Wednesday 11 March 2015

Teropong




             Pesangon
                                                               
                                                Oleh:  Mustofa AS
   
     DALAM kehidupan berpolitik acapkali  kita dibuai dengan kata-kata, istilah ataupun jargon dan slogan. Kata-kata atau istilah yang kita gunakan  ini juga  banyak masuk dalam perbendaharaan kamus politik. Bahkan, istilah hukum, filsafat, dan bahasa kasar (sarkasme) tak lagi tabu dalam percaturan politik negeri ini.

Tuesday 10 March 2015

Mahasiswa Indonesia di Mesir kembangkan citra positif


    SAAT ini sekitar 3.000 pelajar/mahasiswa Indonesia tengah menimba ilmu di Mesir. Mereka umumnya berasal dari pesantren/madrasah dan perguruan tinggi dari pelosok Tanah Air merantau menuntut ilmu di sejumlah perguruan di sana.

    Zaini Hasan (30 tahun), mahasiswa tingkat tiga Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, setelah menamatkan pelajarannya di Gontor tahun 1987,dan mengabdikan diri selama dua setengah tahun di tempat ia dididik selama empat tahun, ia memilih belajar di Kairo.


Teropong



                             Mumpung
                                                         Oleh: Mustofa AS

    AJI mumpung pernah populer ketika pemerintah Orde Baru berkuasa. Istilah ini mengemuka karena nafsu serakah yang dimiliki sejumlah pemimpin saat itu, yang dampaknya kita rasakan sampai sekarang. Prinsip mereka, mumpung sedang berkuasa, mumpung bisa korupsi, mumpung bisa memanipulasi, mumpung bisa menindas rakyat, dan mumpung bisa mengatur, buat apa disia-siakan begitu saja.

     Sesungguhnya, aji mumpung bukan hanya dimonopoli oleh mereka yang berkuasa. Setiap individu pun sebenarnya bisa menggunakannya, cuma saja porsinya tidak sehebat pemegang kekuasaan. Contohnya, seorang pencuri menggunakan aji mumpung  dalam aksi menguras harta milik korbannya yang tak berada di rumah, mumpung rumah sepi.  Jadi, pencuri pun  menggunakan filsafat mumpung.

Rekening telepon instansi pemerintah




“Tapi Pak, kan bukan saya yang bikin hutang!”
  Sambil menyeka keringat di dahinya, Supomo (42 tahun) buru-buru turun dari Toyota Hardtop warna biru terang, begitu Arifin, sang sopir, menginjak rem di pelataran parkir sebuah gedung bertingkat di bilangan Jakarta Selatan. Udara Jakarta yang terik tampaknya  bukan hambatan bagi pegawai Perumtel bagian penagihan untuk tunggakan rekening instansi pemerintah itu tetap tampil dengan rapih.


    Lika-liku jalan di gedung perkantoran suatu instansi di bawah  suatu departemen itu nampaknya sudah dikenalnya betul. Seorang pegawai wanita  setengah baya yang ia hampiri langsung mempersilakan  Supomo menuju  ruang lain melalui lorong yang penuh dengan tumpukan arsip.