Friday 7 August 2015

Abaikan Fatwa Gus Mus,

Panitia Muktamar Dinilai Tak Berakhlakul Karimah
                                                             

Muktamar NU ricuh, Ahad (2/8)/Republika/Yasin Habibi
                                                                                                                                                                                                                                                                      

    Jombang -- Keputusan pejabat sementara Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Mustofa Bisri atau Gus Mus yang membatalkan penerapan sistem Ahlul halli wal ‘aqdi (Ahwa) diabaikan oleh panitia Muktamar NU ke-33.

    Hal itu kembali membuat suasana Muktamar NU di Jombang kembali menghangat. Protes dari para Muktamirin pun kembali menggema setelah sebelumnya reda.
    “Secara formal, organisatoris dan konvensi yang berlaku, seharusnya komisi ini membahas keseluruhan hal-hal terkait pengembangan organisasi. Bukan kembali membahas Ahwa,” ujar Ketua Umum Tanfidz PWNU Jawa Tengah Prof Abu Hafsin dalam rilisnya, Rabu (5/8).

    Tindakan panitia Muktamar tersebut, menurut Hafsin, tak hanya menyalahi AD ART PBNU, tetapi juga tidak mencerminkan akhlakul karimah seperti yang diamanatkan Gus Mus.
    “Saya menyesalkan fatwa Gus Mus diabaikan, dan panitia malah memulai lagi dengan tindakan yang kurang sesuai dengan etika pesantren. Panitia seolah mempermainkan para Rais Syuriah NU yang notabene adalah kiai-kiai sepuh,” sesalnya.

    Syuriah PWNU Jambi Abdul Kadir Husein mengungkapkan, tindakan panitia muktamar seperti menghalalkan segala cara guna menerapkan Ahwa. Bahkan sejumlah Rais Syuriah dilarang masuk forum dengan alasan mandatnya telah dipindahkan kepada pihak lain.

    Mandat Rais Syuriah PCNU Kota Jambi pagi tadi dipindahkan panitia kepada Wakil Rais, tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan. Padahal yang berhak memindahkan mandat Muktamar, ya Rais Syuriah yang bersangkutan,” paparnya.
Redaktur : Indah Wulandari
Sumber:Republika.co.id, Rabu, 5 Agustus 2015
Muktamar NU
Pengurus NU Temukan Sejumlah Muktamirin 'Aspal'
 
    Anggota banser berjaga di area muktamar NU ke-33 digelar, Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8). Sidang pleno III Muktamar NU yang dijadwalkan digelar pada Selasa (4/8) terpaksa ditunda dan akan dilaksanakan pada Rabu (5/8).



    Jombang -- Arena Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 tidak hanya marak dengan atribut nahdliyyin. Bendera dan atribut partai yang didominasi warna hijau seolah sengaja disandingkan dengan bendera NU.Foto: Antara/Zabur Karuru


 Sekretaris Tanfidz PWNU Papua Barat, Syahruddin Makki  bahkan mengungkapkan, telah menemukan sejumlah delegasi peserta Muktamar mewakili empat kabupaten di Provinsi Papua Barat yang belum memiliki PCNU.

     Yakni, Kabupaten Pegunungan Apak, Manokwari Selatan, Maybrat, dan Telukwondama. Setelah diidentifikasi, delegasi tersebut adalah pengurus DPC Partai Kebangkitan Bangsa Kabupaten Manokwari alias muktamirin asli tapi palsu (Aspal).

“    Kami tak pernah merekomendasikan Pembentukan Cabang NU di sana. Karena memang tidak ada muslim di sana. Kami tak bisa mengusir mereka karena mereka memiliki co-card peserta,” ungkap Syahruddin dalam rilisnya, Rabu (5/8).

    Mendapati fakta tersebut, ia curiga kalau para kader dan pengurus partai juga disusupkan ke arena formal Muktamar sebagai peninjau. Sementara, para Ketua Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom NU banyak yang tidak dilibatkan di ruang-ruang sakral persidangan Muktamar.

