Monday 11 August 2014

Melongok beberapa LP di Jakarta dan Tangerang:


Gambaran penjara yang menakutkan kini sudah berakhir
                                                                 
                                                            Oleh: Mustofa AS

Bila kita memasuki  Lembaga Pemasyarakatan Wanita di Tangerang, Jawa Barat, beberapa langkah setelah melewati gerbang mata kita akan menangkap warna hijau segar terpantul dari sejumlah bangunan berbentuk “cottage” yang terlihat manis dan apik. 

Antara bangunan satu dengan lainnya dihubungkan dengan lantai beton dengan di kiri kanan bangunan terhampar halaman dihiasi rumput hijau, di sudut-sudut lampu hias bulat menambah keasrian tempat para wanita terpidana itu.


Kalau saja bangunan yang  boleh dikatakan mewah itu  tidak dihalangi pintu gerbang dan  tembok keliling, siapa sangka  itu sebuah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang pindahan dari LP Bukit Duri Jakarta ini. Tentu saja menarik dari segi keindahan  bangunan dan perawatannya, entah bagi para Narapidana di dalamnya. 

Gedung yang ditempati sejak  5 Pebruarti 1981 itu menurut Kepala LP dra. Wiwiek Haryati memang dibuat dengan sistem pondok rata-rata  berbentuk melingkar dengan blok per blok.

Bangunan sebanyak 13 unit itu berdiri diatas tanah seluas 2 hektar. Sebanyak 7 unit diperuntukkan  bagi narapidana yang kapasitas tampungnya  250 orang. Selebihnya untuk kantor dan lain-lainnya. Setiap blok  mempunyai cukup lubang hawa terbuat dari kaca nako. Jeruji dibuat sedemikian rupa sehingga sangat serasi dengan bentuk bangunan yang cukup kokoh itu.

Bangunan LP yang bagus itu menurut Ny Wiwiek dibuat bukan untuk memanjakan  para napi tetapi semata-mata untuk  memenuhi cita-cita pemasyarakatan yang menghargai hak asasi dan menjunjung harkat manusia. 

Kepala LP Wanita itu mengatakan, setiap blok bisa memuat 30 orang dan setiap kamar bisa dihuni  satu sampai 3 orang. Jumlah pegawai di sana  sebanyak 87 orang, 20 orang di antaranya  pria, 30 orang tenaga administrasi dan selebihnya penjaga.

Lembaga yang diperuntukkan membina para narapidana wanita  dari seluruh Indonesia itu kini menampung  55  napi terdiri dari 36 napi golongan B 1(orang yang hukumannya setahun keatas), 17 napi golongan B IIa (di bawah1 tahun di atas 3 bulan), seorang tahanan kejaksaan, seorang yang menunggu banding dan seorang anak kecil yang ikut ibunya.

Karena usia anak tersebut belum  mencapai dua tahun maka menurut peraturan diperbolehkan ikut ibunya dengan tanggungan dari LP. Sesudah berumur dua tahun  harus dipisahkan dan tidak dibenarkan  ikut ibunya.  Alasannya menurut Ny Wiwiek, karena anak seusia itu sudah mulai mengerti dan keadaan di LP itu bisa mempengaruihi jiwa si anak yang beranjak besar itu.
                                                                                                                                                                                                               Kegiatan-kegiatan
Bagaimana kegiatan para napi di dalam lingkungan tembok LP itu? Ternyata mereka juga punya kesibukan seperti orang-orang di luar tembok LP, bedanya mereka tidak sebebas kita.

Seperti dituturkan Kepala LP bahwa kegiatan para napi sehari-harinya sudah dijadwalkan, pukul 06.00 mereka keluar dari bloknya masing-masing dan setelah membersihkan badan mereka makan bersama sekitar pukul 07.00 dengan menu yang cukup memadai. Pukul 08.00 hingga 13.30 mereka bekerja di bengkel kerja (bengker) sesuai bidangnya masing-masing, dengan diselingi istrirahat pukul 10.00. Makan malam pukul 17.00, setelah isitirahat sejenak pukul 18.00 mereka masuk bloknya masing-masing.

Ketika “AB” melihat mereka, kebetulan mereka sedang makan siang. Menu makan mereka berubah-ubah dari sayur lodeh ikan asin sampai kepada daging dan telur dinikmati para napi wanita itu.

