Sunday 2 August 2015

Pengakuan seorang waria:



Biar hatiku hancur asalkan mereka bahagia

    KETABAHAN menghadapi kenyataan hidup merupakan  salah satu modal yang harus dimiliki para waria (wanita pria) yang bagi kalangan tertentu tidak mengakui keberadaan mereka.”Kita memang harus sering istigfar,”ujar Nurlaelasari (42 tahun), Sekretaris Himpunan Waria (Hiwaria) DKI Jakarta.


    Berperawakan gempal dan mengenakan pakaian wanita, Nurlaelasari yang kini bekerja sebagai tukang merias pengantin terus terang mengakui, jika waria atau wadam itu tidak memiliki mental yang kuat kalau tidak gila pasti bunuh diri. Karena jika ia berdandan sebagai wanita dan nampak cantik, harus menahan perasaan jika ia  melihat bagian bawah tubuhnya (maksudnya kemaluannya-Red).

    Nurlaelasari datang ke Balaikota DKI, Sabtu, guna  mengundang wartawan menghadiri Malam Pesona Hiwaria MKGR di Graha Wisata Remaja, Ancol, Rabu malam mendatang.
    Ia menjadi waria katanya bukanlah kemauannya sendiri.”Bagaimana ya, Tuhan telah memberikan begitu,” ujarnya tanpa emosi.

    Nurlaelasari  yang ketika dilahirkan di Palembang bernama Zaenal Abidin itu mengaku sejak kecil menyenangi laki-laki, padahal orangtua dan lingkungannya mengetahui, juga dirinya,  sebagai laki-laki.

    Ketia ia sekolah menengah ia sering dihina dan diejek sebagai banci.”Kalau olahraga saya takut sekali apalagi disuruh koprol atau main bola tendang,” kata Laelasari yang mengenakan baju putih lengan panjang dan rok warna merah itu menjelaskan.
    Di SMP  ia mengenal seorang lelaki yang dapat mengerti jiwanya yang berada di dua dunia itu. Ia lalu melanjutkan sekolah perawat, di tempat ini hinaan dan cercaan kawan-kawannya tetap diterima dengan tabah. Dan hinaan yang paling dahsyat katanya ketika ia melanjutkan sekolah di SMA.

    “Menjadi banci juga tak apa asalkan kau juga memikirkan masa depanmu, “ujar Lalilasari, memenirukan teman lelaki dekatnya yang sangat menaruh perhatian kepadanya.

    Bagi dia perasaan serba salah terus menindihnya, apalagi sewaktu ia tamat dari SMA dan mengajar di sekolah dasar. Sebagai guru ia berpakaian lelaki, dan tentu saja ia berkumpul dengan para guru lelaki jika ada kesempatan,  pada waktu istirahat misalnya. Pergaulan dengan para guru itu rupanya tidak mengena di  hati waria yang juga mengetuai Hiwaria wilayah Jakarta Barat itu.”Habis kalau ngobrol dengan mereka yang dibicarakan soal  cewek-cewek yang bahenol-bahenol,”katanya sambil tertawa.

    Bergaul dengan ibu-ibu guru memang cocok baginya, karena umumnya yang menjadi topik pembicaraan para ibu guru menyangkut soal-soal kewanitaan seperti memasak dan lain-lain. Sayangnya bergaul dengan ibu-ibu saya dipanggil pak, ucap Nurlaelasari dengan nada sedih. Dan yang lebih sedih lagi karena murid-murid selalu menyoroti pergaulannya dengan  para ibu guru itu.

    Berbeda dengan para orangtua lainnya yang merasa malu beranakkan waria atau bencong, orangtua Zaenal Abidin alias Nurlaelasari ternyata dapat memahami kehendak anaknya.

    Keputusan yang diambilnya rupanya tidak salah, jika di daerah asalnya Nurlaelasari dicemooh, bahkan ada kawan-kawannya yang bernasib sama bahkan dipasung karena orangtuanya merasa malu, ia lari ke Jakarta pada tahun 1967.

    Di Jakarta ternyata banyak orang yang senasib dengannya, fisik sebagai pria namun berjiwa sebagai wanita. Ia katanya bertemu dengan kalangan terpelajar seperti dokter, insinyur dan lain-lainnya yang berjiwa sama dengannya.”Saya paling jengkel jika diejek oleh wanita, padahal wanita kan melahirkan, siapa tahu bayinya nanti itu seperti saya,”ujarnya ceplas-ceplos.

