Oleh Mustofa AS Wartawan “AB”
Kendaraan becak mulai hari ini, Senin 1 April 1985, resmi dihapuskan
dari wilayah DKI Jakarta. Ini berarti becak-becak yang masih beroperasi setelah
tanggal itu merupakan becak-becak liar.
PEMDA DKI sebenarnya
telah menetapkan penghapusan becak ini dengan batas waktu mulai 1 Januari 1985,
namun ternyata masih ada beberapa becak di wilayah Jakarta Selatan yang memiliki
tanda pembayaran pajak sampai dengan 31 Maret 1985. Karena itu Pemda DKI
memberikan kesempatan becak-becak beroperasi sampai dengan 31 Maret 1985.
Ketika rencana penghapusan becak-becak
dari DKI Jakarta terdengar kembali awal Februari 1983, berbagai reaksi
bermunculan, ada yang setuju ada pula yang keberatan. Berbagai alasan pun
dikemukakan, komentar dari orang awam sampai pejabat pemerintahan ramai dimuat
di berbagai suratkabar.
Kalangan masyarakat berpendapat, kendaraan
roda tiga yang digerakkan tenaga manusia itu masih dibutuhkan di kota
Metropolitan itu. Khususnya pada malam hari ketika kita membutuhkan kendaraan
angkutan umum, becak dengan mudah kita temukan di mana-mana.
Demikian pula di sudut-sudut kota yang
belum terjangkau kendaraan umum
bermotor, becak merupakan kemudahan yang sangat diperlukan. Dari segi tenaga
kerja, pekerjaan menggenjot becak merupakan lapangan pekerjaan yang dijamin
halal.
Kalangan yang mendukung dihapuskannya
becak dari DKI Jakarta berpendapat, pekerjaan
menarik becak tidak manusiawi, mengganggu kelancaran lalu-lintas, bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia dan lain-lain alasan.
Lalu kenapa becak mesti dihapuskan dari
Jakarta? Padahal masih banyak penduduk DKI yang membutuhkannya, berapa banyak
tenaga kerja yang terancam kehilangan pekerjaannya, termasuk keluarga para pengemudi
becak itu sendiri. Akan dikemanakan
tukang-tukang becak itu? Apakah Pemda DKI siap menampung dan memberikan
pekerjaan kepada mereka, dan banyak lagi pertanyaan yang memerlukan jawaban tuntas.
***
KALAU kita amati, di DKI
Jakarta meskipun telah ditetapkan daerah-daerah bebas becak (DBB) dan tindakan
penertiban terus menerus terhadap pelanggaran DBB, namun terus saja terjadi pelanggaran-pelanggaran.
Becak-becak beroperasi melewati DBB,
kucing-kucingan dengan petugas Kamtib
seringkali kita lihat di mulut-mulut jalan
dan di jalan-jalan di Ibukota.
Kadang-kadang terbit rasa kasihan melihat
tukang becak, sesama manusia yang mencari nafkah harus terbirit-birit karena
dikejar-kejar petugas. Di lain waktu kita merasa jengkel dan marah karena ulah
beberapa pengemudi becak yang memotong jalan dan membelok seenaknya,
seakan-akan ia sendiri yang berhak menggunakan jalan tersebut.
Keadaan semacam itu mungkin bisa kita
maklumi, jika ulah penarik becak itu dikarenakan ketidaktahuannya atau
kebodohannya. Lain masalahnya bila hal itu memang disengaja, karena mereka
beranggapan kendaraan bermotor toh dilengkapi dengan rem.
Sikap masa bodoh, dari para abang becak,
ditambah semakin membengkaknya jumlah
kendaraan bermotor di DKI Jakarta serta jalan-jalan ekonomi yang masih boleh
dilewati becak, semakin menambah kesemrawutan keadaan lalu-lintas di DKI
Jakarta. Apalagi di wilayah-wilayah yang padat penduduknya becak selain
angkutan yang dibutuhkan, juga andil besar dalam kesemrawutan.
