Thursday 7 August 2014

Teropong

                                     Lupa
                                                                
                                                            Oleh: Mustofa AS 

KITA sekarang lupa, atau dibuat agar melupakan suatu kebenaran, terutama kebenaran sejarah. Gejala yang menonjol, adanya upaya agar kita melupakan tragedi yang menimpa bangsa kita di masa lalu. Padahal sejarah, baik atau buruk, harus selalu diingat untuk kebaikan kita juga, agar langkah kita ke depan tidak terperosok untuk kedua kalinya. Bung Karno bahkan memberi judul pidatonya dengan Jas Merah, akronim dari Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Saat ini, banyak orang lupa diri, sehingga mengakibatkan peluang untuk melakukan perubahan menjadi tidak terkendali. Tak hanya itu, banyak juga yang melupakan sejarah, terutama tragedi bangsa kita oleh ulah  kaum komunis (PKI). Peringatan Oetojo Osman, mantan Ketua BP7 Pusat dan Menteri Kehakiman, agar parpol waspada terhadap masuknya bekas anggota PKI sebagai kader atau simpatisan parpol, adalah benar belaka. Katanya, situasi akhir-akhir ini mengindikasikan bahaya laten komunis masih hidup di Indonesia. Kita jangan melupakan sejarah.

Jelas, Oetojo menginginkan kita untuk tidak lupa kepada kekejaman pengikut komunis yang menghalalkan semua cara dalam mencapai tujuannya. Teror, isu, fitnah, provokasi, menjungkirbalikkan fakta, dan juga membunuh orang-orang tak berdosa bagi orang-orang komunis, halal  untuk dilakukan.
 
     Sejumlah peristiwa berdarah yang terjadi di Tanah Air dalam beberapa bulan ini, saya yakin tidak lepas dari gerakan komunisme yang yang kini sudah berwujud dalam kelompok tertentu yang sepak terjangnya serupa dengan  orang-orang PKI. Memprovokasi orang untuk berontak, menyerang kelompok lain, menghujat orang yang belum tentu bersalah, dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

     Orang-orang komunis generasi sesudah PKI atau mereka yang meneruskan perjuangan PKI, dalam baju barunya itu (entah parpol, simpatisan parpol, atau ikut menyusup ke dalam parpol) tentu sekarang akan lebih bebas dalam menjalankan gerakannya. Dengan berlindung di balik kata-kata hak asasi manusia, mereka bisa melakukan apa saja dan menunggangi siapa saja.

Dengan menghalalkan segala cara, berarti orang-orang komunis juga tidak akan segan merangkul lawan maupun kawan. Waspadalah! Jangan lupa kepada sejarah, ingat Nasakom (nasional, agama, komunis). Dari segi nama saja sudah aneh, bagaimana orang yang beragama harus berbaur dengan orang-orang komunis yang dikenal kejam dan tidak kenal persaudaraan itu? Bagaimana mungkin kebenaran  berbaur dengan kebatilan? Ingat pula, di antara mereka saling memanggil dengan kata-kata “kawan”, bukan saudara  atau teman, yang konotasinya lebih dekat dan akrab. Ciri lain mereka selalu membawa nama rakyat untuk gerakan-gerakannya.

Jika kita melupakan sejarah komunisme di Indonesia, berarti lambat atau cepat kita akan jadi mangsa mereka. Karena selain militan, kader-kader komunis juga kejam. Ingat peristiwa Madiun, peristiwa Bandar Betsi, dan juga Kanigoro. Tokoh-tokoh agama dibantai secara keji. Mereka menginginkan agar di Indonesia ini tidak ada umat beragama.

Komunisme bangkit lagi, berbagai indikator ada di depan mata kita. Orang-orang komunis dan mereka yang belum  mengenal kekejaman komunis berupaya menghidupkan komunisme. Dengan dalih demokrasi, komunisme dikibarkan lewat formulasi baru, bahkan tokoh komunis ‘didandani’ bagaikan seorang pahlawan perang. Seakan kekejian komunis sirna oleh sekelumit kata-kata demokrasi, hak asasi manusia. Padahal, mereka tidak mengenal sama sekali hak asasi manusia. Kalau tidak percaya, rasakan nanti bila kita lupa bahwa komunisme  sebenarnya masih ada di Indonesia.


Harian Umum ABRI
Selasa, 3 April 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.