Biar hatiku hancur
asalkan mereka bahagia
KETABAHAN menghadapi
kenyataan hidup merupakan salah satu
modal yang harus dimiliki para waria (wanita pria) yang bagi kalangan tertentu
tidak mengakui keberadaan mereka.”Kita memang harus sering istigfar,”ujar
Nurlaelasari (42 tahun), Sekretaris Himpunan Waria (Hiwaria) DKI Jakarta.
Berperawakan gempal dan mengenakan pakaian
wanita, Nurlaelasari yang kini bekerja sebagai tukang merias pengantin terus
terang mengakui, jika waria atau wadam itu tidak memiliki mental yang kuat
kalau tidak gila pasti bunuh diri. Karena jika ia berdandan sebagai wanita dan nampak
cantik, harus menahan perasaan jika ia
melihat bagian bawah tubuhnya (maksudnya kemaluannya-Red).
Nurlaelasari datang ke Balaikota DKI,
Sabtu, guna mengundang wartawan
menghadiri Malam Pesona Hiwaria MKGR di Graha Wisata Remaja, Ancol, Rabu malam
mendatang.
Ia menjadi waria katanya bukanlah
kemauannya sendiri.”Bagaimana ya, Tuhan telah memberikan begitu,” ujarnya tanpa
emosi.
Nurlaelasari yang ketika dilahirkan di Palembang bernama
Zaenal Abidin itu mengaku sejak kecil menyenangi laki-laki, padahal orangtua
dan lingkungannya mengetahui, juga dirinya,
sebagai laki-laki.
Ketia ia sekolah menengah ia sering dihina
dan diejek sebagai banci.”Kalau olahraga saya takut sekali apalagi disuruh
koprol atau main bola tendang,” kata Laelasari yang mengenakan baju putih
lengan panjang dan rok warna merah itu menjelaskan.
Di SMP
ia mengenal seorang lelaki yang dapat mengerti jiwanya yang berada di
dua dunia itu. Ia lalu melanjutkan sekolah perawat, di tempat ini hinaan dan
cercaan kawan-kawannya tetap diterima dengan tabah. Dan hinaan yang paling
dahsyat katanya ketika ia melanjutkan sekolah di SMA.
“Menjadi banci juga tak apa asalkan kau juga
memikirkan masa depanmu, “ujar Lalilasari, memenirukan teman lelaki dekatnya
yang sangat menaruh perhatian kepadanya.
Bagi dia perasaan serba salah terus
menindihnya, apalagi sewaktu ia tamat dari SMA dan mengajar di sekolah dasar.
Sebagai guru ia berpakaian lelaki, dan tentu saja ia berkumpul dengan para guru
lelaki jika ada kesempatan, pada waktu
istirahat misalnya. Pergaulan dengan para guru itu rupanya tidak mengena di hati waria yang juga mengetuai Hiwaria
wilayah Jakarta Barat itu.”Habis kalau ngobrol dengan mereka yang dibicarakan
soal cewek-cewek yang
bahenol-bahenol,”katanya sambil tertawa.
Bergaul dengan ibu-ibu guru memang cocok
baginya, karena umumnya yang menjadi topik pembicaraan para ibu guru menyangkut
soal-soal kewanitaan seperti memasak dan lain-lain. Sayangnya bergaul dengan
ibu-ibu saya dipanggil pak, ucap Nurlaelasari dengan nada sedih. Dan yang lebih
sedih lagi karena murid-murid selalu menyoroti pergaulannya dengan para ibu guru itu.
Berbeda dengan para orangtua lainnya yang
merasa malu beranakkan waria atau bencong, orangtua Zaenal Abidin alias
Nurlaelasari ternyata dapat memahami kehendak anaknya.
Keputusan yang diambilnya rupanya tidak
salah, jika di daerah asalnya Nurlaelasari dicemooh, bahkan ada kawan-kawannya
yang bernasib sama bahkan dipasung karena orangtuanya merasa malu, ia lari ke
Jakarta pada tahun 1967.
Di Jakarta ternyata banyak orang yang
senasib dengannya, fisik sebagai pria namun berjiwa sebagai wanita. Ia katanya bertemu
dengan kalangan terpelajar seperti dokter, insinyur dan lain-lainnya yang
berjiwa sama dengannya.”Saya paling jengkel jika diejek oleh wanita, padahal
wanita kan melahirkan, siapa tahu bayinya nanti itu seperti saya,”ujarnya
ceplas-ceplos.
Waria yang di kampungnya dipanggil dengan
berbagai sebutan seperti mami, mama, tante itu selalu berterus terang
ketika ditanya apa saja oleh para
wartawan yang mengerumuninya di Balai Wartawan DKI itu
.