Jumlah becak di DKI Jakarta juga meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kota Metropolitan itu.
Jumlah becak yang tidak terkendali
ditambah dengan ulah para pengemudinya yang mengganggu kelancaran lalu-lintas
menyebabka protes dan berbagai pengaduan
mengalir ke Pemda DKI, yang menghendaki agar masalah becak di DKI ditangani
secara tuntas.
Maka terbitlah SK Gubernur DKI no.127
tanggal 1 Februari 1983 tentang pendaftaran becak dan herregistrasi becak-becak
resmi di seluruh wilayah DKI. Hasilnya, jumlah becak resmi sebanyak 7.828 becak dan 31.724 becak liar alias tidak
terdaftar.
***
DIPUTUSKAN, becak-becak
resmi boleh beroperasi dengan rayonisasi dan agar mematuhi DBB. Sedangkan
becak-becak liar akan ditertibkan secara rutin.
Rapat Pimpinan Pemda DKI 6 Pebruari 1984
menetapkan becak sebagai sarana angkutan umum di DKI akan dihapuskan dan mulai
1 Januari 1985 tidak ada lagi becak di Jakarta.
Becak-becak liar diberikan waktu untuk
dijual, dipindahkan ke luar kota Jakarta sampai dengan 31 Desember 1984.
Setelah itu becak resmi maupun liar dilarang beroperasi di Jakarta.
Sebelum batas waktu itu, Pemda DKI Jakarta
melakukan berbagai pendekatan dan
penyuluhan kepada para pengemudi maupun
pemilik becak, agar mereka menyadari maksud baik Pemda DKI dalam penghapusan
becak tersebut.
Mereka ditawari untuk bertransmigrasi,
latihan ketrampilan, beralih menarik kendaraan roda tiga bermotor dan
lain-lainnya termasuk pulang kampung. Karena sebagian besar penarik becak di
DKI merupakan penduduk musiman.
Beberapa alasan Pemda DKI menghapuskan
becak antara lain dalam rangka meningkatkan
taraf hidup mereka agar tidak menjadi tukang becak sampai tua,
menghilangkan kesan adanya eksploitasi manusia yang jelas bertentangan dengan
Pancasila. Juga menghilangkan salah satu penyebab kesemrawutan lalu-lintas yang
diakibatkan ketidakdisiplinan para pengemudi becak, mengurangi urbanisasi.
Aspek lain yang harus hilang adalah
timbulnya gangguan ketegangan sosial yang disebabkan ulah pengemudi becak yang
seringkali mudah terpancing berbagai isyu. Alasan yang tidak kalah pentingnya
adalah untuk mengalihkan kegiatan mereka ke bidang usaha yang lebih produktif
dan manusiawi.
***
MASALAH penghapusan
becak dari DKI Jakarta seharusnya sudah dilaksanakan selambat-lambatnya pada tahun 1979. Surat keputusan tentang itu
telah ada, hanya pelaksanaannya yang belum dilakukan. Barangkali tidak perlu kita perdebatkan
mengapa keputusan tersebut belum
dijalankan.
Dalam SK DPRD DKI Jakarta
no.10/P/DPRD/1972 yang ditandatangani Gubernur DKI Ali Sadikin dan Ketua DPRD
DKI A.Wiratno Puspoatmodjo, diputuskan untuk meniadakan alat angkutan umum di
darat yang digerakkan tenaga manusia di DKI Jakarta. Kemudian menggantikannya
dengan alat angkutan umum yang sesuai dengan perkembangan dan modernisasi
transportasi sebagiamana digariskan dalam pola angkutan DKI Jakarta.
Disebutkan dalam SK yang kekuatan hukumnya sama dengan Peraturan Daerah itu,
kebijaksanaan penghapusan alat angkutan darat yang digerakkan manusia
selambat-lambatnya akhir Pelita II tahun 1979. Tegasnya becak harus hapus dari DKI
tahun 1979.
