Makan tahu saat tanggung bulan dianggap
banyak uang
Arisan ataupun makan bersama
ternyata bisa dijadikan sebagai pengobat rasa rindu, selain untuk
mempererat tali persahabatan. Tukar menukar informasi mengenai keluarga
dan berbagai masalah hangat juga bisa dibicarakan pada pertemuan rutin
itu.
Kegiatan semacam
itu secara bergiliran dilakukan oleh keluarga-keluarga Indonesia yang berada di
Auckland, Selandia Baru. Antar mereka sudah seperti bersaudara saja.
Bagi mereka,
kedatangan tamu dari tanah air merupakan suatu hal yangh istimewa dan bisa
dijadikan bahan obrolan berlama-lama dengan sesama rekan di sana. Maka tidak
heran jika di antara mereka ada yang kedatangan tamu dari Indonesia, biasanya
diajak berkeliling mengunjungi rekan-rekan sesame warga negara Indonesia untuk
sekadar bersilaturahmi.
Saya beserta
rekan Edy Lestaryono dari Berita Buana ketika mengunjungi Selandia Baru
atas undangan Garuda Indonesia awal Nopember lalu, sempat pula diajak keliling
oleh Boy Albanik, mahasiswa yang saat ini nenekuni bidang komputer di Auckland
Technical Institute.
Ada sekitar 400
warga negara Indonesia di Auckland, kota yang indah dan bersih dengan
gedung-gedung pencakar langit yang mengagumkan itu. Dari jumlah itu separuhnya
adalah pelajar, sedangkan lainnya bekerja di berbagai bidang.
Di Negara yang
berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa dan penghasilan per kapita
penduduknya sekitat Rp 10 juta
Itu, warga negara Indonesia umumnya
tinggal di flat-flat atau rumah sewaan. Mereka memiliki wadah yang disebut
Imasi (Ikatan Masyarakat Indonesia ) di Auckland. Imasi juga terdapat di
Wellington, ibu kota Selandia Baru, selain PPI (Persatuan Pelajar Indonesia).
Rombongan
penerbangan perdana Garuda Indonesia ke New Zealand tentu saja mendapat
sambutan hangat dari masyarakat Indonesia di sana.
Di Selandia Bary
yang memiliki luas lebih dari dua kali luas Pulau Jawa dan terletak 2.012 Km
sebelah timur Australia itu kini bermukim sekitar 700 orang Indonesia yang
tersebar di Wellington maupun Auckland.
Negara eksportir
terbesar daging domba dan mentega itu kaya akan tempat-tempat indah
dengan penduduknya yang cukup ramah. Perhatian pemerintah terhadap
warganya cukup menonjol, misalnya berobat ke rumah sakit tidak dipungut
bayaran. Demikian pula mereka yang menganggur mendapat tunjangan dari
pemerintah.
Dalam soal
pendidikan pemerintah New Zealand juga patut mendapat acungan jempol. Anak-anak
usia sekolah harus segera dimasukkan ke sekolah. Jika tidak, orangtua mereka
bisa terkena sanksi. Adi Priyadi Kadar, mahasiswa jurusan
geologi di Auckland pernah terheran-heran ketika anak rekannya yang
berusia sekolah diharuskan segera mendaftar ke sekolah terdekat
oleh petugas di sana. Padahal menurut Kadar, sebulan lagi anak itu akan dibawa
orangtuanya ke Indonesia dan keluarganya tidak pernah memberitahu di
tempat itu ada anak usia sekolah. ”Meskipun sebulan lagi pulang ke
tanah air anak itu tetap harus sekolah dulu meskipun singkat
waktunya,”ujar Adi Priyadi menuturkan ketatnya masalah pendidikan di sana.
Priyadi mendapat
tugas belajar dari Departemen Pertambangan dan Energi. Beserta istri dan
anaknya ia menempati rumah di 2/10 Marlborough St, Auckland. Istrinya bekerja
untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga di sana.
Ketika Kepala
Perwakilan Garuda Indonesia di Selandia Baru, Hery Setiawan, mengundang
makan para wartawan dan grup tari Chandraditya, Adi Priyadi Kadar dan Boy
Albanik yang aktif dalam Imasi itu bolak-balik mengangkut undangan itu, dari
hotel ke rumah tempat jamuan dengan mobil mereka.
Undangan makan
tentu saja disambut gembira, maklum berada 10 hari di negeri orang, hanya
beberapa kali menikmati nasi dan masakan Indonesia.
Seperti Boy Albanik yang belajar
sambil bekerja, banyak pelajar Indonesia di sana juga bekerja baik di
restoran, panti jompo, menjadi sopir taksi dan lain-lain.
