.
Mereka juga diberikan kesempatan untuk
berolahraga al. senam, pingpong, volley dll. Untuk mengisi waktu dan menambah
pengetahuan mereka dapat membaca di
perpustakaan dan beribadah di mushola.
Terpidana wanita di LP itu juga dapat
menikmati suaran televisi berwarna sumbangan Ibu Tien Soeharto ketika
berkunjung kesana beberapa waktu lalu. Televisi yang disumbangkan itu sebanyak
7 buah, 1 di antaranya untuk para
pegawai. Juga karpet hijau sumbangan Ibu
Tien Soeharto terhampar menggantikan
tikar di mushola bagi para napi wanita itu.
Para
narapidana wanita itu bisa ditemui keluarganya
setiap minggu sekali yakni pada hari Sabtu pagi.
Sebuah lembaga pemasyarakatan lagi yang
hampir mirip keadaaannya dengan LP
Wanita yakni LP Wanita Pondok Bambu,
Jakarta Timur.
Kemiripannya terletak pada bentuk bangunan yang nampak
asri dengan perawatan yang baik pula,
sehingga kesan pertama bagi bukan terpidana
bila memasukinya terasa damai. Apalagi melihat hijaunya pepohonan yang menghiasai halaman dalam LP tersebut dipadu dengan warna hijau muda
yang nampaknya sebagai warna khas dari LP.
Lembaga pemasyarakatan ini memang
diperuntukkan khusus bagi napi pelanggar
Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum.
Di sini penghuni yang tidak terbatas
pria saja tetapi juga wanita dan wadam.
Terpidana di sana paling tinggi
menjalani hukuman 2 bulan dan kebanyakan dari mereka adalah pengemis,
gelandangan maupun pelacur kelas murah.
Menurut Ka Subsi Pembinaan LPK Pondok Bambu,
Suluh Pamungkas, meskipun hukuman terhadap mereka umumnya tidak lama, mereka
sempat pula diberikan penyuluhan /pembinaan mental dan pekerjaan tangan seperti
menjahit dll. Disediakan pula tempat ibadah, olahraga dll.
Para napi itu ditempatkan di kamar-kamar
dalam blok yang tiap bloknya dapat
menampung 26 orang, adapula yang
hanya dapat menampung 10 orang. Kamar-kamar untuk napi wanita
bisa ditempati sampai 5 orang.
Jika di antara mereka terdapat napi waria
(wadam) maka ia akan dipisahkan dari wanita maupun pria.
Para napi LPK itu juga mendapat
makan…….(hilang)
Memasuki Lembaga Pemasyarakatan Cipinang
rasanya seperti mengunjungi sebuah
asrama pria yang besar dan luas. Pintu besi di gerbang utama terlihat
kokoh dengan dua lubang pengintip dijaga dua pria berseragam coklat tua.
Sebuah “asrama pria” yang cukup kokoh
bangunannya, dari pintu gerbang kita bisa menyaksikan sekelompok orang orang
yang besuk bercampur baur dengan napi yang menemui kerabatnya dalam suatu ruang khsusus, pada waktu-waktu
besuk. Di sini meskipun terlihat bersih tidak nampak kehijauan yang sejuk
sebagaimana nampak di LP Wanita dan LP
Pondok Bambu.
Bangunan
di tempat itu memang terlihat kokoh dengan tembok keliling yang cukup tinggi
warisan penjara dulu.
Di antara bangunan tempat berkumpulnya napi
dan pengunjung yang besuk dibatasi dengan jeruji dan pintu-pintu besi. Petugas-petugas
berseragam nampak mengawasi mereka.
Kebanyakan dari mereka hanya dipersenjatai dengan pentungan karet.
Di LP Cipinang orang yang mau besuk
melewati pintu khusus di sebelah barat, sedangkan pintu gerbang diperuntukkan
bagi keluar masuknya napi maupun tahanan
serta para tamu khusus dan pegawai.
Lembaga Pemasyarakatan ini menurut Wakil
Kepala LP Cipinang drs.Sukartono S memiliki daya tampung untuk napi 2.536
orang, namun saat ini dihuni sekitar 3.000 orang napi. Para napi di LP Cipinang ditempatkan di ruang-ruang yang dapat menampung 20 sampai
30 orang.
Ketika “AB” ke LP tersebut Maret lalu nampak
dua napi berseragam biru-biru sedang membersihkan tembok di luar LP, diawasi
dua penjaga. Menurut seorang petugas mereka yang dipekerjakan di luar tembok
itu napi yang hampir habis masa hukumannya.