    “Anehnya mereka mengklaim punya SK dari PBNU, padahal tak pernah kami rekomendasikan. Anehnya lagi bisa lolos menjadi peserta tanpa verifikasi. Kenapa panitia melegalkan? Siapa yang menghadirkan mereka di sini?” ujarnya.

    Hal serupa diungkapkan Ketua Tanfidz PWNU Kepulauan Riau, Tarmudzi Tohor. Menurutnya, dalam sejumlah agenda sidang komisi hingga sidang pleno lalu, banyak pengurus partai menjadi peserta maupun peninjau.

    “Muktamar ini terlihat tidak murni lagi dilaksaankan oleh NU, karena di mana ada kegiatan, baik sidang komisi, pleno dan sebagainya, selalu ada orang-orang partai di situ. Ada apa ini, pasti ada sesatu di belakangnya?” tanyanya.

    Ia juga mengungkapkan, kekisruhan di Muktamar NU ini disebabkan oleh kegagalan panitia dalam mengatus jalannya forum serta kentalnya intervensi partai.

    “Ada apa sebenarnya, muktamar kenapa dibikin ribut-ribut begini. Saya berharap semua kembali ke hati nurani, mari bermuktamar yang benar, bukan bermuktamar karena kepentingan-kepentingan tersendiri,” harapnya.
Redaktur : Indah Wulandari
Republika.co.id, Rabu, 05 Agustus 2015



Ini Keputusan Muktamar NU Soal Kerukunan Umat Beragama dan BPJS

     Muktamirin berpelukan dengan sorang anggota Banser seusai Rais Aam PBNU Mustofa Bisri memberikan fatwa saat pembahasan rancangan Tatib Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang, Jawa Timur, Senin (3/8).
    Jombang--- Peserta Sidang Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah (perundang-undangan) pada Muktamar Ke-33 NU di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Badan Nasional Kerukunan Umat Beragama.

    "Badan khusus itu penting sebagai kelanjutan dari FKUB yang selama ini sudah ada pada tingkat kabupaten/kota hingga provinsi, namun kami usulkan agar dibentuk hingga tingkat nasional, karena masalah keagamaan akhir-akhir ini cukup menyolok," kata pimpinan sidang komisi itu Prof KHM Ridwan Lubis di Jombang, Selasa (4/8).

    Anggota Musytasyar PBNU asal Sumatera itu menjelaskan usulan itu muncul ketika peserta sidang membahas tentang UU Perlindungan Umat Beragama dan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah (PP Nomor 55/2007), apalagi ada sejumlah materi pendidikan agama di sekolah yang dimasuki materi-materi versi Wahabi.

    "Akhirnya, peserta mengusulkan perlunya badan khusus untuk itu, bahkan fungsinya tidak hanya sekadar menjadi kelanjutan dari FKUB, namun bisa juga menangkal radikalisasi, merevisi perda-perda yang bertentangan dengan agama, dan juga meredam meluasnya insiden seperti Tolikara," katanya.

    Mengenai perbaikan pengelolaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, Prof KHM Ridwan Lubis mengatakan muktamirin mengusulkan dua model BPJS yakni BPJS Umum dan BPJS Syariah.

    "Soal hukum BPJS, apakah haram atau tidak bukan kewenangan kami, tapi Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah yang membahas. Kami hanya dari aspek qanuniyah," katanya.

    Sebelumnya (3/8), peserta Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah (masalah kekinian) pada Muktamar Ke-33 NU di Kompleks Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, dapat menerima dan memperbolehkan BPJS Kesehatan yang sebelumnya sempat diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

    "BPJS itu tergolong dalam konsep Syirkah Ta'awwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa haram oleh MUI," kata anggota pimpinan sidang Komisi Bahtsul Masail KH Asyhar Shofwan MHI.

    Dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah itu, Ketua Lembaga Bahsul Masail (LBM) PWNU Jatim itu menjelaskan asuransi memang haram, bahkan NU sendiri sudah menghukumi asuransi itu haram, karena sifatnya "profit", kecuali asuransi yang dilakukan pemerintah, seperti Jasa Raharja, karena sifatnya santunan.

    Oleh karena itu, NU merekomendasikan pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan itu agar masyarakat tidak memahami BPJS Kesehatan sebagai asuransi pada umumnya.
 Republika.co.id, Rabu, 05 Agustus 2015

Ahlul Halli Wal Aqdi dan Benih Konflik di Tubuh NU


NU
Logo Muktamar NU ke-33
    REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Pemerhati NU dan Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta


    Muktamar NU telah dibuka oleh Presiden Joko Widodo, 1 Agustus 2015. Ada beberapa agenda muktamar yang dibahas. Di antaranya Program Satu Abad NU, perubahan Anggaran Rumah Tangga (ART), sampai pemilihan Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Dua agenda terakhir ternyata yang sungguh menarik. Perhatian muktamirin seperti deras mengalir. 


    Dalam materi muktamar terkait perubahan ART, ada tawaran perubahan fundamental terkait pemilihan Rais Aam. Di mana Rais Aam yang sejak Muktamar Yogyakarta 1989 sampai Muktamar Makassar 2010 dipilih secara langsung akan dipilih melalui mekanisme Ahlul Halli Wal Aqdi(AHWA). Sementara untuk pemilihan Ketua Tanfidziyah praktis tak ada perubahan, yaitu dipilih secara langsung oleh muktamirin, setelah mendapat persetujuan dari Rais Aam terpilih.


    NU dan AHWA
    AHWA sesungguhnya merupakan salah satu model pemilihan khalifah masa Khulafaul Rasyiddin. Model ini pernah diterapkan pada pemilihan Abu Bakar dan Utsman bin Affan. Abu Bakar dipilih melalui AHWA oleh perwakilan umat yang saat itu berkumpul di Balai Pertemuan (Tsaqifah) Bani Saidah. Namun ada juga yang menyebut dengan istilah ‘bay’ahterbatas’. Naiknya Utsman bin Affan sebagai khalifah murni dilakukan dengan AHWA. 

    Saat sakit Umar bin Khattab semakin parah akibat ditikam Abu Lu’luah, sebagai antisipasi vakumnya kekuasaan, Umar membentuk AHWA. Di dalamnya beranggotakan enam sahabat: Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubeir Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah (mempunyai hak bicara dan hak suara), ditambah Abdullah bin Umar (hanya mempunyai hak bicara). Sidang AHWA ini berhasil memilih Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar.

    Praktek AHWA ini sebenarnya juga pernah diterapkan di dalam NU. Saat itu, menjelang Muktamar Situbondo, dalam tubuh NU diselimuti konflik. Tarik-ulur itu muncul sebagai imbas dari perseteruan kubu Cipete (KH. Idham Cholid) dan Kubu Situbondo (KH. As’ad Syamsul Arifin). Munculnya dua kubu berawal dari konflik di PPP menjelang Pemilu 1982 terkait kebijakan Ketua Umum PPP HJ. Naro dalam penentuan nomor urut kursi DPR RI yang banyak merugikan kiai sepuh. 

    Konflik ini ternyata terus merembet ke dalam NU. Kubu politisi yang diuntungkan oleh kebijakan Naro, kemudian mendukung kebijakan Naro. Sementara kiai sepuh yang banyak dirugikan, tentu saja menentang kebijakan Naro. Perseteruan ini kian runyam setelah Kiai Idham menyatakan mundur sebagai Ketua Tanfidziyah. Keputusan itu dilakukan atas “desakan” kiai-kiai sepuh yang dipimpin Kiai As’ad. Tapi secara mengejutkan, beliau mencabut pernyataan pengunduran dirinya hanya berselang kurang lebih seminggu setelah pengunduran dirinya. 

