Tuesday 7 October 2014

Orang-Orang Indonesia di Auckland


Makan tahu saat tanggung bulan dianggap banyak uang
  

Arisan ataupun makan bersama ternyata bisa dijadikan sebagai pengobat rasa rindu, selain untuk mempererat  tali persahabatan. Tukar menukar informasi mengenai keluarga dan berbagai masalah hangat juga bisa dibicarakan  pada pertemuan rutin itu.

    Kegiatan semacam itu secara bergiliran dilakukan oleh keluarga-keluarga Indonesia yang berada di Auckland, Selandia Baru. Antar mereka sudah seperti bersaudara saja.


    Bagi mereka, kedatangan tamu dari tanah air merupakan suatu hal yangh istimewa dan bisa dijadikan bahan obrolan berlama-lama dengan sesama rekan di sana. Maka tidak heran jika di antara mereka ada yang kedatangan tamu dari Indonesia, biasanya diajak berkeliling mengunjungi rekan-rekan sesame warga negara Indonesia untuk sekadar bersilaturahmi.

    Saya beserta rekan Edy Lestaryono dari Berita Buana ketika mengunjungi Selandia Baru atas undangan Garuda Indonesia awal Nopember lalu, sempat pula diajak keliling oleh Boy Albanik, mahasiswa yang saat ini nenekuni bidang komputer di Auckland Technical Institute.

    Ada sekitar 400 warga negara Indonesia di Auckland, kota yang indah dan bersih dengan gedung-gedung pencakar langit yang mengagumkan itu. Dari jumlah itu separuhnya adalah pelajar, sedangkan lainnya bekerja di berbagai bidang.

   Di Negara yang berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa  dan penghasilan  per kapita penduduknya sekitat Rp 10 juta
Itu, warga negara Indonesia umumnya tinggal di flat-flat atau rumah sewaan.  Mereka memiliki wadah yang disebut Imasi (Ikatan Masyarakat Indonesia ) di Auckland. Imasi juga terdapat di Wellington, ibu kota Selandia Baru, selain PPI (Persatuan Pelajar Indonesia).

    Rombongan penerbangan perdana Garuda Indonesia ke New Zealand tentu saja mendapat sambutan  hangat dari masyarakat Indonesia di sana.

    Di Selandia Bary yang memiliki luas lebih dari dua kali luas Pulau Jawa dan terletak 2.012 Km sebelah timur Australia itu kini bermukim sekitar 700 orang Indonesia yang tersebar di Wellington   maupun Auckland.

    Negara eksportir terbesar  daging domba dan mentega itu kaya akan tempat-tempat indah dengan penduduknya yang cukup ramah. Perhatian  pemerintah terhadap  warganya cukup menonjol, misalnya berobat ke rumah sakit tidak dipungut bayaran. Demikian pula mereka yang menganggur mendapat tunjangan dari pemerintah.

    Dalam soal pendidikan pemerintah New Zealand juga patut mendapat acungan jempol. Anak-anak usia sekolah harus segera dimasukkan ke sekolah. Jika tidak, orangtua mereka bisa terkena sanksi.    Adi Priyadi Kadar, mahasiswa jurusan geologi di Auckland pernah terheran-heran ketika anak rekannya  yang berusia sekolah diharuskan  segera mendaftar ke  sekolah terdekat oleh petugas di sana. Padahal menurut Kadar, sebulan lagi anak itu akan dibawa orangtuanya ke Indonesia dan keluarganya tidak pernah memberitahu di  tempat itu ada anak   usia sekolah. ”Meskipun sebulan lagi pulang ke tanah air anak itu tetap harus  sekolah dulu meskipun singkat waktunya,”ujar Adi Priyadi menuturkan ketatnya masalah pendidikan di sana.

    Priyadi mendapat tugas belajar dari Departemen Pertambangan dan Energi. Beserta istri dan anaknya ia menempati rumah di 2/10 Marlborough St, Auckland. Istrinya bekerja untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga di sana.

    Ketika Kepala Perwakilan Garuda Indonesia di Selandia Baru, Hery Setiawan,  mengundang makan para wartawan dan grup tari Chandraditya, Adi Priyadi Kadar dan Boy  Albanik yang aktif dalam Imasi itu bolak-balik mengangkut undangan itu, dari hotel ke rumah tempat jamuan dengan mobil mereka.

    Undangan makan tentu saja disambut gembira, maklum berada 10 hari di negeri orang, hanya  beberapa kali menikmati nasi dan masakan Indonesia.

Seperti Boy Albanik yang belajar sambil bekerja, banyak pelajar Indonesia  di sana juga bekerja baik di restoran, panti jompo, menjadi sopir taksi dan lain-lain.

