Jumlah
produk yang berlabel halal palsu angkanya cukup tinggi yaitu 40 hinggga 50
persen dan ini adalah produk-produk yang telah mendapat registrasi sehat dan
baik dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (Lukmanul Hakim, Direktur
LP-POM MUI, Agustus 2012.)
Saat ini ditengarai masih banyak
produk terutama makanan dan minuman yang menggunakan label/logo halal palsu di
kemasannya. Karena itu umat Islam harus berhati-hati terhadap adanya label
tersebut yang merupakan akal-akalan para pengusaha untuk menggaet konsumen
Muslim ataupun karena ketidakpahaman akan peraturan yang ada.
Terlepas dari apa motivasi para
pengusaha ini dalam mencantumkan label secara “asal”, yang jelas bagi konsumen
Muslim, keberadaan label tidak resmi ini berpotensi menyesatkan bahkan menipu.
Karena pencantuman label tersebut tanpa melalui pengujian oleh badan yang
berkompeten untuk memastikan bahwa benar-benar produk di dalamnya HALAL.
Produsen
yang akan mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal lebih dulu.
Tanpa sertifikat halal MUI, izin pencatuman label halal tidak akan diberikan
pemerintah. Sampai saat ini memang belum ada aturan yang menetapkan bentuk logo
halal yang khas, sehingga pada umumnya produsen mencetak tulisan halal dalam
huruf latin dan/arab dengan bentuk dan warna yang beragam.
Akan
tetapi beberapa produsen sudah membuat logo halal dengan bentuk logo MUI dengan
mencantumkan nomor sertifikat halal yang dimilikinya. Hal ini dirasakan lebih
aman untuk produsen karena masih cukup banyak produk yang beredar di pasaran
yang mencantumkan label halal tanpa memiliki sertifikat halal MUI.
Sejumlah
kasus penggunaan label/logo halal palsu ditemukan di beberapa daerah, di
antaranya di Nusa Tenggara Barat, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, DKI
Jakarta dan daerah lainnya.
Salah satu
temuan terkini adalah di Kalimantan Tengah. Menurut Ketua Tim Perlindungan
Halal Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah, Rahmat Junaidi, Kota
Waringin Timur merupakan salah satu daerah yang cukup tinggi pelanggaran
terhadap pemakaian logo halal ini. Bahkan di sejumlah toko dan pasar swalayan
di Kota Sampit, selain makanan berlabel halal illegal, ditemukan pula makanan
yang sudah kedaluwarsa.
Sementara itu,
masih menurut Rahmat, di Kabupaten Kapuas, angka temuan produk pangan yang
berlabel halal tapi palsu cukup tinggi. Ada 31 sampel yang yang diambil dari
lima toko dan dua pasar swalayan yang mencantumkan label halal tapi palsu.
Pengusaha
makanan yang menggunakan label halal secara illegal, kata Rahmat, tidak boleh
lagi menggunakan label tersebut sebelum memiliki sertifikat halal. Apabila
tetap menggunakan label halal sebelum memiliki sertifikat halal, maka akan
ditindak dan produk makanannya ditarik dari pasaran. Masih maraknya penggunaan
label halal secara ilegal di daerah ini, ujar Rahmat, disebabkan kurangnya
sosialisasi dari aparat terkait.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim
mengakui saat ini memang banyak produk dengan label halal palsu . Jumlah produk
yang berlabel halal palsu angkanya cukup tinggi yaitu 40 hinggga 50 persen dan
ini adalah produk-produk yang telah mendapat registrasi sehat dan baik dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dengan
beredarnya logo/label halal palsu tersebut tentu saja yang dirugikan adalah
konsumen Muslim. Oleh karena itu konsumen perlu memahami informasi tentang
produk yang akan dikonsumsinya supaya tidak terjebak dalam produk yang tidak
halal dan keragu-raguan atau syubhat. Cara yang paling mudah adalah dengan
teliti membaca label/logo yang melekat pada kemasan produk.
Berikut
ini diuraikan beberapa hal yang perlu diteliti oleh konsumen sebelum memutuskan
untuk mengonsumsi suatu produk yang kami kutip dari majalah Jurnal Halal.
1. Pahami Bahasa dan Tulisan
pada Produk.