    Walau kubu-kubu dalam tubuh NU dianggap selesai namun faktanya masih tetap saja terjadi. Masalah ini dikhawatirkan bakal muncul dalam Muktamar Sitobondo. Untuk menghindari hal ini, Muktamar Situbondo memakai mekanisme yang berbeda dari muktamar-muktamar sebelumnya, yaitu AHWA. Mekanisme ini dianggap tepat untuk meredam benih-benih perseteruan yang masih terjadi. 

     Dan benar, kubu-kubuan ternyata muncul kembali. Terutama ketika sidang untuk memilih siapa yang bakal dan pantas menjadi ketua dan anggota AHWA. Pada sidang ini, peserta terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama yang menghendaki Kiai As’ad sebagai ketua. Kubu lainnya, menghendaki Kiai Idham sebagai ketua AHWA. Namun perpecahan bisa dihindari setelah Kiai Idham meminta supaya peserta memilih Kiai As’ad sebagai ketua AHWA. Dengan pengunduran diri ini, Kiai As’ad pun ditunjuk sebagai ketua AHWA. 

    Kiai As’ad kemudian menunjuk enam kiai sebagai AHWA. Mereka adalah KH. Ali Maksum (Yogyakarta), KH. Masykur (Jakarta), KH. Syamsuri Baidlawi (Jombang), KH. Achmad (Sumatera Utara), KH. Romli Ahmad (Kalimantan Timur), dan KH. Rofi’i Mahfudz (Sulawesi Selatan). Tim AHWA ini berhasil memilih KH. Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid sebagai Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Muktamar NU pun berlangsung mulus. Mekanisme AHWA terbukti berhasil menyelamatkan NU dari konflik berkepanjangan. 

    Saatnya Kembali ke AHWA 
Ketika Muktamar Yogyakarta 1989, NU memutuskan mengubah mekanisme pemilihan dari AHWA menjadi one man one vote. Konteks saat itu bisa dipahami. Apalagi Gus Dur adalah Ketua Tanfidziyah yang dikenal sebagai pegiat demokrasi. Tentunya ia berusaha mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Tapi ternyata dengan dalih demokrasi justru telah membawa mafsadat bagi NU. 

    Pertama, menurunkan wibawa kiai. Kiai (ulama) itu pewaris para nabi. Pantang berebut jabatan (Rais Aam). Namun dengan one man one votejutru berhasil “memaksa” para kiai untuk terlibat “perebutan” jabatan. Kedua, money politics menjadi sulit dihindari. Siapapun pun yang menghadiri Muktamar Makassar 2010, tentu merasakan betul aromamoney politics. Muktamar NU nyaris bak muktamar atau kongres partai. 

    Ketiga, rawan intervensi. Tentu publik masih ingat pelaksanaan Muktamar Cipasung 1994, ketika rezim Soeharto secara demonstratif mengacak-acak Muktamar NU. Keempat, berpotensi memecah belah. Muktamar Yogyakarta hampir-hampir kembali mengoyak-koyak NU, ketika Kiai Idham yang tak diunggulkan menduduki Rais Aam hampir saja mengalahkan Kiai Ahmad Siddiq. 

    Begitu juga ketika KH. Ali Yafie yang tidak diunggulkan menduduki Wakil Rais Aam berhasil mengalahkan KH. Sahal Mahfudz dengan selisih suara yang jauh. Maka tepat ketika NU mencoba kembali menggunakan AHWA. Di sinilah maka berlaku qaidah ushul, dar ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashalih, menghindari kerusakan lebih utama daripada memperoleh manfaat yang sedikit.

