Monas
Oleh: Mustofa Achmad S
Foto: www.indonesiakaya.com
SEKEMBALINYA dari Jakarta, Togap bercerita
kepada teman sekampungnya di Medan sana. Ia membanggakan diri telah melihat
kehebatan kota Jakarta. Di antaranya ia telah menikmati suasana di sekitar Jembatan
Semanggi. Mendengar cerita itu, Buhler, kawannya yang belum pernah
sekalipun ke Jakarta, tak mau
ketinggalan. Katanya, ketika berada di Jakarta, ia tak menyia-nyiakan waktu
untuk bermain di Jembatan Semanggi. ”Waktu itu aku memang sempat memancing,
tapi tak dapat ikan. Karena, kalinya sedang banjir,”ujar Buhler.
Cerita tentang Jembatan Semanggi adalah
gambaran kota Jakarta pada tahun enampuluhan. Waktu itu setiap orang daerah
ingin ke Jakarta untuk bisa melihat Sarinah, Hotel Indonesia, Pasar Ikan, Gedung
Gajah (Museum Nasional), Kebun Binatang (dulu di Cikini) dan Jembatan Semanggi.
Oleh-oleh cerita dari Jakarta pun tidak jauh dari deretan nama-nama itu.
Kini setelah lebih dari 30 tahun, Jakarta
makin hebat. Gedung bertingkat banyak bukan hanya Sarinah dan HI. Sehingga,
kata cerdik pandai, Jakarta sudah jadi hutan beton. Karena, tidak terhitung
lagi banyaknya gedung bertingkat yang bentuknya juga aneka macam. Cerita orang-orang daerah yang ke Jakarta
ketika pulang ke kampungnya juga bisa panjang lebar. Mereka bisa bertutur
tentang Ancol, TMII, Monas, Kebun Binatang Ragunan, Dunia Fantasi, dan Taman Ismail Marzuki.
Tetapi, mereka jarang atau bahkan tidak tahu menahu soal
Gedung Gajah yang dulu menjadi bahan cerita dan kini nyaris dilupakan orang.
Bahkan, Jembatan Semanggi kini bukan sesuatu yang hal yang luar biasa. Karena, bangunan semacam
Jembatan Semanggi sudah banyak dibangun di kota metropolitan ini. Seperti jalan
simpang susun Cawang, jalan kereta api
layang, dan jalan layang. Sedangkan TIM rasanya juga hanya kalangan tertentu
dalam jumlah tertentu (sedikit) saja yang dengan bangga menceritakannya.
Jalan-jalan protokol pun kini dilengkapi
dengan jembatan penyeberangan yang bentuk dan penampilannya juga keren, dengan
atap transparan berwarna lembut. Banyaknya jembatan penyeberangan di Jakarta
ini membuat Irma, yang baru datang dari Aceh, membanding-bandingkan Jakarta dengan kota kelahirannya. “Aneh juga,
di Jakarta demikian banyak jembatan tetapi tak ada sungainya. Tetapi, di Aceh
begitu banyak sungai tetapi tak ada jembatannya.”
Pendek kata dalam soal pembangunan fisik
Jakarta nomor satu di Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota negara oleh
orang-orang yang pandai dan mereka yang mengaku pandai diberi beban sebutan
yang macam-macam. Coba simak, Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan, pusat
perdagangan, kota pariwisata, kota metropolitan, dan kota pusat budaya. Kalau
dirinci seluruhnya maka Jakarta boleh dibilang sebagai klota pusat
segala-galanya.
Karena begitu banyaknya beban yang
disandang Jakarta, maka masalah yang dihadapi juga bikin pusing kepala. Soal
urbanisasi, ketertiban, dan kebersihan, seakan-akan tidak pernah bisa
dipecahkan. Belum lagi malasah lalulintas, pengangguran, kakilima, gelandangan,
dan pengemis yang merupakan lingkaran setan.
Dari sekian banyak predikat yang disandang
Jakarta, barangkali satu di antaranya
pantas untuk dibahas, yakni pariwisata. Jakarta sebagai kota pariwisata.
Banyak wisatawan dari berbagai daerah ingin melihat koat Jakarta dengan, kalau
bisa, seluruh isinya.
Ada pernyataan menarik dari Gubernur DKI
Jakarta Sutiyoso Jumat lalu yang menyebutkan Pemda DKI bertekad menjadikan Kawasan Monas
sebagai wilayah percontohan di Jakarta. Percontohan meliputi di antaranya
masalah ketertiban pedagang kakilima, parkir, WTS, gelandangan, dan pengemis.
Kawasan Monas, sebagai objek wisata,
sebenarnya bisa dijadikan sebagai ciri
khas kota Jakarta. Artinya, setiap orang yang mengunjungi Jakarta rasanya tidak
afdol jika belum berkunjung ke Monas.
Seperti halnya bila kita ke Paris, rasanya belum ke sana bila belum melihat dari dekat Menara Eiffel.
Alangkah bahagianya bila para keluarga
bisa berwisata dengan murah di kawasan Monas. Tanpa dihantui rasa was-was
diperas pedagang atau ditekan preman Monas. Apalagi bila air mancur yang pandai
bernyanyi dan menari dihidupkan lagi. Rasanya kita akan lupa sejenak beban hidup seharihari.
Penataan tahap pertama Kawasan Monas
dengan biaya Rp 3 miliar dan pemanfaatan 100 tenaga profesional untuk menjaga
ketertiban bukan pekerjaaan main-main. Kawasan Monas bisa dijadikan sebagai percontohan dari pelaksanaan Sapta
Pesona.
Tempat pelarian dari kepenatan kerja
sehari-hari ini akan menjadi kawasan yang aman, tertib, bersih, indah, sejuk,
dan akan berkesan di hati para pengunjungnya. Apalagi para pengunjung dari luar
ibu kota dan mancanegara bisa membawa oleh-oleh sebagai cenderamata. Misalnya
kaus bergambar tugu Monas, atau gantungan kunci yang mungil namun berkualitas
dengan lambang tugu emas Monas.
Harian Umum ABRI
Senin, 1 Februari 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.