Tuesday 22 July 2014

Refleksi




                                     Monas
                                               
                                                        Oleh: Mustofa Achmad S


                                                   Foto: www.indonesiakaya.com
    
      SEKEMBALINYA dari Jakarta, Togap bercerita kepada teman sekampungnya di Medan sana. Ia membanggakan diri telah melihat kehebatan kota Jakarta. Di antaranya ia telah menikmati suasana di sekitar Jembatan Semanggi. Mendengar cerita itu, Buhler, kawannya yang belum pernah sekalipun  ke Jakarta, tak mau ketinggalan. Katanya, ketika berada di Jakarta, ia tak menyia-nyiakan waktu untuk bermain di Jembatan Semanggi. ”Waktu itu aku memang sempat memancing, tapi tak dapat ikan. Karena, kalinya sedang banjir,”ujar Buhler.
     Cerita tentang Jembatan Semanggi adalah gambaran kota Jakarta pada tahun enampuluhan. Waktu itu setiap orang daerah ingin ke Jakarta untuk bisa melihat Sarinah, Hotel Indonesia, Pasar Ikan, Gedung Gajah (Museum Nasional), Kebun Binatang (dulu di Cikini) dan Jembatan Semanggi. Oleh-oleh cerita dari Jakarta pun tidak jauh dari deretan nama-nama itu.
    Kini setelah lebih dari 30 tahun, Jakarta makin hebat. Gedung bertingkat banyak bukan hanya Sarinah dan HI. Sehingga, kata cerdik pandai, Jakarta sudah jadi hutan beton. Karena, tidak terhitung lagi banyaknya gedung bertingkat yang bentuknya juga aneka macam.  Cerita orang-orang daerah yang ke Jakarta ketika pulang ke kampungnya juga bisa panjang lebar. Mereka bisa bertutur tentang Ancol, TMII, Monas, Kebun Binatang Ragunan, Dunia Fantasi, dan  Taman Ismail Marzuki.
    Tetapi, mereka  jarang atau bahkan tidak tahu menahu soal Gedung Gajah yang dulu menjadi bahan cerita dan kini nyaris dilupakan orang. Bahkan, Jembatan Semanggi kini bukan sesuatu yang  hal yang luar biasa. Karena, bangunan semacam Jembatan Semanggi sudah banyak dibangun di kota metropolitan ini. Seperti jalan simpang susun Cawang,  jalan kereta api layang, dan jalan layang. Sedangkan TIM rasanya juga hanya kalangan tertentu dalam jumlah tertentu (sedikit) saja yang dengan bangga menceritakannya.
     Jalan-jalan protokol pun kini dilengkapi dengan jembatan penyeberangan yang bentuk dan penampilannya juga keren, dengan atap transparan berwarna lembut. Banyaknya jembatan penyeberangan di Jakarta ini membuat Irma, yang baru datang dari Aceh, membanding-bandingkan  Jakarta dengan kota kelahirannya. “Aneh juga, di Jakarta demikian banyak jembatan tetapi tak ada sungainya. Tetapi, di Aceh begitu banyak sungai tetapi tak ada jembatannya.”
     Pendek kata dalam soal pembangunan fisik Jakarta nomor satu di Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota negara oleh orang-orang yang pandai dan mereka yang mengaku pandai diberi beban sebutan yang macam-macam. Coba simak, Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan, pusat perdagangan, kota pariwisata, kota metropolitan, dan kota pusat budaya. Kalau dirinci seluruhnya maka Jakarta boleh dibilang sebagai klota pusat segala-galanya.
     Karena begitu banyaknya beban yang disandang Jakarta, maka masalah yang dihadapi juga bikin pusing kepala. Soal urbanisasi, ketertiban, dan kebersihan, seakan-akan tidak pernah bisa dipecahkan. Belum lagi malasah lalulintas, pengangguran, kakilima, gelandangan, dan pengemis yang merupakan lingkaran setan.
     Dari sekian banyak predikat yang disandang Jakarta, barangkali satu di antaranya  pantas untuk dibahas, yakni pariwisata. Jakarta sebagai kota pariwisata. Banyak wisatawan dari berbagai daerah ingin melihat koat Jakarta dengan, kalau bisa, seluruh isinya.
     Ada pernyataan menarik dari Gubernur DKI Jakarta  Sutiyoso Jumat lalu yang menyebutkan  Pemda DKI bertekad menjadikan Kawasan Monas sebagai wilayah percontohan di Jakarta. Percontohan meliputi di antaranya masalah ketertiban pedagang kakilima, parkir, WTS, gelandangan, dan pengemis.
     Kawasan Monas, sebagai objek wisata, sebenarnya bisa dijadikan  sebagai ciri khas kota Jakarta. Artinya, setiap orang yang mengunjungi Jakarta rasanya tidak afdol jika  belum berkunjung ke Monas. Seperti halnya bila kita ke Paris, rasanya belum ke sana  bila belum melihat dari dekat Menara Eiffel.
     Alangkah bahagianya bila para keluarga bisa berwisata dengan murah di kawasan Monas. Tanpa dihantui rasa was-was diperas pedagang atau ditekan preman Monas. Apalagi bila air mancur yang pandai bernyanyi dan menari dihidupkan lagi. Rasanya kita akan  lupa sejenak beban hidup seharihari.
     Penataan tahap pertama Kawasan Monas dengan biaya Rp 3 miliar dan pemanfaatan 100 tenaga profesional untuk menjaga ketertiban bukan pekerjaaan main-main. Kawasan Monas  bisa dijadikan  sebagai percontohan dari pelaksanaan Sapta Pesona.
     Tempat pelarian dari kepenatan kerja sehari-hari ini akan menjadi kawasan yang aman, tertib, bersih, indah, sejuk, dan akan berkesan di hati para pengunjungnya. Apalagi para pengunjung dari luar ibu kota dan mancanegara bisa membawa oleh-oleh sebagai cenderamata. Misalnya kaus bergambar tugu Monas, atau gantungan kunci yang mungil namun berkualitas dengan lambang tugu emas Monas.

Harian Umum ABRI
Senin, 1 Februari 1999
   

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.