Wednesday 6 August 2014

Suasana dan wajah baru Pengadilan Jakarta Pusat:

                                   
Hakim-hakim itu ramah dan murah senyum

BANYAK segi menarik patut diungkapkan sejak ditertibkannya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat awal tahun ini, dengan datangnya Ketua Pengadilan tersebut yang baru, pindahan dari Pengadilan Negeri Surabaya, dari mana ketua yang lama bertugas.


Ruang-ruang sidang di sana kini nampak bersih tidak seperti sebelumnya. Kamar-kamar kecil yang selama ini ditutup rapat diaktifkan kembali. Beberapa ruangan syang semula “ditelantarkan” kini nampak dimanfaatkan.  Antara lain ruang bawah yang pengap dan gelap kini dikembalikan fungsinya sebagai ruang arsip. Sedangkan ruang tempat bermain bilyar digunakan sebagai kantor panitera. Kini meja bilyar yang berharga ratusan ribu rupiah itu nongkrong  tanpa guna di mulut tangga tingkat pertama PN Jakpus. Papan-papan pengumuman baru menghias dinding-dinding, baik di depan kamar Ketua maupun sepanjang ruang panitera. Hal ini sebelumnya tidak pernah ada.
                                                                                                                                                               Dirombak total
Kejanggalan-kejanggalan yang selama ini menyelimuti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, baik yang mengenai tingkah laku para hakim maupun suasana sekitarnya berangsur-angsur berubah menjadi “suasana baru” yang kadang-kadang sangat menggelikan bagi yang suka “nongkrong” di gedung Pengadilan  terbesar di Jakarta itu.

 Sejak Soedijono SH menjabat sebagai Ketua PN Jakpus, penertiban yang dilakukannya bukan terbatas di bidang penggunaan ruangan sidang saja. Segi administrasi ,maupun personal pun tidak luput dari tindakannya. Tentu saja banyak yang tidak senang terhadap ketegasannya, namun apa hendak dikata?
Penyidangan perkara mulai kelihatan tertib. Jam kerja para hakim maupun karyawan diketatkan pengawasannya dengan jam masuk kerja mulai 8.00 hingga 15.00. Tentu hal ini menciptakan suasana serba “kikuk”. Mereka kelihatan sangat terpaksa mematuhi aturan-aturan  yang dianggap baru itu.
Biasanya mereka bisa berlalu-lalang setiap saat tanpa ada yang menegur, terutama para hakim dengan mobil-mobil pribadinya yang seolah memamerkan “kebolehannya” dalam sukses mencari uang. Mereka yang biasa berbuat semaunya ketika masih “di atas angin” dengan menunda-nunda sidang dll, kini harus takluk kepada peraturan yang mudah-mudahan tidak hangat-hangat tahi ayam itu.
Blue jean dan mulut terkatup
 Dulu, sebelum hakim HG tertangkap basah Opstib para hakim kelihatan “muak” melihat wartawan. Kini mereka nampak ramah meskipun dipaksakan. Juga seorang hakim yang dikenal galak baik kepada tertuduh maupun pengunjung sidang, kini tidak setegak dulu lagi. Apalagi kalau jumpa dengan wartawan. 

Seorang hakim yang bergaya “Cowboy” melempar senyum terpaksa bila “kepergok” wartawan. Sebelumnya hal ini jarang dilakukannya. Ia selalu datang ke Pengadilan hanya bercelana blue jean dan baju biasa dengan kancing dada terbuka. Tidak nampak tanda-tanda kalau ia seorang hakim meskipun potongannya cukup meyakinkan. Dan anehnya celana blue jean  yang dipakainya tidak terbatas untuk “ngantor” saja tetapi juga untuk menyidangkan suatu perkara.
Dengan adanya penertiban di sana para hakim kini nampak rapih. Yang lekaki berpakaian safari semua sehingga nampak berwibawa. Ketua yang baru ternyata “membawa” beberapa hakim. Dengan “dirumahkannya” tiga hakim dari PN Jakpus dan seorang hakim tinggi bekas Ketua PN Jakpus, membuat para hakim yang memiliki ”guilty feeling” (istilah Irjen Dep. Kehakiman) kelihatan resah dan was-was. Bahkan seorang hakim di sana menyebutnya sebagai berada dalam suasana neraka. Mungkin mereka merasa kuatir akan menerima giliran “dirumahkan” menyusul rekan-rekannya.
 Hakim-hakim senior di sana apabila ketemu wartawan dari jauh sudah pasang senyum dan buru-buru menutup mulutnya dengan kelima jarinya, meskipun sang wartawan hanya tanya, “Bagaimana pak?”. Sebelumnya  jarang seorang hakim begitu hati-hatinya terhadap wartawan.
Tiga nama hakim yang kini dirumahkan nampak sudah lenyap dari papan  nama hakim  yang di depan kamar Ketua, plat merah jambu menutup ketiga nama hakim  yang “malang” tersebut.
Para hakim senior di sana tidak dibenarkan menjadi Ketua Majelis, kecuali yang melanjutkan perkara yang disidangkan sebelum Ketua yang baru tiba.
Sejak  Opstibpus memeriksa sejumlah karyawan dan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, banyak cerita-cerita yang lucu-lucu mengenai pengadilan ini.
Lantai bawah yang selalu ramai sebelumnya, kini sudah agak tertib. Para calo yang mengurus perkara maupun surat pewarganegaraan  sudah tidak nampak batang hidungnya. Demikian pula oknum-oknum yang sering keluar masuk ruang hakim boleh dikata tidak berani lagi. Mungkin mereka takut terkena  “operasi tertib” sehingga sementara waktu menghilang dulu, mencari “timing” yang tepat.
Para hakim masuk dan pulang mentaati waktu yang telah ditetapkan. Pernah ketika Ketua sedang di Surabaya, para hakim antri untuk absensi pulang sekitar jam 14.00 lebih sedikit. Dua wartawan yang memperhatikan  tingkah para hakim itu sempat diguraui,”Wah kita diawasi wartawan!”kata seorang di antaranya, disambut gelak rekan-rekannya. 

Pemberitaan mengenai hakim-hakim dan yang menyangkut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang menarik. Ini membuat wartawan jadi “getol” kasak-kusuk. Ketua pengadilan merasa kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan para wartawan itu. Ia sempat marah-marah hari Kamis siang lalu. Dikatakannya, pekerjaan yang dihadapinya akan terbengkalai kalau dikejar-kejar terus. Beberapa wartawan menduga Ketua baru ini mungkin baru saja ditegur atasannya karena banyak bicara kepada wartawan sehingga bersikap tidak ramah lagi. (AB/Mustofa AS/X)



Harian Umum “AB”
Sabtu, 14 Februari 1981

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.