Lupa
Oleh: Mustofa AS
KITA sekarang lupa, atau
dibuat agar melupakan suatu kebenaran, terutama kebenaran sejarah. Gejala yang
menonjol, adanya upaya agar kita melupakan tragedi yang menimpa bangsa kita di
masa lalu. Padahal sejarah, baik atau buruk, harus selalu diingat untuk
kebaikan kita juga, agar langkah kita ke depan tidak terperosok untuk kedua
kalinya. Bung Karno bahkan memberi judul pidatonya dengan Jas Merah, akronim dari
Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Saat ini, banyak orang lupa
diri, sehingga mengakibatkan peluang untuk melakukan perubahan menjadi tidak
terkendali. Tak hanya itu, banyak juga yang melupakan sejarah, terutama tragedi
bangsa kita oleh ulah kaum komunis
(PKI). Peringatan Oetojo Osman, mantan Ketua BP7 Pusat dan Menteri Kehakiman,
agar parpol waspada terhadap masuknya bekas anggota PKI sebagai kader atau
simpatisan parpol, adalah benar belaka. Katanya, situasi akhir-akhir ini
mengindikasikan bahaya laten komunis masih hidup di Indonesia. Kita jangan
melupakan sejarah.
Jelas, Oetojo menginginkan
kita untuk tidak lupa kepada kekejaman pengikut komunis yang menghalalkan semua
cara dalam mencapai tujuannya. Teror, isu, fitnah, provokasi,
menjungkirbalikkan fakta, dan juga membunuh orang-orang tak berdosa bagi
orang-orang komunis, halal untuk
dilakukan.
Sejumlah peristiwa berdarah
yang terjadi di Tanah Air dalam beberapa bulan ini, saya yakin tidak lepas dari
gerakan komunisme yang yang kini sudah berwujud dalam kelompok tertentu yang
sepak terjangnya serupa dengan
orang-orang PKI. Memprovokasi orang untuk berontak, menyerang kelompok
lain, menghujat orang yang belum tentu bersalah, dan menimbulkan keresahan di
kalangan masyarakat.
Orang-orang komunis generasi
sesudah PKI atau mereka yang meneruskan perjuangan PKI, dalam baju barunya itu
(entah parpol, simpatisan parpol, atau ikut menyusup ke dalam parpol) tentu
sekarang akan lebih bebas dalam menjalankan gerakannya. Dengan berlindung di
balik kata-kata hak asasi manusia, mereka bisa melakukan apa saja dan
menunggangi siapa saja.
Dengan menghalalkan segala
cara, berarti orang-orang komunis juga tidak akan segan merangkul lawan maupun
kawan. Waspadalah! Jangan lupa kepada sejarah, ingat Nasakom (nasional, agama,
komunis). Dari segi nama saja sudah aneh, bagaimana orang yang beragama harus
berbaur dengan orang-orang komunis yang dikenal kejam dan tidak kenal
persaudaraan itu? Bagaimana mungkin kebenaran berbaur dengan kebatilan? Ingat pula, di
antara mereka saling memanggil dengan kata-kata “kawan”, bukan saudara atau teman, yang konotasinya lebih dekat dan
akrab. Ciri lain mereka selalu membawa nama rakyat untuk gerakan-gerakannya.
Jika kita melupakan sejarah
komunisme di Indonesia, berarti lambat atau cepat kita akan jadi mangsa mereka.
Karena selain militan, kader-kader komunis juga kejam. Ingat peristiwa Madiun,
peristiwa Bandar Betsi, dan juga Kanigoro. Tokoh-tokoh agama dibantai secara
keji. Mereka menginginkan agar di Indonesia ini tidak ada umat beragama.
Komunisme bangkit lagi,
berbagai indikator ada di depan mata kita. Orang-orang komunis dan mereka yang
belum mengenal kekejaman komunis
berupaya menghidupkan komunisme. Dengan dalih demokrasi, komunisme dikibarkan
lewat formulasi baru, bahkan tokoh komunis ‘didandani’ bagaikan seorang
pahlawan perang. Seakan kekejian komunis sirna oleh sekelumit kata-kata
demokrasi, hak asasi manusia. Padahal, mereka tidak mengenal sama sekali hak
asasi manusia. Kalau tidak percaya, rasakan nanti bila kita lupa bahwa
komunisme sebenarnya masih ada di
Indonesia.
Harian Umum ABRI
Selasa, 3 April 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.