Tanggung bulan
    Boy yang telah menamatkan studi bidang kelistrikan kini mengambil jurusan komnputer. Ia tinggal bersama istrinya, Ellen dan anak putrinya Meutia di bilangan  daerah mewah Remuera.”Yang mewah kan daerahnya, sedangkan kami biasa saja,”ujar Boy Albanik sambil tertawa.

    Rumah yang disewanya per  minggu 150 dolar New Zealand (NZ$1 sekitar Rp 1.200) cukup memenuhi syarat sebagai rumah. Umumnya rumah di sana memiliki halaman yang luas, alat pendingin dan penghangat ruangan, televisi, video dan juga telepon.

    Untuk memasang telepon di sana hanya diperlukan  NZ$90, pelanggan cukup memiliki seseorang untuk menjamin maka telepon akan dipasang.

    Meskipun tingkat kehidupan orang Indonesia di  sana nampaknya cukup lumayan, namun rasa rindu kepada tanah air tidak bisa ditahan-tahan.” Sebagai obat ya kami arisan setiap dua minggu sekali dengan keluarga-keluarga Indonesia,”ujar Ellen.

    Ia katanya  kangen dengan bakso, atau tempe/tahu yang di sana cukup mahal harganya.”Pokoknya kalau soal makanan Indonesia apalagi bakso sulit dicari di sini,”kata mahasiswa jurusan bahasa Jerman itu.

    Tahu kalengan buatan Taiwan memang terdapat di sana tetapi harganya cukup mahal. Wakil Atase Pertahanan Kedubes Indonesia di Wellington Mayor Prayitno Ramelan bahkan mengatakan, harga tahu lebih mahal dibandingkan harga ayam. Maka kalau ada orang Indonesia makan tahu pada tanggung bulan, berarti ia sedang banyak duit.”Wong tanggung bulan kok makan tahu,” ujar Prayitno yang kaya dengan humor itu sambil menambahkan harga tahu di sana sepotong  bisa mencapai Rp 3.000.

    Tingkat pendapatan dan  biaya hidup di Selandia Baru cukup tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia. ”Saya harus mengirimkan uang Rp 700.000 per bulan,”ujar seorang ibu yang anaknya bersekolah setingkat SLTA di Auckland. Uang itu untuk biaya hidup di sana. Sedangkan untuk biaya sekolah cukup murah.”Saya cuma bayar 38 dolar untuk setahun,”kata Yanuarsyah, pelajar tingkat SLTA di Auckland. Yang mahal menurut dia adalah biaya untuk transportasi dari rumah ke sekolah yang jaraknya cukup jauh.

    Pakaian dan makanan di sana untuk ukuran orang Indonesia  dinilai cukup mahal.”Pakaian saya beli dari Indonesia, kalau kebetulan pulang, pokoknya mborong,”ujar Wahid Ghamry yang telah 13 tahun  menetap di Auckland. Pria asal Jalan Dempo, Malang, Jatim, itu  bekerja sebagai ahli peralatan pendinginan.

    Wahid menuturkan, ia “terdampar” di Selandia Baru setelah setengah tahun berada di Australia dengan tujuan belajar bahasa Inggris, namun tidak betah.  Karena kemauan dan kerja keras, Ghamry dan istrinya yang orang Malang itu kini menempati sebuah rumah yang dibelinya seharga Rp 82 juta di bilangan Roseman Ave MT Roskill, Auckland.

    Warga Negara Indonesia yang berada di Auckland cukup haus akan informasi dari tanah air. Tidak heran jika ada koran atau majalah yang didrop dari Kedubes Indonesia menjadi rebutan”Koran sampai kumal, karena berpindah-pindah tangan,”kata Wahid. Koran maupun majalah itu biasanya sudah sebulan atau lebih dari tanggal penerbitannya.

    Semoga dengan semakin dekatnya  Indonesia dengan Selandia Baru melalui jembatan yang dibuat Garuda Indonesia, informasi melalui mass media bisa  cepat sampai kepada kami, ujar beberapa anggota Imasi berharap.

   Bagi para pendatang, saat ini sulit mencari pekerjaan di Selandia Baru, tidak seperti beberapa tahun silam. Menurut Dubes Indonesia untuk Selandia Baru Darwoto, tingkat pengangguran di sana  mencapai 9,6 persen per tahun. Namun ia mengakui, tenaga-tenaga tukang sangat jarang ditemui di sana. ”Sedikit jumlahnya,”ujarnya.
 
Nekad
   Ketika dijamu di rumah Ai Sukaesih, wanita asal Majalengka yang bersuamikan insinyur panas bumi asal Auckland, saya bertemu dua pemuda asal Jawa Timur yang belum lama datang ke sana.