Tanggung bulan
Boy yang telah
menamatkan studi bidang kelistrikan kini mengambil jurusan komnputer. Ia
tinggal bersama istrinya, Ellen dan anak putrinya Meutia di bilangan
daerah mewah Remuera.”Yang mewah kan daerahnya, sedangkan kami biasa saja,”ujar
Boy Albanik sambil tertawa.
Rumah yang
disewanya per minggu 150 dolar New Zealand (NZ$1 sekitar Rp 1.200) cukup
memenuhi syarat sebagai rumah. Umumnya rumah di sana memiliki halaman yang
luas, alat pendingin dan penghangat ruangan, televisi, video dan juga telepon.
Untuk memasang
telepon di sana hanya diperlukan NZ$90, pelanggan cukup memiliki
seseorang untuk menjamin maka telepon akan dipasang.
Meskipun tingkat
kehidupan orang Indonesia di sana nampaknya cukup lumayan, namun rasa
rindu kepada tanah air tidak bisa ditahan-tahan.” Sebagai obat ya kami arisan
setiap dua minggu sekali dengan keluarga-keluarga Indonesia,”ujar Ellen.
Ia katanya
kangen dengan bakso, atau tempe/tahu yang di sana cukup mahal
harganya.”Pokoknya kalau soal makanan Indonesia apalagi bakso sulit dicari di
sini,”kata mahasiswa jurusan bahasa Jerman itu.
Tahu kalengan
buatan Taiwan memang terdapat di sana tetapi harganya cukup mahal. Wakil Atase
Pertahanan Kedubes Indonesia di Wellington Mayor Prayitno Ramelan bahkan
mengatakan, harga tahu lebih mahal dibandingkan harga ayam. Maka kalau ada
orang Indonesia makan tahu pada tanggung bulan, berarti ia sedang banyak duit.”Wong
tanggung bulan kok makan tahu,” ujar Prayitno yang kaya dengan humor itu
sambil menambahkan harga tahu di sana sepotong bisa mencapai Rp 3.000.
Tingkat
pendapatan dan biaya hidup di Selandia Baru cukup tinggi bila dibandingkan
dengan Indonesia. ”Saya harus mengirimkan uang Rp 700.000 per bulan,”ujar
seorang ibu yang anaknya bersekolah setingkat SLTA di Auckland. Uang itu untuk
biaya hidup di sana. Sedangkan untuk biaya sekolah cukup murah.”Saya cuma bayar
38 dolar untuk setahun,”kata Yanuarsyah, pelajar tingkat SLTA di Auckland. Yang
mahal menurut dia adalah biaya untuk transportasi dari rumah ke sekolah yang
jaraknya cukup jauh.
Pakaian dan
makanan di sana untuk ukuran orang Indonesia dinilai cukup mahal.”Pakaian
saya beli dari Indonesia, kalau kebetulan pulang, pokoknya mborong,”ujar
Wahid Ghamry yang telah 13 tahun menetap di Auckland. Pria asal Jalan
Dempo, Malang, Jatim, itu bekerja sebagai ahli peralatan pendinginan.
Wahid menuturkan,
ia “terdampar” di Selandia Baru setelah setengah tahun berada di Australia
dengan tujuan belajar bahasa Inggris, namun tidak betah. Karena kemauan
dan kerja keras, Ghamry dan istrinya yang orang Malang itu kini menempati
sebuah rumah yang dibelinya seharga Rp 82 juta di bilangan Roseman Ave MT
Roskill, Auckland.
Warga Negara
Indonesia yang berada di Auckland cukup haus akan informasi dari tanah air.
Tidak heran jika ada koran atau majalah yang didrop dari Kedubes Indonesia
menjadi rebutan”Koran sampai kumal, karena berpindah-pindah tangan,”kata Wahid.
Koran maupun majalah itu biasanya sudah sebulan atau lebih dari tanggal
penerbitannya.
Semoga dengan
semakin dekatnya Indonesia dengan Selandia Baru melalui jembatan yang
dibuat Garuda Indonesia, informasi melalui mass media bisa cepat sampai
kepada kami, ujar beberapa anggota Imasi berharap.
Bagi para pendatang,
saat ini sulit mencari pekerjaan di Selandia Baru, tidak seperti beberapa tahun
silam. Menurut Dubes Indonesia untuk Selandia Baru Darwoto, tingkat pengangguran
di sana mencapai 9,6 persen per tahun. Namun ia mengakui, tenaga-tenaga
tukang sangat jarang ditemui di sana. ”Sedikit jumlahnya,”ujarnya.
Nekad
Ketika dijamu di rumah
Ai Sukaesih, wanita asal Majalengka yang bersuamikan insinyur panas bumi asal
Auckland, saya bertemu dua pemuda asal Jawa Timur yang belum lama datang ke
sana.
