Diet Budaya Instan dengan Membaca Buku
Joko Setiyono jjokko@gmail.com Pustakawan UPT
Perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo
Rabu, 23
April 2014 13:40 WIB | |
|
Hari ini, 23 April, merupakan peringatan Hari Buku
Sedunia yang ke-19. United Nations for Educational and Scientific Cultural
Organization (UNESCO) dalam konferensi umum di Paris pada 1995, memutuskan 23
April sebagai World Book Day (WBD).
Perayaan tentang buku menjadi intensif dan meluas.
Indonesia melalui Forum Indonesia Membaca mulai merayakan WBD pada 2006 di
Plaza Departemen Pendidikan Nasional [kini Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan] dan perpustakaan kementerian itu di kawasan Senayan, Jakarta, waktu
itu.
Perayaan WBD merupakan bentuk penghargaan dan kemitraan
antara pengarang/penulis, penerbit, distributor, organisasi perbukuan, serta
komunitas yang bekerja sama mempromosikan buku dan budaya membaca. Perayaan itu
dalam rangka pengayaan kapasitas intelektual; meningkatkan nilai-nilai sosial
budaya dan kemasyarakatan serta kemanusiaan; mempromosikan kegiatan interaksi,
eksplorasi, dan membaca buku sebagai sebuah kesenangan dan kegembiraan.
Perayaan juga untuk mempromosikan membaca buku sebagai
aktivitas mengisi waktu senggang yang menyehatkan sekaligus mencerdaskan. WBD
secara berkala menyegarkan kembali ingatan publik terhadap urgensi penguatan
budaya membaca dan menulis atau budaya literer. WBD mengajak partisipasi
segenap elemen masyarakat untuk melihat jendela dunia, membaca buku.
Buku menjadi fokus WBD. Buku bukan hanya menjadi bahan
bacaan di waktu senggang. Buku telah menjadi tali pengikat manusia dengan
kebudayaan. Buku adalah media perekam dan penyebaran ilmu pengetahuan. Selama
berabad-abab buku menjadi tulang punggung perkembangan peradaban manusia.
Melalui buku ilmu pengetahuan diakumulasi dan
didistribusikan dari generasi ke generasi, dari satu kebudayaan ke kebudayaan,
dari peradaban ke peradaban. Dari zaman Plato sampai kepada Ipad-nya Parjo,
dari khotbah para nabi sampai Islamku, Islam Anda, Islam Kita karya
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Inilah saham buku terhadap peradaban.
William Ellery Channing mengungkapkan terutama melalui
buku-buku kita menikmati hubungan dengan pikiran superior. Di dalam buku-buku
terbaik, orang-orang besar berbicara kepada kita, memberikan kepada kita
pikiran paling berharga yang mereka miliki, juga menuangkan jiwa mereka ke
dalam diri kita. Mereka adalah suara-suara dari jauh dan sudah tiada yang
membuat kita menjadi waris dari kehidupan spiritual zaman-zaman silam (M. Rusli
Amin, 2002:39).
Maka, perintah yang sampai kepada kita kemudian
adalah: Bacalah, bacalah, bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan.
WBD mengirimkan spirit menyegarkan, bak oase di padang pasir dari fenomena
gempuran budaya instan yang kian menyergap ke segenap sudut kehidupan.
Interaksi kita dengan buku, jalinan mesra antara kita
dan buku, adalah masa syahdu yang bertolak belakang dengan kegersangan budaya
instan. Membaca buku mengantarkan kita ke dalam benteng waktu yang melindungi
dari arus liar budaya instan.
Membaca buku berarti menyediakan ruang kontemplasi
untuk permenungan diri, mengunyah dan mencerna atas apa yang tersaji. Membaca
buku berarti membangun elaborasi diri sehingga kaki lebih kokoh menjejak di
bumi.
Perilaku Bergegas
Budaya instan dalam pemaknaan sebagai perilaku ringkas
dan bergegas. Budaya instan yang semakin sering tampil dengan takzim dalam
praksis kehidupan telah membuat denyut detak zaman semakin panas perputarannya.
Kenyataan ini telah mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan
budaya para penganutnya. Perilaku absurd para calon anggota legislatif (caleg)
yang gagal, joki Ujian Nasional, investasi bodong, ijazah palsu, korupsi,
pembunuh bayaran, dan sebagainya adalah contoh nyata buah pahit getir dari
budaya instan.
Realitas zaman telah melahirkan budaya instan sebagai
sebuah keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan. Namun, menyerahkan seluruh
ruang kehidupan sebagai ruang praktik budaya instan adalah tragedi yang tak
terperi.
Gelar dan ijazah bisa jadi mudah diraih dengan rupiah,
namun mungkinkah kecerdasan diraih dengan laku demikian? Penghancuran dan
kekerasan fisik sangat mengintimidasi, namun semudah itukah menghapuskan
keyakinan dan ideologi?
Pakaian bagus, rumah megah, dan mobil mewah mudah
menaikkan gengsi, namun semudah itu pulakah meraih kehormatan dan harga diri?
Koalisi dan kongsi sangat mungkin dikalkulasi, namun mampukah menjaga kesetiaan
hanya dengan bagi-bagi kursi?
Ada kalanya kita bisa mengonsumsi fast food,
namun sangat berisiko bagi kesehatan bila seluruh menu terisi makanan cepat
saji semata. Ada saatnya canda, tawa, tangis, dan haru kita bersama program
acara televisi, namun relakah menghibur diri sepanjang hari di depan televisi
dalam melewatkan waktu luang?
