Upaya mengembalikan citra Indonesia sebagai produsen minyak atsiri
INDONESIA merupakan negara produsen minyak atsiri terbesar di
antara negara-negara berkembang, dan termasuk negara pengekspor nomor 10 besar
dunia. Namun banyak factor yang menyebabkan posisi Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara
produsen lainnya. Antara lain karena Indonesia belum mampu menjamin kontinuitas
pengadaan barang dengan mutu yang konsisten.
Perkembangan teknologi
pengolahan minyak atsiri di negara-negara maju begitu pesatnya sehingga mampu
memberi nilai tambah bagi komoditas itu, sementara industri pengolahan yang ada
di Indonesia baru pada tingkat hulu dan masih menggunakan cara-cara
tradisional. Demikian pula potensi lahan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal,
pengembangan budidaya tanaman penghasil minyak atsiri beserta industri
pengolahannya oleh mereka yang berkepentingan masih harus ditingkatkan. Karena
nilai yang diterima sebagai bahan baku kasar relatif masih rendah jika
dibandingkan dengan nilai produk jadi.
Industri yang mengolah minyak atsiri
menjadi barang setengah jadi belum banyak berdiri di Indonesia.
Industri-industri itu berdiri di luar
negeri dan Indonesia mengimpor sebagian
besar produk-produk tersebut.
Minyak atsiri yakni minyak yang mudah
menguap dan memiliki aroma khas sesuai jenis tumbuhan penghasilnya, diperoleh
dengan cara penyulingan, ekstrasi dengan pelarut organik, pemerasan ataupun
dengan cara maserasi dengan lemak.
Hasilnya adalah minyak atsiri kasar yang dapat digunakan secara utuh atau
dengan mengisolasi komponen utama yang
dikandungnya.
Di Indonesia terdapat sekitar 35 jenis
tanaman yang dapat menghasilkan minyak
atsiri, tetapi baru 9 macam yang diproduksi secara massal dan kontinyu, karena
banyak jenis tanaman minyak atsiri yang belum diketahui nilai ekonomisnya.
Penelitian terhadap komposisi berbagai jenis minyak atsiri belum banyak
dilakukan karena peralatan yang diperlukan sangat mahal, padahal nilai
ekonomisnya belum pasti. Penelitian sangat perlu karena dengan diketahuinya
komponen-komponen kimia yg terkndung di dalam
suatu jenis minyak atsiri akan memungkinkan penawarannya ke pasaran atau dapat segera diseleksi
jenis-jenis/varietas unggul yang perlu dikembangkan.
Pengetahuan
SEMBILAN jenis minyak komoditas ekspor yang
sudah dikembangkan itu masing-masing sereh wangi (citronella oil), nilam
(patchouli oil), akar wangi ( vetiver oil),
kenangan (cananga oil), pala (nutmeg oil), daun engkih ( clove leaf
oil), cengkeh (clove bud oil), cendana
(sandalwood oil), dan kayu putih ( cayeput oil). Jenis-jenis lain yang
diproduksi atas permintaan antara lain minyak jahe (ginger oil), minyak lada (pepper oil), kemukus ( cubeb
oil). Minyak lawang yang sudah lama
dikenal hanya cukup untuk pasaran lokal sebagai obat tradisional.
Minyak atsiri di Indonesia terutama berasal
dari kegiatan industri kecil di pedesaan, hasil pengolahan yang sederhana,
sehingga mutunya rendah. Hanya beberapa perusahaan yang mengolah minyak atsiri dalam skala besar
dengan teknik penyulingan yang lebih baik.
Sentra-sentra produksi minyak atsiri antara
lain di Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Barat,
Aceh Selatan, dan Aceh Tenggara
(khususnya nilam). Minyak kenanga di Boyolali, Blitar, Cirebon, Kuningan,
Bantul, akar wangi di Garut, cengkih, pala
di Maluku dan lain-lain.
Kelemahan yang masih ditemui dalam kegiatan
produk minyak atsiri antara lain kurangnya pengetahuan tentang budidaya tanaman
dan teknik pengolahannya, sehingga belum
mencapai tingkat produksi yang optimal.
Keragaman mutu bahan baku serta alat penyulingan yang belum memadai menyebabkan rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan
tidak konsisten. Juga penggalian jenis-jenis minyak atsiri baru sebagai
komoditi ekspor belum dijajaki dari segala aspek sehingga hampir selama lima
dasa warsa sejak Indonesia merdeka industri minyak atsiri Indonesia hampir-hampir statis.
Tata niaga minyak atsiri di dalam negeri
diakui Djohan Narpati, Ketua Asosiasi Perdagangan Minyak Atsiri Indonesia,
sebagai masih panjang mata rantainya, sehingga mempengaruhi pola pemasaran dan
berakibat terhadap ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Penjualan secara forward sale dan sudah terikat jadwal
penyerahan barang meski belum memiliki stok yang dilakukan eksportir dapat
mengakibatkan harga di pasaran cenderung tidak bergerak, sementara harga lokal
meningkat.
Praktek demikian menyebabkan harga minyak
atsiri Indonesia didikte pembeli luar negeri dan selalu kalah dalam posisi bargaining. Demikian pula spekulasi yang
dilakukan eksportir dapat mempengaruhi harga pasaran lokal menjadi lebih tinggi
dari pasaran dunia pada saat yang sama, dengan harapan harga pasaran dunia akan
meningkat. Namun usaha tersebut tidak bertahan lama karena umumnya dana
eksportir terbatas.