Dua pemuda itu, katakanlah
Dudung dan Rachmat, mungkin tergiur akan sukses rekan-rekannya di negeri orang.
Mereka bertekad untuk bisa bekerja di Auckland. Dengan semangat petualangannya
kedua orang itu berani malang melintang di negeri orang yang sama sekali belum
dikenalnya.
Menurut penuturan
dua pemuda yang kini menumpang itu, mereka sempat tidur di taman kota
ditemani kopor-kopornya. Untunglah ada seorang Tanzania yang membawa kedua
orang itu ke masjid. Selama beberapa hari tidur di masjid Auckland, kedua orang
itu akhirnya bertemu dengan “saudaranya” orang Indonesia dan
diperbolehkan menumpang di sana.
Entah bagaimana nasib
kedua pemuda itu selanjutnya, soalnya mencari pekerjaan di sana sulit.
Berdagang soto Madura misalnya juga sangat tidak mungkin, sebab di kota yang
sangat memperhatikan kebersihan dan lingkungan hidup itu hampir tidak ditemukan
pedagang kakilima seperti di Jakarta.
Untuk menjadi
buruh kasar barangkali mudah, di sana orang bekerja dibayar per jam. Untuk
buruh kasar 7 sampai 13 dolar Selandia Baru per jam. Sedangkan gaji karyawan
menengah sekitar 32 dolar per jam. Hari Sabtu dan Minggu tutup, juga toko-toko
pada hari Sabtu hanya buka sampai pukul 12.00.
Makanan pokok
orang-orang Indonesia di Selandia Baru tentu saja nasi, dan beras bisa
dibeli di “Thai Shop”.
Restoran
Indonesia di Auckland cukup laris. Borobudur Restoran milik suami istri Winston
Juli Phan menyediakan masakan Indonesia seperti nasi goreng, lumpia,
sate, kroket dan lain-lain. Sebelum adanya Borobudur Restoran masakan Indonesia
bisa dibeli dari Restoran Thai namun masakannya masakan Indonesia ala
Thai, dan harganya cukup mahal.
Di Borobudur,
pengunjung bisa menikmati makanan Indonesia dengan suasana Indonesia. Baik
ruangan maupun dekorasi termasuk seragam pelayannya menggambarkan Indonesia.
Harga
makanan di restoran itu misalnya nasi goreng sekitar Rp 14.000/porsi,
nasi goreng spesial sekitar Rp 18.000/porsi. Kalau di Indonesia nasi
goreng semacam itu paling mahal sekitar Rp 5.000/porsi.
Rumah makan yang
berada di sudut jalan di Auckland itu memiliki 40 tempat duduk
dengan 8 pelayan. Restoran senilai Rp 1 miliar itu banyak dikunjungi
orang-orang Belanda yang pernah ke Indonesia. Bahkan beberapa pejabat
Indonesia pernah makan di sana, termasuk seorang menteri Selandia Baru.
Menurut Juli yang
juga kuliah di Auckland Technical Institute, ia dan suaminya mula-mula
menjual beberapa makanan yang mudah dibuat. Namun berkat dorongan dan banyaknya
permintaan, akhirnya berdirilah restoran tersebut pada Agustus 1985.
Pada malam
pergelaran promosi Indonesia oleh Garuda Indonesia di Kingsgate Auckland,
pemilik restoran yang juga anggota Imasi itu mengundang beberapa orang
untuk makan cuma-cuma di restorannya melalui door prize.
Kalau sedang
ramai menurut Juli, banyak tamu tidak kebagian tempat. Karena itu sekarang
banyak yang pesan tempat terlebih dulu, sebelum makan di sana.
Orang-orang
Indonesia di Selandia Baru juga tidak lepas dari pembinaan
pejabat-pejabat Kedubes RI di sana, termasuk Imasi dan PPI. Mereka juga
diikutsertakan dalam setiap kegiatan mempromosikan Indoesia, kata
Dubes Darwoto ketika ditanya mengenai pembinaan terhadap mereka.
Ia mengakui, selain
Bali, daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia belum banyak dikenal
orang-orang Selandia Baru. Adanya jurusan bahasa Indonesia di sana dan
keinginan pertukaran mahasiswa antara Selandia Baru dan Indonesia
diharapkan akan bisa memperluas pengenalan mengenai Indonesia.
Para pelajar
Indonesia di Auckland bersama grup tari Chandraditya mungkin menyadari akan hal
itu, maka mereka pun pada suatu malam mengarak ondel-ondel di jalan-jalan
kota Auckland, memperkenalkan Indonesia diiringi tetabuhan yang dipukul
sekenanya.(Mustofa AS/2.1)
Harian Umum AB
14 Desember 1988
Harian Umum AB
14 Desember 1988
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.