Menurut pengamatan “AB” dari wajah-wajah
para napi yang sempat dilihat tidak tampak kesedihan maupun kelesuan pada air muka mereka.
Para
napi ditempatkan menurut golongannya
seperti Golongan B IIIS untuk napi yang
menjalani hukuman pengganti denda, B II b
hukuman 3 bulan ke bawah, B IIa hukuman lebih dari tiga bulan sampai 12 bulan. Golongan BI-I napi yang menjalani hukuman satu tahun ke atas, golongan napi hukuman
seumur hidup dan hukuman mati.
Para napi di LP Cipinang itu dibina dengan
berbagai kegiatan al. pembinaan mental,
ketrampilan dan pendidikan pengajaran. Ketrampilan meliputi bidang pertukangan
kayu dan pengelasan besi.
Berbeda dengan penjara
Dari sedikit gambaran tentang keadaan
Lembaga Pemasyarakatan itu mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa LP itu
berbeda dari penjara dulu.
Beberapa pejabat yang menangani Lembaga
Pemasyarakatan yang berhasil ditemui “AB” beberapa waktu lalu umumnya selalu
menyatakan bahwa penjara sudah tidak ada
dan sebagai gantinya LP itulaih. Tentu saja jauh berbeda penjara dengan LP.
Kalau penjara dulu dititikberatkan pada sistem
pendekatan keamanan maka dalam Lembaga Pemasyarakatan lebih
difokuskan dalam bidang pembinaan, ujar
drs. Sukartono, Wakil Kepala LP Cipinang.
Dikatakannya, dari bentuk bangunan sampai
kepada falsafah yang diterapkan dalam sistem
penjara terlihat ciri-ciri pendekatan
dari segi keamanan itu. Misalnya bentuk sel-sel yang dibuat, bangunannya
yang terlihat menyeramkan dengan tembok keliling tinggi dan di setiap sudut
berdiri menara lengkap dengan penjaganya.
Pada pokoknya, kata Sukartono, penjara
dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak melakukan tindak kejahatan, yakni dengan menampilkan
wajah seram bangunan penjara.
Umumnya bangunan penjara
ditempatkan di tengah kota agar
masyarakat banyak bisa melihatnya sebagai sautu peringatan, bahwa siapa yang
berbuat kejahatan akan dimasukkan ke dalam bui yang konon menyeramkan itu.
Beda dengan Lembaga Pemasyarakatan, kalau
di dalam penjara tidak akan ditemui tempat ibadah, maka di LP tempat itu kini disediakan lengkap dengan para pembimbing maupun pembinaan
mental, dll. Meskipun kini bangunan LP masih banyak yang menempati bangunan
penjara dulu, seperti halnya LP Cipinang.
Kalau di dalam penjara seorang pelanggar hukum yang terpidana itu diberi hukuman dan
diperlakukan dengan keras sebagai pembalasan atas tindak kejahatan yang telah
dilakukannya, maka dalam LP seorang terpidana akan diberi pembinaan dan tuntutan
serta bimbingan kearah kebaikan.
Tentang kesulitan dalam pembinaan,
dikatakannya terletak kepada para napi
yang hukumannya pendek. Mereka umumnya belum terjangkau secara maksimal dalam
upaya pembinaan itu karena pembinaan harus melalui proses beberapa tahap.
Jangka waktu yang pendek tidak
memungkinkan para terpidana dengan hukuman singkat untuk dibina seperti para napi lainnya yang mendapat hukuman lama.
Mungkin mereka inilah yang tumbuh menjadi penjahat kambuhan (residivis) karena
belum sepenuhnya menerima pembinaan dari LP.
Prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap para narapidana
al. berbunyi ayomi, dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik
dan berguna. Penjatuhan pidana bukan
tindakan balas dendam oleh negara, berikan bimbingan bukan penyiksaan
supaya mereka bertobat.
Dalam system pemasyarakatan di Indonesia
terkandung suatu cita-cita besar.
Pembinaan pemasyarakatan terhadap para
napi dan anak didik diharapkan bukan
saja mempermudah reintegrasi mereka dengan masyarakat, tetapi juga menjadikan
mereka warga masyarakat yang mendukung ketertiban dan kebaikan.
Masing-masing menjadi manusia seutuhnya
yang memiliki ciri-ciri tidak akan melanggar hukum lagi serta aktif produktif,
berbagai dunia dan akhirat.