    Waria yang di kampungnya dipanggil dengan berbagai sebutan seperti mami, mama, tante itu selalu berterus terang ketika  ditanya apa saja oleh para wartawan yang mengerumuninya di Balai Wartawan DKI itu
.
    Sambil mempermainkan map surat yang dipegangnya, waria yang cukup aktif di berbagai kegiatan di lingkungannya di Cengkareng, Jakbar, itu mengakui sering disakiti oleh kaum pria. Dulu katanya ia memiliki teman dekat yang ternyata kawin dengan perempuan lain setelah bergaul beberapa tahun lamanya. Lelaki itu berasal dari Banten, Jabar.

    Setelah itu ia bersuamikan seorang lelaki yang sampai 8 tahun. Tanpa menyebut namanya, Nurlailasari menyebut kebaikan lelaki itu. Untuk memiliki lelaki ini memang harus mengalami perjuangan yang demikian berat. Sehingga Nurlaelasari pernah disidangkan oleh keluarga lelaki suaminya itu. Ternyata pihaknya keluas sebagai pemenang, karena lelaki itu membela dia dan mengaku pilihan dia kepada Nurlaelasari sebab sanak saudaranya seperti paman, bibi dan lain-lainnya tak memperhatikan dirinya.”Mereka bahkan menjadikan suami saya sebagai babu,”tutur Nurlaelasari mengenang masa lalunya.

    Sakit hatinya ditinggalkan lelaki rupanya mengajarinya untuk  berhati-hati dalam membina rumah tangganya. Ia juga menyadari suaminya suatu saat akan meninggalkannya, karena bagaimana pun menurut waria yang memiliki tubuh tinggi besar itu, pria itu pasti menginginkan  keturunan dan tidak mungkin dari dirinya.

    Sebelum hal itu terjadi, Nurlaelasari mengajukan tawaran yang katanya cukup mengagetkan suaminya. Adik perempuannya ditawarkan untuk dikawini suaminya. Akhirnya suami yang tidak dijelaskan  oleh Laila apakah dikawini secara resmi dengan surat nikah segala itu menurut. Pesta perkawinan yang dilangsungkan secara meriah ditanggung semua oleh Nurlaelasari.

    Sekarang, katanya, orangtua bekas suaminya  itu malu dan ia bertekuk lutut padanya. Namun hal itu tidak membuat Nurlaelasari jadi tinggi hati. Semua keluarga dibantunya, termasuk keluarga bekas suaminya yang kini telah menjadi adik iparnya dan beranak dua orang.”Biar hati saya hancur asalkan saya bisa membahagiakan mereka,”ujarnya bangga.

    Diakuinya, bekas suaminya itu sering datag.”Dan saya kalau sudah begitu bingung”ucap Nurlaelasari, sambil menuturkan ketabahan hatinya menghadapi cobaan demi cobaan itu.”Kalau wanita sejati saya kira tidak akan sanggup,”sambungnya. Keponakannya yang lahir dari  bekas suami dan adilknya itu diberi nama Nila Sukma Dewi yang mengandung arti khusus bagi wanita pria itu.

    Sebagai seorang perias pengantin, penghasilan yang didapatnya cukup besar. Sekali panggil jika yang hajatan  orang mampu taripnya  bisa Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan bagi yang tidak mampu ada kalanya hanya Rp 50 ribu, bahkan ada yang gratis karena keadaan yang memaksa.”Misalnya yang bunting duluan dan  keluarganya tidak mampu,”selorohnya.

    Ketua Panitia Malam Pesona Hiwara MKGR itu terus terang ketika ditanya bagaimana  kalau ia melakukan shalat. Nurlaelasari menuturkan, setiap ia bersembahyang ia bertindak sebagai lelaki.”Ada juga  waria yang sembahyang pakai mukena tetapi saya bantah,”ujarnya sambil menambahkan, ke mana pun ia pergi selalu tersedia peci, kain sarung dan sajadah di tasnya. Sambil mengatakan itu, tangannya membuka tasnya memperlihatkan  peralatan sholatnya.

   Ia suka mampir  di rumah temannya untuk shalat, bila ia melakukan perjalanan. Namun bila ia shalat di rumah,  pintu kamarnya  harus selalu terkunci supaya orang lain tidak mengetahuinya.

    Sebagai waria, menurut Nurlailasari, ia cukup bangga, karena telah diakui keberadaannya. Di kartu tanda penduduknya yang dulu jenis kelaminnya ditulis perempuan ia coret. Kini KTP yang ia miliki pada jenis kelamin ditulis waria.

    Ia juga mengecam para lelaki yang dinilainya munafik, suka mengejek para waria di mana pun, tetapi sering pula bisik-bisik minta “berkenalan” ketika sepi orang.
 (Mustofa AS/ds).-*


Harian Umum “AB”
 Sabtu, 12 Januari 1987.

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.