Adalah sah-sah saja ber-SMS-an, menggunakan Facebook,
berinteraksi via Twitter, dan menggunakan telepon untuk mengabarkan diri, namun
kehadiran fisik adalah mengukuhkan sisi manusiawi.
Pepatah Jawa menyatakan ilmu iku kelakone kanthi
laku. Pepatah ini mengingatkan kita bahwa proses menjadi sesuatu yang
penting dalam kehidupan ini. Ada fakta yang perlu dicerna, ada data yang butuh
dianalisis.
Sementara laku budaya instan sejauh mungkin menghindar
hal-hal sedemikian. Budaya instan lebih menampilkan kulit daripada isi,
mengiring kepada kemasan dari pada esensi. Namun, justru dalam keringkasan dan
kebergegasannya ini kekuatan pesona budaya instan.
Budaya instan menggoda banyak penganutnya untuk terus
larut semakin dalam. Mereka menapaki kehidupan dengan jiwa dangkal, gersang,
dan rapuh menghadapi kendala dan rintangan. Mudah pasrah dan menyerah
bersahabat dengan stres dan depresi.
Kabar baiknya, kini seruan-seruan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap budaya instan semakin mengemuka. Seperti slow food
mencoba mereduksi fast food, bersepeda menuju kantor, pupuk organik,
pertanian organik, permainan tradisional mengganti game o-line, dan
sebagainya.
Dalam kerangka inilah spirit WBD bak oase di padang
pasir atas fenomena gempuran budaya instan menemukan relevansinya. Seruan untuk
lebih intensif membangun relasi dengan buku. WBD menawarkan resep atau obat
untuk melakukan diet terhadap budaya instan, yaitu membaca buku.
Morfologi buku yang sedemikian hingga, yaitu tersusun
dari elemen huruf, afabet, aksara, mencipta suku kata, suku kata merangkai
kata, kata menyusun kalimat, kalimat membentuk paragraf, paragraf menyusun bab,
bab membangun wacana.
Morfologi buku memaksa kita sebagai penikmat sajian
wacana harus melek huruf dahulu sebagai langkah sangat awal agar terbebas dari
buta aksara. Ini untuk mengeja suku kata, menangkap kata, mengungkap kalimat,
membaca paragraf, membaca bab demi bab demi, memahami isi wacana dalam buku.
Tak sedikit waktu yang kita habiskan untuk meraih
kemampuan membaca. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung adalah pengetahuan
paling dasar yang pertama diajarkan di sekolah. Anak-anak mengawali pendidikan
sekolah dasar dengan pelajaran membaca dan menulis dengan buku-buku yang
mengenalkan huruf-huruf, dengan tulisan besar-besar dan masih sedikit teks.
Beragam Ilmu Pengetahuan
Seiring dengan itu, mereka harus menyalin di buku
tulis. Keterampilan ini makin bertambah hingga akhirnya mereka bisa menguasai
kata, baik penulisan dan pengucapannya. Maka, kemampuan mencerna kalimat
berhasil didapatkan.
Kemudian, semakin tinggi kelas mereka akan makin
banyak berhubungan dengan buku yang kaya akan teks-teks bacaan. Mulailah mereka
berinteraksi dengan beragam ilmu pengetahuan. Ketika sampai menyelesaikan
pendidikan sarjana, mereka telah bisa menuliskan karya ilmiah dalam bentuk
skripsi.
Tak terhitung waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi
dengan buku, membuat pola pokir terkondisikan dan menjadi panduan memahami
realitas sosial dan natural yang dihadapi. Ini bukanlah pola yang instan.
Ben Carson dalam bukunya Think Big mengemukakan
membaca akan menggerakkan dan melatih pikiran. Membaca akan memaksa pikiran
untuk memilah. Dari awal, si pembaca harus mengenal huruf-huruf yang dicetak di
halaman buku, lalu membuat huruf-huruf itu menjadi kata, kata-kata menjadi
kalimat dan kalimat-kalimat menjadi konsep.
Membaca juga mendorong kita untuk menggunakan
imajinasi dan membuat kita cenderung lebih kreatif. Membaca buku merupakan
resep diet terhadap budaya instan yang mudah dan murah. Buku banyak tersedia di
sekitar kita dari pedagang kaki lima sampai toko buku dalam supermal.
Buku juga tersedia di perpustakaan-perpustakaan, dari perpustakaan sekolah
sampai perguruan tinggi, dari perpustakaan umum sampai perpustakaan masjid.
Bahkan, kini buku telah tersimpan dalam rak-rak buku
di langit berkat teknologi cloud computing yang siap diunduh dan dibaca
melalui komputer tablet yang ringan dalam genggaman tangan. Menyambut WBD ini,
mari ambil buku kita masing-masing dan mulai membuka lembar halaman-halamannya.
Mari membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Menyimak
paragraf demi paragraf, bab demi bab. Mencerna dan merenungkan wacana yang
disampaikan. Melakukan kontemplasi dan elaborasi terhadap sepenggal hikmah yang
terkemas.
Membaca dalam laku demikian sebagai upaya terapi
terhadap racun budaya instan yang mungkin telah menyergap sanubari kita, bak
kolesterol jahat yang mengendap di pembuluh darah kita. Melalui membaca buku,
analisis akal dan nurani akan terjaga. Dengan demikian, kita tak mudah tergoda
oleh kemasan semata dan selalu jeli meniti esensi.
Sumber: Solopos.com
Kota Bekasi, Minggu, 17 Agustus 2014
Kota Bekasi, Minggu, 17 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.