Melalui proses pemasyarakatan dilakukan
segala daya upaya untuk menyelamatkan
mereka yang tersesat dipandang dari segi hukum.
Menurut buku “Dari Sangkar ke Sanggar”
terbitan Ditjen Pemasyarakatan Dep. Kehakiman, proses pemasyarakatan
mengyangkut tata perlakuan terhadap para
napi dan anak didik baik yang dibina di “dalam tembok” maupun yang di “luar
tembok”.
Para napi dan anak didik tidak semuanya
berada dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau Lembaga Pengentasan Anak Negara
(LPAN). Mereka yang diputus hakim dengan pidana bersyarat dibenarkan berada di
tengah masyarakat, demikian pula napi yang
dinyatakan lepas bersyarat dan anak didik yang ditempatkan di keluarga asuh serta mereka
yang dinyatakan bebas bersyarat.
Proses dan corak pembinaan di luar lembaga merupakan tanggung jawab Direktorat Pembinaan Lembaga.
Pelanggar-pelanggar hukum anak-anak dan
remaja di dalam LPAN di bawah tanggung jawab
Direktorat Pembinaan Luar
Lembaga, yang proses pembinaannya ditempatkan dalam balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA)
Dalam proses pemasyarakatan menonjol
sekali kaitan antara peranan keamanan dan peranan pembinaan yang keduanya
saling menunjang. Pembinaan masyarakat
hanya dapat berjalan lancar kalau ada dukungan keamanan yang rapih. Sebaliknya
keamanan yang tidak berorientasi kepada pensukseskan program-program pembinaan tentu akan melunturkan integritas sistem pemasyarakatan.
Kemantapan peranan pembinaan dalam proses pemasyarakatan didukung pula oleh suatu mekanisme berupa
Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP). Dewan ini memperhatikan, mempelajari dan
menilai kemajuan setiap narapidana dan anak didik dalam proses pembinaannya.
Dewan inilah yang sanggup
mencegah terjadinya gejala kemunduran atau kemerosotan para napi dan anak didik.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk
pembinaan para napi ini. ”Pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan barangkali tidak
seratus persen berhasil tetapi juga tidak berarti gagal,”ujar Dirjen
Pemasyarakatan Achmad Arief SH kepada “AB”.
Ia mengakui masih banyak kekurangan sarana
pendukung al. sarana peralatan pendidikan dan latihan dan personil. “Kita
mencoba meningkatkan sedikit demi sedikit,”tambahnya. Untuk itu telah
diadakan kerjasama dengan Ditjen Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Depsos, Depnakertrans dan Departemen
Agama.
Memberikan contoh konkrit tentang
kerjasama ini Dirjen menunjuk kepada proyek pertanian, peternakan, yang telah dicoba
di Yogyakarta.
Menurut Achmad Arief, pembinaan terhadap
para napi sekarang boleh dikatakan sudah cukup baik, bahkan Palang Merah
Internasional menilai sistem pemasyarakatan di Indonesia dinilai cukup baik.
Lalu dimana letak keberhasilan para napi ini dalam pembinaannya? Direktur
Pembina Dalam LP Ditjen Pemasyarakatan Depkeh, Kusno Wibowo, mengatakan,
berhasil tidaknya pembinaan dalam LP
tergantung tiga unsur yakni petugas, narapidana dan masyarakat. Ketigas unsur
itu harus terpadu.
Seperti pernah diucapkan Menteri Kehakiman
Ali Said SH dalam raker dengan Komisi
III DPR, bahwa bagaimana pun baiknya pembinaan yang dilakukan terhadap para
narapidana, masih akan ditemui kesulitan seperti kita rasakan bersama, apabila
kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat masih tetap dicurigai dan
masyarakat bersikap menolak kehadiran mereka.
Oleh karena itu Menteri Kehakiman
mengharapkan, kehadiran para bekas napi di dalam masyarakat harus diterima
tanpa diembel-embeli kecurigaan, bahkan menutup semua pintu kehidupan bagi
mereka dalam masyarakat.
Menurut Ali Said, terhadap para napi telah
diberikan pembinaan, perawatan, pelayanan dan lain-lain dengan usaha maksimal. Akan tetapi yang lebih
penting lagi adalah ikut sertanya masyarakat dalam menyelesaikan
permasalahan bekas napi setelah mereka
kembali ke dalam masyarakat. (ag)
Harian Umum “AB”
Senin, 31 Mei 1982
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.