Prospek
Peluang ekspor minyak atsiri
Indonesia sebenarnya cukup baik, karena dalam waktu lima tahun terakhir
(1984-1991) kecenderungan permintaan
minyak atsiri dunia meningkat
terus. Pangsa pasar minyak atsiri di Indonesia di pasaran luar negeri sangat
rendah. Secara makro minyak atsiri Indonesia cukup bersaing di negara tujuan ekspor terutama untuk negara
Jepang yang pada tahun 1991 diproyeksikan nilai ekspornya US $2.238.000,
Belanda US $4.567.000, Singapura US $3.009.000, dan Swis US $1.914.000.
Sedangkan jenis minyak atsiri yang memiliki prospek paling baik selama
lima tahun terakhir adalah minyak
kenanga yang hanya diproduksi Indonesia,
minyak sereh, minyak akar wangi, minyak nilam (disaingi RRC), minyak cendana.
Harga minyak atsiri juga cukup baik,
misalnya minyak akar wangi pada tahun lalu mencapai Rp 33.000/kg, tahun 1989
mencapai Rp 72.345/kg, tahun 1988 mencapai Rp 76.500 per kg. Tahun 1990 harga
minyak nilam mencapai Rp 22.000/kg dari pengrajin.
Menurut Biro Pusat Statistik, ekspor minyak
atsiri Indonesia memperlihatkan trend menanjak terus, meskipun beberapa di antaranya berkurang, baik jumlah maupun
nilainya terutama minyak kenanga yang
berkurang jumlah ekspornya sampai menyamai jumlah pada tahun 1986 (lihat
tabel).
Minyak kayu putih menunjukkan peningkatan
cukup besar jika dibandingkan dengan
tahun 1984 dan 1988. Minyak akar wangi jumlahnya naik turun sesuai dengan
permintaan, namun yang terbanyak memasuki pasaran adalah yang berasal dari
Haiti. Sementara RRC mulai mencampuri perdagangan akar wangi dunia sehingga merupakan saingan hebat Indonesia.
Sandalwood jumlahnya tidak dapat ditingkatkan lebih banyak lagi karena bahan
bakunya berupa kayu cendana masih terbatas.
Sampai saat ini ekspor minyak atsiri
Indonesia ke 26 negara. Negara tujuan ekspor Indonesia yang cukup besar
adalah Amerika mencapai 36,8 persen dari
jumlah keseluruhannya. Trend eskpor ke negara ini mencapai 9,1%. Negara kedua
pengimpor minyak atsiri Indonesia adalah Perancis mencapai 21,2 persen dari
total ekspor tahun 1989, trend ekspor ke negara ini sebesar 9,6 persen.
Konferensi
PARA pengusaha/eksportir
minyak atsiri Indonesia boleh dibilang masih “terisolir” karena selain volume
ekspor yang masih kecil, Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain
dalam soal perkembangan atsiri, ujar Ketua Asosiasi Indessota (Indonesian
Essential Oil Trade Association—Asosiasi Perdagangan Minyak Atsiri Indonesia) Djohan Narpati.
Dirjen Industri Kecil Trisura Suhardi yang
mengakui hal itu mengharapkan citra
Indonesia sebagai penghasil minyak atsiri bermutu tinggi bisa dikembalikan.”Indonesia
sebagai negara yang berpotensi besar mestinya bisa menjadi negara produsen
minyak atsiri yang baik,”ujarnya. Karena itu pihaknya memberikan
kesempatan kepada para pengusaha
Indonesia yang memiliki keahlian dalam budidaya, memproses maupun yang memiliki
teknologi lanjutan pengolahan minyak
atsiri berkumpul untuk bertukar pikiran. Sehingga masing-masing pihak bisa
saling memanfaatkan. Dengan demikian akan diperoleh nilai tambah yang semakin meningkat,
penyerapan tenaga kerja dan devisa menjadi lebih banyak.
Upaya mengangkat nama Indonesia sebagai
penghasil minyak atsiri antara lain melalui konferensi yang akan diadakan di
Jakarta 10-14 Nopember 1991 (International Conrference On Essential Oils For
Frerfumery and Flavours) dengan sponsor IFEAT (International Federation of
Essential Oils Aroma Trades—Federasi Pedagang Minyak Atsiri Internasional).
Melalui konferensi ini menurut Djohan
Narpati diharapkan Indonesia tidak lagi terisolir dan mengangkat kembali
nama Indonesia sebagai negara penghasil
minyak atsiri.
Peluang peningkatan ekspor minyak atsiri
pada masa mendatang diperkirakan akan lebih baik, karena pada masa datang
kecenderungan dunia kembali kepada
bahan-bahan murni yang alami (back to
nature). Sehingga minyak atsiri akan terus dibutuhkan, karta Soeprapto M.
Sadjito, Ketua Panitia Konferensi tahunan itu.”Kita pernah jaya di bidang
minyak atsiri, tetapi kita lupa karena kita tidak memiliki pakar dalam masalah
minyak atsiri,”ujarnya.
Semoga saja konferensi yang diadakan di
Jakarta itu akan banyak memberi manfaat terutama bagi peningkatan ekspor
komoditas nonmigas itu, serta peningkatan citra Indonesia di mata dunia sebagai
penghasil minyak atsiri yang berpotensi, dan dipercaya. (3.15/1.5)
Harian Angkatan Bersenjata
Senin,
21 Oktober 1991
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.