Friday 3 April 2015

Upaya mengembalikan citra Indonesia sebagai produsen minyak atsiri


    INDONESIA merupakan  negara produsen minyak atsiri terbesar di antara negara-negara berkembang, dan termasuk negara pengekspor nomor 10 besar dunia. Namun banyak factor yang menyebabkan  posisi Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara produsen lainnya. Antara lain karena Indonesia belum mampu menjamin kontinuitas pengadaan barang dengan mutu yang konsisten.

    Perkembangan teknologi pengolahan minyak atsiri di negara-negara maju begitu pesatnya sehingga mampu memberi nilai tambah bagi komoditas itu, sementara industri pengolahan yang ada di Indonesia baru pada tingkat hulu dan masih menggunakan cara-cara tradisional. Demikian pula potensi lahan yang ada  belum dimanfaatkan secara maksimal, pengembangan budidaya tanaman penghasil minyak atsiri beserta industri pengolahannya oleh mereka yang berkepentingan masih harus ditingkatkan. Karena nilai yang diterima sebagai bahan baku kasar relatif masih rendah jika dibandingkan dengan nilai produk jadi.

    Industri yang mengolah minyak atsiri menjadi barang setengah jadi belum banyak berdiri di Indonesia. Industri-industri itu berdiri  di luar negeri dan Indonesia  mengimpor sebagian besar produk-produk tersebut.
    Minyak atsiri yakni minyak yang mudah menguap dan memiliki aroma khas sesuai jenis tumbuhan penghasilnya, diperoleh dengan cara penyulingan, ekstrasi dengan pelarut organik, pemerasan ataupun dengan cara  maserasi dengan lemak. Hasilnya adalah minyak atsiri kasar yang dapat digunakan secara utuh atau dengan  mengisolasi komponen utama yang dikandungnya.

    Di Indonesia terdapat sekitar 35 jenis tanaman yang dapat menghasilkan  minyak atsiri, tetapi baru 9 macam yang diproduksi secara massal dan kontinyu, karena banyak jenis tanaman minyak atsiri yang belum diketahui nilai ekonomisnya. Penelitian terhadap komposisi berbagai jenis minyak atsiri belum banyak dilakukan karena peralatan yang diperlukan sangat mahal, padahal nilai ekonomisnya belum pasti. Penelitian sangat perlu karena dengan diketahuinya komponen-komponen kimia yg terkndung di  dalam suatu jenis minyak atsiri akan memungkinkan penawarannya  ke pasaran atau dapat segera diseleksi jenis-jenis/varietas unggul yang perlu dikembangkan.

Pengetahuan
    SEMBILAN jenis minyak komoditas ekspor yang sudah dikembangkan itu masing-masing sereh wangi (citronella oil), nilam (patchouli oil), akar wangi ( vetiver oil),  kenangan (cananga oil), pala (nutmeg oil), daun engkih ( clove leaf oil), cengkeh (clove bud oil),  cendana (sandalwood oil), dan kayu putih ( cayeput oil). Jenis-jenis lain yang diproduksi atas permintaan antara lain minyak jahe (ginger oil),  minyak lada (pepper oil), kemukus ( cubeb oil).  Minyak lawang yang sudah lama dikenal hanya cukup untuk pasaran lokal sebagai obat tradisional.

    Minyak atsiri di Indonesia terutama berasal dari kegiatan industri kecil di pedesaan, hasil pengolahan yang sederhana, sehingga mutunya rendah. Hanya beberapa perusahaan yang  mengolah minyak atsiri dalam skala besar dengan teknik penyulingan yang lebih baik.

   Sentra-sentra produksi minyak atsiri antara lain di Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Barat,  Aceh Selatan, dan  Aceh Tenggara (khususnya nilam). Minyak kenanga di Boyolali, Blitar, Cirebon, Kuningan, Bantul, akar wangi di  Garut, cengkih, pala di Maluku dan lain-lain.

   Kelemahan yang masih ditemui dalam kegiatan produk minyak atsiri antara lain kurangnya pengetahuan tentang budidaya tanaman dan teknik pengolahannya,  sehingga belum mencapai tingkat produksi yang optimal.  Keragaman mutu bahan baku serta alat penyulingan yang belum memadai menyebabkan  rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan tidak konsisten. Juga penggalian jenis-jenis minyak atsiri baru sebagai komoditi ekspor belum dijajaki dari segala aspek sehingga hampir selama lima dasa warsa sejak Indonesia merdeka industri minyak atsiri Indonesia  hampir-hampir statis.

    Tata niaga minyak atsiri di dalam negeri diakui Djohan Narpati, Ketua Asosiasi Perdagangan Minyak Atsiri Indonesia, sebagai masih panjang mata rantainya, sehingga mempengaruhi pola pemasaran dan berakibat terhadap ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Penjualan secara forward sale dan sudah terikat jadwal penyerahan barang meski belum memiliki stok yang dilakukan eksportir dapat mengakibatkan harga di pasaran cenderung tidak bergerak, sementara harga lokal meningkat.

    Praktek demikian menyebabkan harga minyak atsiri Indonesia didikte pembeli luar negeri dan selalu kalah dalam posisi bargaining. Demikian pula spekulasi yang dilakukan eksportir dapat mempengaruhi harga pasaran lokal menjadi lebih tinggi dari pasaran dunia pada saat yang sama, dengan harapan harga pasaran dunia akan meningkat. Namun usaha tersebut tidak bertahan lama karena umumnya dana eksportir terbatas.