Ini
langkah pertama yang harus diperhatikan oleh konsumen adalah memahami bahasa
atau tulisan. Hal ini sangat perlu karena Indonesia saat ini tengah kebanjiran
produk impor baik legal maupun illegal. Meskipun aturan yang berlaku mewajibkan
produsen mencantumkan informasi yang dapat dipahami oleh konsumen pada umumnya,
namun pada kenyataannya ada produk yang beredar di pasaran dengan tulisan atau
bahasa yang sama sekali tidak dapat dipahami. Langkah konsumen yang terbaik
dalam menghadapi produk seperti ini adalah menghindarinya.
2. Perhatikan Nomor
Pendaftaran BPOM.
Produk
yang diproduksi dan beredar di Indonesia seharusnya terdaftar pada lembaga
pemerintah yang berwenang yaitu BPOM dan mendapatkan nomor pendaftaran. Nomor
pendaftaran untuk produk pangan adalah MD atau SP untuk industri kecil.
Sedangkan produk impor mendapat nomor registrasi dengan kode ML. Kode CD
diberikan untuk produk kosmetika lokal dan CL untuk produk luar. Adapun kode TR
diperuntukkan bagi produk obat tradisional (jamu) dalam negeri dan TL untuk
produk impor. Untuk hal ini jika tidak ada nomor tersebut sebaiknya konsumen
mewaspadainya, karena besar kemungkinan logo halal yang ada adalah bukan dari
BPOM.
3. Teliti Nama Produk,
Produsen dan Alamat Produksinya.
Nama
dan alamat produsen tidak selalu sama dengan pabrik yang memproduksinya. Saat
ini ada perusahaan tertentu yang sudah mendapat sertifikat halal untuk produk
tertentu di Indonesia, kemudian memproduksi produk yang persis sama di pabrik
lain di luar negeri. Padahal sertifikat halal MUI yang diberikan hanya kepada
produk yang diproduksi di Indonesia.
Pada
kasus lain, ada produsen yang sudah dikenal masyarakat luas sebagai produsen
produk bersertifikat halal kemudian mengeluarkan produk baru yang tidak
disertifikasi halal. Konsumen yang tidak teliti akan otomatis beranggapan bahwa
produk apa pun yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut pasti halal. Hal-hal
seperti ini tentunya menyesatkan konsumen. Oleh karena itu teliti nama
produk, produsen dan alamat produksinya.
4.Teliti Komposisi Bahan atau
Ingredients.
Hal
penting selanjutnya yang harus diperhatikan oleh konsumen adalah daftar atau
komposisi bahan atau istilah lain ingredients yang terkandung dalam
produk yang akan dikonsumsi. Istilah bahan yang digunakan jika diperhatikan
masih beragam. Ada yang sudah menggunakan bahasa Indonesia, ada yang masih
menggunakan istilah asing atau dapat ditemukan juga penggunaan kode. Istilah
asing yang perlu dikritisi kehalalannya antara lain emulsifier, atau
bahan pengemulsi, stabilizer atau bahan penyetabil, shortening,
tallow, gelatin dan collagen. Sedangkan lard adalah jenis
yang harus dihindari karena merupakan istilah untuk lemak babi yang sudah pasti
keharamannya.
Kode
yang sering muncul adalah kode untuk bahan pewarna dan kode E yang merupakan
kode untuk bahan tambahan atau food additives. Tidak semua bahan dengan
kode E perlu dicurigai kehalalannya. Beberapa contoh kode E yang perlu
diperhatikan karena mungkin berasal dari hewan adalah E422 (gliserol/gliserin),
E430-E463 (asam lemak dan turunannya) dan E470-E495 (garam atau ester asam
lemak). Sedangkan E334 adalah kode untuk L-(+)-tartaric acid yang
merupakan hasil samping industri wine.
5. Menambah Pengetahuan Akan
Produk Halal.
Untuk
dapat mengetahui produk dan bahan-bahan mana yang perlu dikritisi, konsumen
dituntut untuk terus menerus menambah pengetahuannya. Dengan demikian akan
terbangun konsumen yang pintar dan kritis, sehingga mendorong produsen untuk
lebih bertanggung jawab dalam berproduksi. Walhasil, pameo ‘konsumen adalah
raja’ dapat tetap dipertahankan.
Kami sangat menganjurkan konsumen
Muslim Indonesia untuk mempunyai pengetahuan yang memadai tentang produk-produk
yang meragukan kehalalannya walaupun sudah ada logo halal pada kemasannya.
Teliti sebelum membeli.
(Mustofa AS -
Disarikan dari berbagai sumber)
http://pusathalal.com/artikel-referensi/info-penting-halal/151-info-penting/info-penting-halal-8/605-waspadai-logo-halal-pada-produk
***
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.