Wednesday 6 August 2014

Becak akan hapus dari DKI Jakarta secara alami

                                                    Oleh Mustofa AS Wartawan “AB”

Kendaraan becak mulai hari ini, Senin 1 April 1985, resmi dihapuskan dari wilayah DKI Jakarta. Ini berarti becak-becak yang masih beroperasi setelah tanggal itu merupakan becak-becak liar.

PEMDA DKI sebenarnya telah menetapkan penghapusan becak ini dengan batas waktu mulai 1 Januari 1985, namun ternyata masih ada beberapa becak di wilayah Jakarta Selatan yang memiliki tanda pembayaran pajak sampai dengan 31 Maret 1985. Karena itu Pemda DKI memberikan kesempatan becak-becak beroperasi sampai dengan 31 Maret 1985.

Ketika rencana penghapusan becak-becak dari DKI Jakarta terdengar kembali awal Februari 1983, berbagai reaksi bermunculan, ada yang setuju ada pula yang keberatan. Berbagai alasan pun dikemukakan, komentar dari orang awam sampai pejabat pemerintahan ramai dimuat di berbagai suratkabar.


Kalangan masyarakat berpendapat, kendaraan roda tiga yang digerakkan tenaga manusia itu masih dibutuhkan di kota Metropolitan itu. Khususnya pada malam hari ketika kita membutuhkan kendaraan angkutan umum, becak dengan mudah kita temukan di mana-mana.

Demikian pula di sudut-sudut kota yang belum terjangkau  kendaraan umum bermotor, becak merupakan kemudahan yang sangat diperlukan. Dari segi tenaga kerja, pekerjaan menggenjot becak merupakan lapangan pekerjaan yang dijamin halal.

Kalangan yang mendukung dihapuskannya becak dari DKI Jakarta berpendapat, pekerjaan  menarik becak tidak manusiawi, mengganggu kelancaran lalu-lintas, bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan lain-lain alasan.

Lalu kenapa becak mesti dihapuskan dari Jakarta? Padahal masih banyak penduduk DKI yang membutuhkannya, berapa banyak tenaga kerja yang terancam kehilangan  pekerjaannya, termasuk keluarga para pengemudi becak itu sendiri.  Akan dikemanakan tukang-tukang becak itu? Apakah Pemda DKI siap menampung dan memberikan pekerjaan kepada mereka, dan banyak lagi pertanyaan  yang memerlukan jawaban tuntas.
                                                                                 ***
KALAU kita amati, di DKI Jakarta meskipun telah ditetapkan daerah-daerah bebas becak (DBB) dan tindakan penertiban terus menerus terhadap pelanggaran DBB, namun terus saja terjadi pelanggaran-pelanggaran.

Becak-becak beroperasi melewati DBB, kucing-kucingan dengan  petugas Kamtib seringkali kita lihat di mulut-mulut jalan  dan di jalan-jalan di Ibukota.

Kadang-kadang terbit rasa kasihan melihat tukang becak, sesama manusia yang mencari nafkah harus terbirit-birit karena dikejar-kejar petugas. Di lain waktu kita merasa jengkel dan marah karena ulah beberapa pengemudi becak yang memotong jalan dan membelok seenaknya, seakan-akan ia sendiri yang berhak menggunakan jalan tersebut.

Keadaan semacam itu mungkin bisa kita maklumi, jika ulah penarik becak itu dikarenakan ketidaktahuannya atau kebodohannya. Lain masalahnya bila hal itu memang disengaja, karena mereka beranggapan kendaraan bermotor toh dilengkapi dengan rem.

Sikap masa bodoh, dari para abang becak, ditambah semakin membengkaknya  jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta serta jalan-jalan ekonomi yang masih boleh dilewati becak, semakin menambah kesemrawutan keadaan lalu-lintas di DKI Jakarta. Apalagi di wilayah-wilayah yang padat penduduknya becak selain angkutan yang dibutuhkan, juga andil besar dalam kesemrawutan.
Jumlah becak di DKI Jakarta juga meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kota Metropolitan itu.