Dua pemuda itu, katakanlah  Dudung dan Rachmat, mungkin tergiur akan sukses rekan-rekannya di negeri orang. Mereka bertekad untuk bisa bekerja di Auckland. Dengan semangat petualangannya kedua orang itu berani malang melintang di negeri orang yang sama sekali belum dikenalnya.

    Menurut penuturan dua pemuda yang kini  menumpang itu, mereka sempat tidur di taman kota ditemani kopor-kopornya. Untunglah ada seorang Tanzania yang membawa kedua orang itu ke masjid. Selama beberapa hari tidur di masjid Auckland, kedua orang itu akhirnya bertemu dengan “saudaranya” orang Indonesia dan diperbolehkan  menumpang di sana.

   Entah bagaimana nasib kedua pemuda itu selanjutnya, soalnya mencari pekerjaan di sana sulit. Berdagang soto Madura misalnya juga sangat tidak mungkin, sebab di kota yang sangat memperhatikan kebersihan dan lingkungan hidup itu hampir tidak ditemukan pedagang kakilima seperti di Jakarta.

    Untuk menjadi buruh kasar barangkali mudah, di sana orang bekerja dibayar per jam. Untuk buruh kasar 7 sampai 13 dolar Selandia Baru per jam. Sedangkan gaji karyawan menengah sekitar 32 dolar per jam. Hari Sabtu dan Minggu tutup, juga toko-toko pada hari Sabtu hanya buka sampai pukul 12.00.

    Makanan pokok orang-orang Indonesia  di Selandia Baru tentu saja nasi, dan beras bisa dibeli di “Thai Shop”.

    Restoran Indonesia di Auckland cukup laris. Borobudur Restoran milik suami istri Winston Juli Phan menyediakan masakan  Indonesia seperti nasi goreng, lumpia, sate, kroket dan lain-lain. Sebelum adanya Borobudur Restoran masakan Indonesia bisa dibeli  dari Restoran Thai namun masakannya masakan Indonesia ala Thai, dan harganya cukup mahal.

    Di Borobudur, pengunjung bisa menikmati makanan Indonesia dengan suasana Indonesia. Baik ruangan maupun dekorasi termasuk seragam pelayannya menggambarkan Indonesia.

    Harga makanan  di restoran itu misalnya nasi goreng sekitar Rp 14.000/porsi, nasi goreng spesial sekitar Rp 18.000/porsi. Kalau di Indonesia  nasi goreng semacam itu paling mahal sekitar Rp 5.000/porsi.

    Rumah makan yang berada di sudut  jalan di Auckland itu  memiliki 40 tempat duduk dengan 8 pelayan. Restoran senilai Rp 1 miliar itu  banyak dikunjungi orang-orang Belanda yang pernah ke Indonesia. Bahkan beberapa pejabat  Indonesia pernah  makan di sana, termasuk seorang menteri Selandia Baru.

    Menurut Juli yang juga kuliah di Auckland Technical  Institute, ia dan suaminya mula-mula menjual beberapa makanan yang mudah dibuat. Namun berkat dorongan dan banyaknya permintaan, akhirnya berdirilah restoran tersebut pada Agustus 1985.

    Pada malam pergelaran promosi Indonesia oleh Garuda Indonesia di Kingsgate Auckland, pemilik restoran yang juga anggota  Imasi itu mengundang beberapa orang untuk makan  cuma-cuma di restorannya melalui door prize.

    Kalau sedang ramai menurut Juli, banyak tamu tidak kebagian tempat. Karena itu sekarang banyak  yang pesan tempat terlebih dulu, sebelum makan di sana.

    Orang-orang Indonesia di Selandia Baru juga tidak lepas dari pembinaan  pejabat-pejabat Kedubes RI di sana, termasuk  Imasi dan PPI. Mereka juga diikutsertakan dalam  setiap kegiatan mempromosikan  Indoesia, kata Dubes Darwoto ketika ditanya mengenai pembinaan terhadap mereka.

   Ia mengakui, selain Bali, daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia belum banyak dikenal orang-orang Selandia Baru. Adanya jurusan bahasa Indonesia di sana dan keinginan  pertukaran mahasiswa antara Selandia Baru dan Indonesia diharapkan akan bisa memperluas pengenalan  mengenai Indonesia.

    Para pelajar Indonesia di Auckland bersama grup tari Chandraditya mungkin menyadari akan hal itu, maka mereka pun pada suatu malam  mengarak ondel-ondel di jalan-jalan kota Auckland, memperkenalkan Indonesia diiringi tetabuhan yang dipukul sekenanya.(Mustofa AS/2.1)


Harian Umum AB
14 Desember 1988


Harian Umum AB
14 Desember 1988


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.