Pengalaman
Oleh: Mustofa AS
KETERBUKAAN dan kebebebasan
yang menjelma saat ini benar-benar
dimanfaatkan oleh hampir semua kalangan.
Dari kalangan bawah sampai presiden seakan-akan berlomba untuk ikut mengisi dan
menyemarakkannya. Orang tidak lagi sungkan mengungkapkan sesuatu yang selama
bertahun-tahun dianggap tabu atau sebagai pelanggaran berat.
Dampak negatif dari
keterbukaan dan kebebasan itu memang ada. Karena, begitu gerbang kebebasan itu
terbuka, orang bisa seenaknya memprovokasi dan menghujat. Sehingga, timbul
provokator-provokator dan penghujat-penghujat, termasuk sejumlah media massa
yang secara sadar atau tidak ikut menghujat dan memprovokasi.
Keterbukaan yang menandai
tahapan reformasi membuat orang tidak lagi ragu-ragu menyatakan keingian dan
cita-citanya. Termasuk cita-cita ingin menjadi Presiden RI. Meskipun, menjadi
orang nomor satu di republik ini jelas tidak mudah. Bila jabatan ini telah
diraih, jelas pemimpin ini akan
memperoleh banyak kemudahan. Setidak-tidaknya itulah gambaran yang paling
gampang mengapa banyak orang ingin menjadi presiden.
Karena omong kosong, jika
seseorang menginginkan jabatan itu hanya untuk memperjuangkan cita-cita yang
mengatasnamakan rakyat belaka. Sekali
lagi omong kosong. Karena, pada dasarnya manusia itu sama saja, punya sifat
rakus, otoriter, dan sok kuasa. Kalau tak hati-hati, sifat-sifat demikian bisa membuat tergelincir alias terpeleset.
Kecuali, orang itu punya benteng iman yang kuat dan stabil. Apalagi, jika
keinginan itu sudah menjurus kepada ambisi yang luar biasa (ambisius). Mengutip
kata-kata orang pandai, punya ambisi itu baik, tetapi kalau sudah ambisius
rasanya tidak baik.
Kembali ke soal calon
presiden. Betapapun kecilnya pada dasarnya kekuasaan itu enak. Kalau tidak,
mengapa begitu banyak orang mengejarnya? Presiden BJ Habibie pun tetap
menginginkan menjadi Presiden RI pasca-Pemilu. Ini satu bukti lagi bahwa kekuasaan
(baca Presiden) adalah kedudukan yang enak. Walaupun saat ini ia dihujat,
dikritik, dan dilecehkan oleh kalangan elite politik dan orang-orang yang tidak
suka terhadapnya. Masalah yang dihadapinya juga berat dan tidak sedikit jumlahnya.
Soeharto pun ‘cukup’ 32 tahun jadi presiden dan harus lengser setelah melalui
proses pendongkelan yang deras. Ini juga satu kenyataan lagi bahwa kedudukan
itu nikmat. Kata almarhum pelawak S Bagyo,”Kalau sudah duduk, biasanya orang
lupa berdiri.”
Tilik para tokoh parpol kita
yang mencalonkan diri jadi presiden mendatang. Mereka tidak sungkan-sungkan
lagi menyatakan secara terbuka sebagai calon presiden. Tingkah mereka pun
terkadang aneh. Ada di antara mereka
yang memperlihatkan sifat kekanak-kanakan, ada pula yang berandai-andai,
menerawang ke masa yang belum pasti itu. Ada juga capres yang kalem, ada yang
pecicilan, ada yang cerewet dan sedikit sombong. Semoga di antara paling sedikit delapan Capres itu ada yang
memang benar-benar ikhlas dan mampu memimpin negara yang kita cintai ini.
Seorang yang juga
diunggulkan menjadi presiden mematok sejumlah kriteria untuk pemimpin masa
depan itu. Di antaranya, harus memiliki kemampuan memimpin bangsa mengatasi
krisis yang sampai saaat ini belum teratasi mampu menyelamatkan dan
melaksanakan reformasi, dan dapat mempertahankan keutuhan bangsa, serta
memiliki kredibilitas kepemimpinan.
Sebaliknya kriteria tak
tertulis (tapi banyak diomongkan orang-red)
untuk Capres pada masa Orde Baru tidak usah dijadikan persyaratan untuk Capres
pasca-Pemilu ’99. Karena, reformasi akan mandek. Misalnya seseorang yang akan
jadi presiden haruslah orang Jawa, beragama Islam, dan memiliki pengalaman
sebagai presiden. Nah, kalau saja kriteria ini masih berlaku nanti, maka sekian
banyak Capres akan berguguran, termasuk BJ Habibie. Karena, meskipun dia Islam
dan sudah berpengalaman jadi presiden, tetapi ia bukan orang Jawa.
Harian Umum ABRI
Kamis, 3 Juni 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.