Jumlah becak yang tidak terkendali ditambah dengan ulah para pengemudinya yang mengganggu kelancaran lalu-lintas menyebabka  protes dan berbagai pengaduan mengalir ke Pemda DKI, yang menghendaki agar masalah becak di DKI ditangani secara tuntas.

Maka terbitlah SK Gubernur DKI no.127 tanggal 1 Februari 1983 tentang pendaftaran becak dan herregistrasi becak-becak resmi di seluruh wilayah DKI. Hasilnya, jumlah becak resmi sebanyak  7.828 becak dan 31.724 becak liar alias tidak terdaftar.
                                                                   ***
DIPUTUSKAN, becak-becak resmi boleh beroperasi dengan rayonisasi dan agar mematuhi DBB. Sedangkan becak-becak liar akan ditertibkan secara rutin.

Rapat Pimpinan Pemda DKI 6 Pebruari 1984 menetapkan becak sebagai sarana angkutan umum di DKI akan dihapuskan dan mulai 1 Januari 1985 tidak ada lagi becak di Jakarta.
Becak-becak liar diberikan waktu untuk dijual, dipindahkan ke luar kota Jakarta sampai dengan 31 Desember 1984. Setelah itu becak resmi maupun liar dilarang beroperasi di Jakarta.

Sebelum batas waktu itu, Pemda DKI Jakarta melakukan  berbagai pendekatan dan penyuluhan kepada  para pengemudi maupun pemilik becak, agar mereka menyadari maksud baik Pemda DKI dalam penghapusan becak tersebut.

Mereka ditawari untuk bertransmigrasi, latihan ketrampilan, beralih menarik kendaraan roda tiga bermotor dan lain-lainnya termasuk pulang kampung. Karena sebagian besar penarik becak di DKI merupakan penduduk musiman.

Beberapa alasan Pemda DKI menghapuskan becak antara lain dalam rangka meningkatkan  taraf hidup mereka agar tidak menjadi tukang becak sampai tua, menghilangkan kesan adanya eksploitasi manusia yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Juga menghilangkan salah satu penyebab kesemrawutan lalu-lintas yang diakibatkan ketidakdisiplinan para pengemudi becak, mengurangi urbanisasi.

Aspek lain yang harus hilang adalah timbulnya gangguan ketegangan sosial yang disebabkan ulah pengemudi becak yang seringkali mudah terpancing berbagai isyu. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengalihkan kegiatan mereka ke bidang usaha yang lebih produktif dan manusiawi.
                                                                             ***
MASALAH penghapusan becak dari DKI Jakarta seharusnya sudah dilaksanakan selambat-lambatnya  pada tahun 1979. Surat keputusan tentang itu telah ada, hanya pelaksanaannya yang belum dilakukan.  Barangkali tidak perlu kita perdebatkan mengapa keputusan tersebut  belum dijalankan.

Dalam SK DPRD DKI Jakarta no.10/P/DPRD/1972 yang ditandatangani Gubernur DKI Ali Sadikin dan Ketua DPRD DKI A.Wiratno Puspoatmodjo, diputuskan untuk meniadakan alat angkutan umum di darat yang digerakkan tenaga manusia di DKI Jakarta. Kemudian menggantikannya dengan alat angkutan umum yang sesuai dengan perkembangan dan modernisasi transportasi sebagiamana digariskan dalam pola angkutan DKI Jakarta.

Disebutkan dalam SK yang kekuatan  hukumnya sama dengan Peraturan Daerah itu, kebijaksanaan penghapusan alat angkutan darat yang digerakkan manusia selambat-lambatnya akhir Pelita II tahun 1979. Tegasnya becak harus hapus dari DKI tahun 1979.

