Thursday 7 August 2014

Teropong



                                              Namaku Kartini                                                                                           
                                                                    Oleh: Mustofa AS

 KARTINI tersenyum bangga. Cita-citanya untuk memimpin negara ini segera terwujud. Ia membayangkan sidang kabinet pertama yang dihadiri para menteri dengan pakaian baru dan semangat baru. Ia akan bersikap anggun dan tentu menebar senyum. Kartini, engkau sekarang wanita presiden pertama di Bumi Pertiwi.

Sambil bercermin, Kartini kembali tersenyum. Ia kini bisa disamakan dengan tokokoh-tokoh wanita dunia seperti Margaret Thacher, Ny. Indira Gandhi,  Benazir Bhuto, dan Golda Meir. Pasti ia akan setenar mereka.

Andaikata Raden Ajeng Kartini menyaksikan Kartini menjadi Presiden RI pasti beliau akan bangga. Karena, apa yang diinginkannya, seperti apa yang ditulis oleh para ahli sejarah, kini terwujud. Bahkan, mungkin melebihi apa yang dicita-citakan  Puteri yang Mulia ini.

Perasaan Kartini memang melambung. Ia ingin segera merealisasikan  cita-citanya, memperjuangkan hak-hak  kaum wanita. Untuk itu, ia membentuk Departemen Peranan Wanita, tentu menterinya seorang wanita. Sejumlah departemen juga dipimpin oleh wanita. Pokoknya kepedulian terhadap wanita diberikan porsi yang lebih dari  kabinet-kabinet   terdahulu yang dipimpin oleh bukan wanita.

Di benaknya juga tergambar masalah TKW (tenaga kerja wanita) yang selama ini penanganannya tak pernah tuntas. Kartini ingin wanita Indonesia mempunyai martabat. Bukan sekadar martabat sebagai pembantu rumah tangga yang di mancanegara disamakan dengan budak. Masalah hak cuti wanita pekerja juga sudah terkonsep di benaknya, termasuk konsep mengatasi perkosaan terhadap wanita.

Segala rencana dan cita-cita rasanya sudah OK semua. Tapi ada satu yang masih mengganjal dan terus dipikirkannya. Yakni, nasib suaminya.

Sebagai orang Jawa (asli), Kartini merasa tidak tega meninggalkan suaminya, yang selama ini mendampinginya berjuang untuk mencapai cita-citanya. Bagaimana nanti kalau dia meninjau proyek-proyek pembangunan di daerah atau pergi ikut pertemuan internasional di mancanegara? Apakah suaminya ikut mendampinginya? Lalu, sebagai apa? Sebagai suami presiden? Apakah dari segi protokoler sudah ada aturannya?

Karena, kalau nyonya presiden, rasanya tidak ada masalah. Tetapi, kini suami presiden? Kartini jadi judek memikirkan hal itu? Ia juga bertanya-tanya  siapakah yang pantas dicantumkan di belakang namanya? Suaminya ataukah bapaknya? Kalau mengacu kepada Benazir Bhuto dan Indira Gandhi, maka ia cenderung memakai Rasyid, nama bapaknya. Tetapi, jika ia menggunakan nama bapaknya, ia sungguh tak tega melupakan nama suaminya, Rosyadi.

Ketika masih sendiri,  ia menggunakan nama Kartini Rasyid. Tetapi, setelah ia berkeluarga, kadang-kadang saja ia mencantumkan nama Rosyadi di belakang namanya. Namun, ketika ia berkiprah di kancah politik hingga terpilih menjadi presiden, ia menggunakan nama Kartini tanpa embel-embel di belakangnya. 

 Tanpa terasa Kartini meneteskan air mata memikirkan kedua orang yang sangat dicintai dan berjasa mengangkat dirinya itu. Ayahnya yang lembut memberinya nama Kartini karena ia dilahirkan pada 21 April 50 tahun lalu. “Abah suka sejarah dan banyak mengagumi tokoh nasional, termasuk R.A. Kartini yang disanjung sebagai Putri Jauhari,”ujar Kartini pada suatu hari. Sedangkan, suaminya dengan penuh pengertian dan kasih sayang selalu mendorong dan mendukung keinginan dan cita-citanya.

Persoalan yang dihadapinya sebenarnya sederhana. Tetapi, jika perasaan yang berbicara, maka masalah yang kelihatannya sederhana itu menjadi problema yang sulit dipecahkan. Wanita itu benar-benar judek.

 Kartini terkejud ketika pembantunya datang tergopoh-gopoh.”Ibu…. Ibu…. Adi berdarah… kena lemparan batu. Ibu… Adi ikut tawuran!” Kartini berlari mengikuti pembantunya, hatinya terasa tak karuan.

Tengah malam, setelah bersujud  Kartini menadahkan tangannya sambil berurai air mata.”Duh, Gusti Allah. Ampunilah dosa hamba-Mu ini, yang berangan-angan jadi presiden, padahal mengurus anak dan suami saja tidak becus. Duh Gusti tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang telah Engkau berikan kepada para pendahulu kami. Amin!”


Harian Umum ABRI
Rabu, 21 April 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.