Sambil mempermainkan map surat yang
dipegangnya, waria yang cukup aktif di berbagai kegiatan di lingkungannya di
Cengkareng, Jakbar, itu mengakui sering disakiti oleh kaum pria. Dulu katanya
ia memiliki teman dekat yang ternyata kawin dengan perempuan lain setelah
bergaul beberapa tahun lamanya. Lelaki itu berasal dari Banten, Jabar.
Setelah itu ia bersuamikan seorang lelaki
yang sampai 8 tahun. Tanpa menyebut namanya, Nurlailasari menyebut kebaikan
lelaki itu. Untuk memiliki lelaki ini memang harus mengalami perjuangan yang
demikian berat. Sehingga Nurlaelasari pernah disidangkan oleh keluarga lelaki
suaminya itu. Ternyata pihaknya keluas sebagai pemenang, karena lelaki itu
membela dia dan mengaku pilihan dia kepada Nurlaelasari sebab sanak saudaranya
seperti paman, bibi dan lain-lainnya tak memperhatikan dirinya.”Mereka bahkan
menjadikan suami saya sebagai babu,”tutur Nurlaelasari mengenang masa lalunya.
Sakit hatinya ditinggalkan lelaki rupanya
mengajarinya untuk berhati-hati dalam
membina rumah tangganya. Ia juga menyadari suaminya suatu saat akan meninggalkannya,
karena bagaimana pun menurut waria yang memiliki tubuh tinggi besar itu, pria
itu pasti menginginkan keturunan dan
tidak mungkin dari dirinya.
Sebelum hal itu terjadi, Nurlaelasari
mengajukan tawaran yang katanya cukup mengagetkan suaminya. Adik perempuannya
ditawarkan untuk dikawini suaminya. Akhirnya suami yang tidak dijelaskan oleh Laila apakah dikawini secara resmi
dengan surat nikah segala itu menurut. Pesta perkawinan yang dilangsungkan
secara meriah ditanggung semua oleh Nurlaelasari.
Sekarang, katanya, orangtua bekas suaminya itu malu dan ia bertekuk lutut padanya. Namun
hal itu tidak membuat Nurlaelasari jadi tinggi hati. Semua keluarga dibantunya,
termasuk keluarga bekas suaminya yang kini telah menjadi adik iparnya dan
beranak dua orang.”Biar hati saya hancur asalkan saya bisa membahagiakan
mereka,”ujarnya bangga.
Diakuinya, bekas suaminya itu sering datag.”Dan
saya kalau sudah begitu bingung”ucap Nurlaelasari, sambil menuturkan ketabahan
hatinya menghadapi cobaan demi cobaan itu.”Kalau wanita sejati saya kira tidak
akan sanggup,”sambungnya. Keponakannya yang lahir dari bekas suami dan adilknya itu diberi nama Nila
Sukma Dewi yang mengandung arti khusus bagi wanita pria itu.
Sebagai seorang perias pengantin,
penghasilan yang didapatnya cukup besar. Sekali panggil jika yang hajatan orang mampu taripnya bisa Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan
bagi yang tidak mampu ada kalanya hanya Rp 50 ribu, bahkan ada yang gratis
karena keadaan yang memaksa.”Misalnya yang bunting duluan dan keluarganya tidak mampu,”selorohnya.
Ketua Panitia Malam Pesona Hiwara MKGR itu terus
terang ketika ditanya bagaimana kalau ia
melakukan shalat. Nurlaelasari menuturkan, setiap ia bersembahyang ia bertindak
sebagai lelaki.”Ada juga waria yang
sembahyang pakai mukena tetapi saya bantah,”ujarnya sambil menambahkan, ke mana
pun ia pergi selalu tersedia peci, kain sarung dan sajadah di tasnya. Sambil
mengatakan itu, tangannya membuka tasnya memperlihatkan peralatan sholatnya.
Ia suka mampir di rumah temannya untuk shalat, bila ia
melakukan perjalanan. Namun bila ia shalat di rumah, pintu kamarnya harus selalu terkunci supaya orang lain tidak
mengetahuinya.
Sebagai waria, menurut Nurlailasari, ia
cukup bangga, karena telah diakui keberadaannya. Di kartu tanda penduduknya
yang dulu jenis kelaminnya ditulis perempuan ia coret. Kini KTP yang ia miliki
pada jenis kelamin ditulis waria.
Ia juga mengecam para lelaki yang
dinilainya munafik, suka mengejek para waria di mana pun, tetapi sering pula
bisik-bisik minta “berkenalan” ketika sepi orang.
(Mustofa AS/ds).-*
Harian Umum “AB”
Sabtu, 12 Januari 1987.
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.