Sebelum SK ini lahir, telah diputuskan pula  mengenai rayonisasi dan pendaftaran becak, larangan memproduksi dan membawa becak ke dalam wilayah DKI, dengan SK Gubernur DKI no.Bd.15/4/36/70 dan penetapan daerah bebas becak dengan SK Gubernur tanggal 16 Nopember 1971.

Peraturan-peraturan tersebut nampaknya  belum sepenuhnya dijalankan, khususnya mengenai pengawasan becak di lapangan. Sehingga jumlah becak membengkak mencapai 39.552 becak. Padahal menurut data dari Pemda DKI, jumlah becak hanya 5.000 becak atau 1.000 becak per wilayah kota pada tahun 1970.

Data terakhir dari Pemda DKI tercatat jumlah becak menjelang 1 April 1985 tinggal  18.828 becak, termasuk becak resmi. Kalau setiap becak dioperasikan oleh dua orang (bergantian siang malam), maka tenaga kerja tukang becak berjumlah  sekitar 37 ribu orang lebih. Mereka yang mendaftarkan diri untuk bertransmigrasi, mengikuti latihan kertrampilan dan alih usaha, tercatat hanya sekitar 100 orang. Sedangkan lainnya mungkin pulang kampung atau mencari pekerjaan lain di DKI yang masih memungkinkan bagi mereka.
                                                                              ***
BERDASARKAN penelitian yang dilakukan Pemda DKI tahun 1978 sekitar 72 persen pengemudi becak tidak memiliki KTP DKI, berarti mereka penduduk musiman. Umumnya mereka datang dari Jawa Tengah sekitar  32,90 persen, dari Jabar 58,77 persen dan dari daerah-daerah lain sekitar 8,33 persen.

Gubernur DKI Jakarta R Soeprapto menjelang batas waktu 31 Maret 1985 minta kepada para Walikota untuk menetapkan batas-batas guna mempersempit  gerak operasi becak di wilayah-wilayah kota. Setelah batas 31 Maret 1985 becak-becak di DKI yang habis masa izinnya itu dianggap becak-becak liar.

Meskipun becak-becak tersebut dianggap liar, Pemda DKI nampaknya masih memberi kesempatan kepada para pengemudi becak beroperasi dalam batas-batas tertentu, dan di jalan-jalan tertentu pula.

Kesimpulannya, Pemda DKI tidak secara drastis meniadakan angkutan roda tiga dari bumi Metropolitan. Mungkin tindakan ini yang disebut Gubernur DKI Soeprapto sebagai,”Becak akan hapus dari DKI Jakarta secara alami”.

Jurubicara Pemda DKI Sudarsin menegaskan, pembatasan gerak becak dimaksudkan agar tidak mengganggu kepentingan lainnya, artinya mereka tidak dibenarkan beroperasi di jalan-jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan yang padat. Becak-becak boleh beroperasi di jalan lingkungan yang belum padat dan belum terjangklau kendaraan angkutan umum. Secara berangsur becak-becak tersebut oleh pihak DLLAJR DKI akan diganti dengan kendaraan umum yang masih diperbolehkan  beroperasi di DKI Jakarta, kata Sudarsin.

Dengan adanya wilayah-wilayah yang masih memungkinkan becak-becak beroperasi, perlu adanya pengawasan yang ketat. Karena siapa yang bisa menjamin becak-becak akan tetap patuh di wilayah yang membatasi geraknya itu.

 Mungkin beberapa tahun lagi penduduk DKI Jakarta yang ingin bernostalgia naik becak harus ke Bekasi, Tangerang atau pun ke Depok atau Bogor. Itu pun kalau di Botabek itu becak-becak masih diberi kesempatan  hidup. Siapa tahu penghapusan becak menular ke wilayah Botabek, mengingat ketiga wilayah itu dalam masalah kepadatan dan kesemrawutan lalu-lintas hampir sama dengan  DKI Jakarta.-                    ***


Harian Umum “AB”
1 April 1985




No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.