Sebelum SK ini lahir, telah diputuskan
pula mengenai rayonisasi dan pendaftaran
becak, larangan memproduksi dan membawa becak ke dalam wilayah DKI, dengan SK
Gubernur DKI no.Bd.15/4/36/70 dan penetapan daerah bebas becak dengan SK Gubernur
tanggal 16 Nopember 1971.
Peraturan-peraturan tersebut
nampaknya belum sepenuhnya dijalankan,
khususnya mengenai pengawasan becak di lapangan. Sehingga jumlah becak
membengkak mencapai 39.552 becak. Padahal menurut data dari Pemda DKI, jumlah
becak hanya 5.000 becak atau 1.000 becak per wilayah kota pada tahun 1970.
Data terakhir dari Pemda DKI tercatat
jumlah becak menjelang 1 April 1985 tinggal
18.828 becak, termasuk becak resmi. Kalau setiap becak dioperasikan oleh
dua orang (bergantian siang malam), maka tenaga kerja tukang becak
berjumlah sekitar 37 ribu orang lebih.
Mereka yang mendaftarkan diri untuk bertransmigrasi, mengikuti latihan
kertrampilan dan alih usaha, tercatat hanya sekitar 100 orang. Sedangkan
lainnya mungkin pulang kampung atau mencari pekerjaan lain di DKI yang masih
memungkinkan bagi mereka.
***
BERDASARKAN penelitian
yang dilakukan Pemda DKI tahun 1978 sekitar 72 persen pengemudi becak tidak
memiliki KTP DKI, berarti mereka penduduk musiman. Umumnya mereka datang dari
Jawa Tengah sekitar 32,90 persen, dari
Jabar 58,77 persen dan dari daerah-daerah lain sekitar 8,33 persen.
Gubernur DKI Jakarta R Soeprapto menjelang
batas waktu 31 Maret 1985 minta kepada para Walikota untuk menetapkan
batas-batas guna mempersempit gerak
operasi becak di wilayah-wilayah kota. Setelah batas 31 Maret 1985 becak-becak
di DKI yang habis masa izinnya itu dianggap becak-becak liar.
Meskipun becak-becak tersebut dianggap
liar, Pemda DKI nampaknya masih memberi kesempatan kepada para pengemudi becak
beroperasi dalam batas-batas tertentu, dan di jalan-jalan tertentu pula.
Kesimpulannya, Pemda DKI tidak secara
drastis meniadakan angkutan roda tiga dari bumi Metropolitan. Mungkin tindakan
ini yang disebut Gubernur DKI Soeprapto sebagai,”Becak akan hapus dari DKI
Jakarta secara alami”.
Jurubicara Pemda DKI Sudarsin menegaskan,
pembatasan gerak becak dimaksudkan agar tidak mengganggu kepentingan lainnya,
artinya mereka tidak dibenarkan beroperasi di jalan-jalan protokol, jalan
ekonomi, dan jalan lingkungan yang padat. Becak-becak boleh beroperasi di jalan
lingkungan yang belum padat dan belum terjangklau kendaraan angkutan umum.
Secara berangsur becak-becak tersebut oleh pihak DLLAJR DKI akan diganti dengan
kendaraan umum yang masih diperbolehkan
beroperasi di DKI Jakarta, kata Sudarsin.
Dengan adanya wilayah-wilayah yang masih
memungkinkan becak-becak beroperasi, perlu adanya pengawasan yang ketat. Karena
siapa yang bisa menjamin becak-becak akan tetap patuh di wilayah yang membatasi
geraknya itu.
Mungkin beberapa tahun lagi penduduk DKI
Jakarta yang ingin bernostalgia naik becak harus ke Bekasi, Tangerang atau pun
ke Depok atau Bogor. Itu pun kalau di Botabek itu becak-becak masih diberi
kesempatan hidup. Siapa tahu penghapusan
becak menular ke wilayah Botabek, mengingat ketiga wilayah itu dalam masalah
kepadatan dan kesemrawutan lalu-lintas hampir sama dengan DKI Jakarta.- ***
Harian Umum “AB”
1 April 1985
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.