Prospek
    Peluang ekspor minyak atsiri Indonesia sebenarnya cukup baik, karena dalam waktu lima tahun terakhir (1984-1991) kecenderungan permintaan  minyak atsiri dunia  meningkat terus. Pangsa pasar minyak atsiri di Indonesia di pasaran luar negeri sangat rendah. Secara makro minyak atsiri Indonesia cukup bersaing di  negara tujuan ekspor terutama untuk negara Jepang yang pada tahun 1991 diproyeksikan nilai ekspornya US $2.238.000, Belanda US $4.567.000, Singapura US $3.009.000, dan Swis US $1.914.000. Sedangkan jenis minyak atsiri yang memiliki prospek paling baik selama lima  tahun terakhir adalah minyak kenanga yang hanya  diproduksi Indonesia, minyak sereh, minyak akar wangi, minyak nilam (disaingi RRC), minyak cendana.

    Harga minyak atsiri juga cukup baik, misalnya minyak akar wangi pada tahun lalu mencapai Rp 33.000/kg, tahun 1989 mencapai Rp 72.345/kg, tahun 1988 mencapai Rp 76.500 per kg. Tahun 1990 harga minyak nilam mencapai Rp 22.000/kg dari pengrajin.

    Menurut Biro Pusat Statistik, ekspor minyak atsiri Indonesia memperlihatkan trend menanjak terus, meskipun beberapa  di antaranya berkurang, baik jumlah maupun nilainya terutama  minyak kenanga yang berkurang jumlah ekspornya sampai menyamai jumlah pada tahun 1986 (lihat tabel).

    Minyak kayu putih menunjukkan peningkatan cukup besar jika dibandingkan  dengan tahun 1984 dan 1988. Minyak akar wangi jumlahnya naik turun sesuai dengan permintaan, namun yang terbanyak memasuki pasaran adalah yang berasal dari Haiti. Sementara RRC mulai mencampuri perdagangan  akar wangi dunia  sehingga merupakan saingan hebat Indonesia. Sandalwood jumlahnya tidak dapat ditingkatkan lebih banyak lagi karena bahan bakunya berupa kayu cendana masih terbatas.

     Sampai saat ini ekspor minyak atsiri Indonesia ke 26 negara. Negara tujuan ekspor Indonesia yang cukup besar adalah  Amerika mencapai 36,8 persen dari jumlah keseluruhannya. Trend eskpor ke negara ini mencapai 9,1%. Negara kedua pengimpor minyak atsiri Indonesia adalah Perancis mencapai 21,2 persen dari total ekspor tahun 1989, trend ekspor ke negara ini sebesar 9,6 persen.

Konferensi
 PARA pengusaha/eksportir minyak atsiri Indonesia boleh dibilang masih “terisolir” karena selain volume ekspor yang masih kecil, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain dalam soal perkembangan atsiri, ujar Ketua Asosiasi Indessota (Indonesian Essential Oil Trade Association—Asosiasi Perdagangan  Minyak Atsiri Indonesia) Djohan Narpati.

    Dirjen Industri Kecil Trisura Suhardi yang mengakui hal itu  mengharapkan citra Indonesia sebagai penghasil minyak atsiri bermutu tinggi bisa dikembalikan.”Indonesia sebagai negara yang berpotensi besar mestinya bisa menjadi negara produsen minyak atsiri yang baik,”ujarnya. Karena itu pihaknya memberikan kesempatan  kepada para pengusaha Indonesia yang memiliki keahlian dalam budidaya, memproses maupun yang memiliki teknologi lanjutan  pengolahan minyak atsiri berkumpul untuk bertukar pikiran. Sehingga masing-masing pihak bisa saling memanfaatkan. Dengan demikian akan diperoleh nilai tambah yang semakin meningkat, penyerapan tenaga kerja dan devisa menjadi lebih banyak.

    Upaya mengangkat nama Indonesia sebagai penghasil minyak atsiri antara lain melalui konferensi yang akan diadakan di Jakarta 10-14 Nopember 1991 (International Conrference On Essential Oils For Frerfumery and Flavours) dengan sponsor IFEAT (International Federation of Essential Oils Aroma Trades—Federasi Pedagang Minyak Atsiri Internasional).

    Melalui konferensi ini menurut Djohan Narpati diharapkan Indonesia tidak lagi terisolir dan mengangkat kembali nama  Indonesia sebagai negara penghasil minyak atsiri.

    Peluang peningkatan ekspor minyak atsiri pada masa mendatang diperkirakan akan lebih baik, karena pada masa datang kecenderungan  dunia kembali kepada bahan-bahan murni yang alami (back to nature). Sehingga minyak atsiri akan terus dibutuhkan, karta Soeprapto M. Sadjito, Ketua Panitia Konferensi tahunan itu.”Kita pernah jaya di bidang minyak atsiri, tetapi kita lupa karena kita tidak memiliki pakar dalam masalah minyak atsiri,”ujarnya.

    Semoga saja konferensi yang diadakan di Jakarta itu akan banyak memberi manfaat terutama bagi peningkatan ekspor komoditas nonmigas itu, serta peningkatan citra Indonesia di mata dunia sebagai penghasil minyak atsiri yang berpotensi, dan dipercaya. (3.15/1.5)




Harian Angkatan Bersenjata
Senin, 21 Oktober 1991

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.