Para wanita penghuni LP itu selain bekerja di bengker-bengker terutama dalam bidang kerajinan wanita seperti menjahit, membordier, menyulam dll. Ada 7 mesin jahit dan sebuah mesin obras di sana. Dari hasil kerja mereka kadang-kadang mendatangkan uang apabila hasilnya bisa dijual. 

Mereka juga diberikan kesempatan untuk berolahraga al. senam, pingpong, volley dll. Untuk mengisi waktu dan menambah pengetahuan mereka dapat membaca di  perpustakaan dan beribadah di mushola.

Terpidana wanita di LP itu juga dapat menikmati suaran televisi berwarna sumbangan Ibu Tien Soeharto ketika berkunjung kesana beberapa waktu lalu. Televisi yang disumbangkan itu sebanyak 7 buah, 1 di antaranya untuk  para pegawai.  Juga karpet hijau sumbangan Ibu Tien Soeharto terhampar menggantikan  tikar di mushola bagi para napi wanita itu.

Para narapidana wanita itu bisa ditemui keluarganya  setiap minggu sekali yakni pada hari Sabtu pagi.

Sebuah lembaga pemasyarakatan lagi yang hampir mirip keadaaannya  dengan LP Wanita yakni LP Wanita  Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Kemiripannya  terletak pada bentuk bangunan yang nampak asri dengan perawatan yang baik  pula, sehingga kesan pertama bagi bukan terpidana  bila memasukinya terasa damai. Apalagi melihat hijaunya pepohonan  yang menghiasai halaman dalam  LP tersebut dipadu dengan warna hijau muda yang nampaknya sebagai warna khas dari LP.

Lembaga pemasyarakatan ini memang diperuntukkan khusus bagi  napi pelanggar Peraturan Daerah tentang  Ketertiban Umum. Di sini penghuni  yang tidak terbatas pria saja tetapi juga wanita dan wadam.

Terpidana di sana  paling tinggi  menjalani hukuman 2 bulan dan kebanyakan dari mereka adalah pengemis, gelandangan maupun pelacur kelas murah.

Menurut Ka Subsi Pembinaan LPK Pondok Bambu, Suluh Pamungkas, meskipun hukuman terhadap mereka umumnya tidak lama, mereka sempat pula diberikan penyuluhan /pembinaan mental dan pekerjaan tangan seperti menjahit dll. Disediakan pula tempat ibadah, olahraga dll.

Para napi itu ditempatkan di kamar-kamar dalam blok yang tiap bloknya dapat  menampung 26 orang, adapula  yang hanya dapat menampung 10 orang. Kamar-kamar untuk  napi wanita  bisa ditempati sampai 5 orang.

Jika di antara mereka terdapat napi waria (wadam) maka ia akan dipisahkan dari wanita maupun pria.
Para napi LPK itu juga mendapat makan…….(hilang)

Memasuki Lembaga Pemasyarakatan  Cipinang   rasanya seperti mengunjungi sebuah  asrama pria yang besar dan luas. Pintu besi di gerbang utama terlihat kokoh dengan dua lubang pengintip dijaga dua pria berseragam coklat tua.

Sebuah “asrama pria” yang cukup kokoh bangunannya, dari pintu gerbang kita bisa menyaksikan sekelompok orang orang yang besuk bercampur baur dengan napi yang menemui kerabatnya  dalam suatu ruang khsusus, pada waktu-waktu besuk. Di sini meskipun terlihat bersih tidak nampak kehijauan yang sejuk sebagaimana  nampak di LP Wanita dan LP Pondok Bambu.

 Bangunan di tempat itu memang terlihat kokoh dengan tembok keliling yang cukup tinggi warisan penjara dulu.

Di antara bangunan tempat berkumpulnya napi dan pengunjung yang besuk dibatasi dengan jeruji dan pintu-pintu besi. Petugas-petugas berseragam nampak mengawasi  mereka. Kebanyakan dari mereka hanya dipersenjatai dengan pentungan karet.

Di LP Cipinang orang yang mau besuk melewati pintu khusus di sebelah barat, sedangkan pintu gerbang diperuntukkan bagi keluar masuknya napi maupun  tahanan serta para tamu khusus dan pegawai.

Lembaga Pemasyarakatan ini menurut Wakil Kepala LP Cipinang drs.Sukartono S memiliki daya tampung untuk napi 2.536 orang, namun saat ini dihuni sekitar 3.000 orang napi. Para napi di LP Cipinang ditempatkan  di ruang-ruang yang dapat menampung 20 sampai 30 orang.

Ketika “AB” ke LP tersebut Maret lalu nampak dua napi berseragam biru-biru sedang membersihkan tembok di luar LP, diawasi dua penjaga. Menurut seorang petugas mereka yang dipekerjakan di luar tembok itu napi yang hampir habis masa hukumannya.

Menurut pengamatan “AB” dari wajah-wajah para napi yang sempat dilihat tidak tampak kesedihan maupun  kelesuan pada air muka mereka.

 Para napi ditempatkan  menurut golongannya seperti  Golongan B IIIS untuk napi yang menjalani  hukuman pengganti denda, B II b hukuman 3 bulan ke bawah, B IIa hukuman lebih dari tiga bulan sampai 12 bulan.  Golongan BI-I napi yang menjalani hukuman  satu tahun ke atas, golongan napi hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Para napi di LP Cipinang itu dibina dengan berbagai kegiatan  al. pembinaan mental, ketrampilan dan pendidikan pengajaran. Ketrampilan meliputi bidang pertukangan kayu dan pengelasan  besi.

                                                                                                                         Berbeda dengan penjara
Dari sedikit gambaran tentang keadaan Lembaga Pemasyarakatan itu mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa LP itu berbeda dari penjara dulu.

Beberapa pejabat yang menangani Lembaga Pemasyarakatan yang berhasil ditemui “AB” beberapa waktu lalu umumnya selalu menyatakan  bahwa penjara sudah tidak ada dan sebagai gantinya LP itulaih. Tentu saja jauh berbeda penjara dengan LP.

Kalau penjara dulu dititikberatkan pada sistem pendekatan  keamanan  maka dalam Lembaga Pemasyarakatan lebih difokuskan  dalam bidang pembinaan, ujar drs. Sukartono, Wakil Kepala LP Cipinang.

 Dikatakannya, dari bentuk bangunan sampai kepada falsafah yang diterapkan  dalam sistem penjara terlihat ciri-ciri pendekatan  dari segi keamanan itu. Misalnya bentuk sel-sel yang dibuat, bangunannya yang terlihat menyeramkan dengan tembok keliling tinggi dan di setiap sudut berdiri menara lengkap dengan penjaganya.

Pada pokoknya, kata Sukartono, penjara dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak melakukan  tindak kejahatan, yakni dengan menampilkan wajah  seram bangunan penjara. Umumnya  bangunan penjara ditempatkan  di tengah kota agar masyarakat banyak bisa melihatnya sebagai sautu peringatan, bahwa siapa yang berbuat kejahatan akan dimasukkan ke dalam bui yang konon menyeramkan itu.

Beda dengan Lembaga Pemasyarakatan, kalau di dalam penjara tidak akan ditemui tempat ibadah, maka di LP tempat itu  kini disediakan lengkap  dengan para pembimbing maupun pembinaan mental, dll. Meskipun kini bangunan LP masih banyak yang menempati bangunan penjara dulu, seperti halnya LP Cipinang.

Kalau di dalam penjara seorang pelanggar hukum  yang terpidana itu diberi hukuman dan diperlakukan dengan keras sebagai pembalasan atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya, maka dalam LP seorang terpidana akan diberi pembinaan dan tuntutan serta bimbingan kearah kebaikan.

Tentang kesulitan dalam pembinaan, dikatakannya terletak kepada  para napi yang hukumannya pendek. Mereka umumnya belum terjangkau secara maksimal dalam upaya pembinaan itu karena pembinaan harus melalui proses beberapa tahap.

Jangka waktu yang pendek tidak memungkinkan  para terpidana  dengan hukuman  singkat untuk dibina seperti  para napi lainnya yang mendapat hukuman lama. Mungkin mereka inilah yang tumbuh menjadi penjahat kambuhan (residivis) karena belum sepenuhnya menerima pembinaan dari LP.

Prinsip-prinsip pokok yang  menyangkut perlakuan terhadap para narapidana al. berbunyi ayomi, dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan  peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. Penjatuhan pidana bukan  tindakan balas dendam oleh negara, berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

Dalam system pemasyarakatan di Indonesia terkandung  suatu cita-cita besar. Pembinaan pemasyarakatan  terhadap para napi dan anak didik  diharapkan bukan saja mempermudah reintegrasi mereka dengan masyarakat, tetapi juga menjadikan mereka warga masyarakat yang mendukung ketertiban dan kebaikan. Masing-masing  menjadi manusia seutuhnya yang memiliki ciri-ciri tidak akan melanggar hukum lagi serta aktif produktif, berbagai dunia dan akhirat.

Melalui proses pemasyarakatan dilakukan segala daya upaya untuk menyelamatkan  mereka yang tersesat dipandang dari segi hukum.

Menurut buku “Dari Sangkar ke Sanggar” terbitan Ditjen Pemasyarakatan Dep. Kehakiman, proses pemasyarakatan mengyangkut tata perlakuan  terhadap para napi dan anak didik baik yang dibina di “dalam tembok” maupun yang di “luar tembok”.

Para napi dan anak didik tidak semuanya berada dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau Lembaga Pengentasan Anak Negara (LPAN). Mereka yang diputus hakim dengan pidana bersyarat dibenarkan berada di tengah masyarakat, demikian pula napi yang  dinyatakan lepas bersyarat dan anak didik yang  ditempatkan di keluarga asuh serta mereka yang dinyatakan  bebas bersyarat.

Proses dan corak pembinaan  di luar lembaga merupakan  tanggung jawab Direktorat Pembinaan Lembaga.

Pelanggar-pelanggar hukum anak-anak dan remaja di dalam LPAN di bawah tanggung jawab  Direktorat Pembinaan  Luar Lembaga, yang proses pembinaannya ditempatkan dalam  balai Bimbingan  Kemasyarakatan  dan Pengentasan Anak (BISPA)

Dalam proses pemasyarakatan menonjol sekali kaitan antara peranan keamanan dan peranan pembinaan yang keduanya saling menunjang. Pembinaan  masyarakat hanya dapat berjalan lancar kalau ada dukungan keamanan yang rapih. Sebaliknya keamanan yang tidak berorientasi kepada pensukseskan program-program pembinaan  tentu akan melunturkan  integritas sistem pemasyarakatan.

Kemantapan peranan pembinaan  dalam proses pemasyarakatan  didukung pula oleh suatu mekanisme berupa Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP). Dewan ini memperhatikan, mempelajari dan menilai kemajuan setiap narapidana dan anak didik dalam proses pembinaannya.

 Dewan inilah yang sanggup mencegah terjadinya gejala kemunduran atau kemerosotan para napi dan anak didik.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk pembinaan para napi ini. ”Pembinaan di Lembaga  Pemasyarakatan  barangkali tidak seratus persen berhasil tetapi juga tidak berarti gagal,”ujar Dirjen Pemasyarakatan Achmad Arief SH kepada “AB”.

Ia mengakui masih banyak kekurangan sarana pendukung al. sarana peralatan pendidikan dan latihan dan personil. “Kita mencoba meningkatkan sedikit demi sedikit,”tambahnya. Untuk itu telah diadakan  kerjasama dengan  Ditjen Rehabilitasi dan Pelayanan  Sosial Depsos, Depnakertrans dan Departemen Agama.

Memberikan contoh konkrit tentang kerjasama ini Dirjen menunjuk kepada proyek pertanian, peternakan, yang telah dicoba di Yogyakarta.

Menurut Achmad Arief, pembinaan terhadap para napi sekarang boleh dikatakan sudah cukup baik, bahkan Palang Merah Internasional menilai sistem pemasyarakatan di Indonesia dinilai cukup baik. Lalu dimana letak keberhasilan para napi ini dalam pembinaannya? Direktur Pembina Dalam LP Ditjen Pemasyarakatan Depkeh, Kusno Wibowo, mengatakan, berhasil tidaknya pembinaan  dalam LP tergantung tiga unsur yakni petugas, narapidana dan masyarakat. Ketigas unsur itu harus terpadu.

Seperti pernah diucapkan Menteri Kehakiman Ali Said SH dalam  raker dengan Komisi III DPR, bahwa bagaimana pun baiknya pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana, masih akan ditemui kesulitan seperti kita rasakan bersama, apabila kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat masih tetap dicurigai dan masyarakat bersikap menolak kehadiran mereka.

Oleh karena itu Menteri Kehakiman mengharapkan, kehadiran para bekas napi di dalam masyarakat harus diterima tanpa diembel-embeli kecurigaan, bahkan menutup semua pintu kehidupan bagi mereka dalam masyarakat.

Menurut Ali Said, terhadap para napi telah diberikan pembinaan, perawatan, pelayanan dan lain-lain  dengan usaha maksimal. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah ikut sertanya masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan  bekas napi setelah mereka kembali ke dalam masyarakat. (ag)



Harian Umum “AB”
Senin, 31 Mei 1982

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.