    Dalam rancangan ART Bab XIV Pemilihan dan Penetapan Pengurus Pasal 40 disebutkan (1)  Pemilihan dan Penetapan Pengurus Besar NU sebagai berikut: a. Rais Aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat melalui sistem AHWA. b. AHWA terdiri dari 9 ulama yang dipilih secara langsung oleh muktamirin. e. Ketua Umum dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari Rais Aam terpilih.

    Meskipun terlambat, kesadaran untuk kembali menggunakan AHWA patut mendapat apresisi. Hanya saja perubahan yang ditawarkan sepertinya masih terkesan setengah-setengah. Mestinya kalau mau menggunakan AHWA secara utuh, pemilihan Ketua Tanfidziyah jangan diserahkan kepada muktamirin. Selepas memilih AHWA, berilah kewenangan juga kepada Tim AHWA untuk memilih Ketua Tanfidziyah. Sebab ketika Ketua Tanfidziyah masih dipilih langsung oleh muktamirin maka berbagai kemungkinan terkait intervensi atau money politics, misalnya, masih sangat mungkin dan rawan terjadi.

    Sementara terkait penerapan AHWA andai disetujui oleh muktamirin dalam Sidang yang membahas ART, sebaiknya penerapannya harus bijaksana. Jangan sampai penerapannya menimbulkan gejolak. Saya yakin semua muktamirin sepakat dengan AHWA. Hanya saja soal penerapannya, sepertinya ada dua kubu yang saling bersebarangan. Ada kubu yang menghendaki penerapannya saat ini juga. Namun ada kubu yang menghendaki agar AHWA diterapkan pada muktamar mendatang. Masalah ini harus disikapi secara bijaksana oleh seluruh muktamirin, termasuk –- dan ini yang lebih penting -– oleh kandidat Rais Aam dan Ketua Tanfidziyah. Semoga.

Republika.co.id, Rabu, 05 Agustus 2015

Muktamar NU

Andi Disebut Ngawur Tuding Ada 'Money Politics' di Muktamar NU


    Jakarta -- Tudingan yang dilontarkan tim sukses KH Salahuddin Wahid, Andi Jamaro Dulung soal adanya dugaan 'money politics' terkait dukungan pelaksanaan AHWA dalam memilih Rais Aam adalah cara tak beradab dan menghina kiai. Andi diminta tak asal bicara hanya demi mengejar ambisi politik yang akhirnya menghalalkan segala cara di Muktamar NU ke-33 di Jombang pada 1 sampai 5 Agustus.

    “Yang kemarin bicara ada 'money politics' Rp 15 sampai Rp 25 juta untuk dukung AHWA itu ngawur. Janganlah merusak muktamar ini dengan nafsu menghalalkan segala cara hanya karena ingin menang. Ini organisasi para kiai, para kiai tahu apa yang terbaik untuk organisasinya, jangan karena para kiai ingin AHWA lalu dituding 'money politics',” kata Sekretaris PWNU NTB KH Lalu Winengan lewat keteranganya Selasa (4/8).

    Pria yang mengaku sebagai pelayan kiai tersebut mengingatkan, Andi sebagai sesama warga Nahdliyin harus bisa menjaga mulut dan hatinya untuk menjaga marwah dan muruah organisasi NU. Jangan justru mengumbar aib yang merusak NU dan para kiai hanya demi ingin menguasi PBNU.

    “Ini organisasi para kiai, organisasi yang menjunjung tinggi ahlaqul karimah. Kalau ada masalah, ya dibicarakan di dalam, bukan dibuka ke media, yang akhirnya orang lain tahu dan menertawakan kita. Itu perilaku yang merusak NU kalau ada yang mentalnya begitu. Kalau cinta NU, kalau ada masalah di NU justru di tutupi bukan diumbar ke mana-mana,” ujarnya.

    Terkait tudingan Andi Jamaro yang mengatakan bahwa persoalan yang ada di muktamar Jombang yang ke 33 ini karena di belakang Panitia ada parpol tertentu juga ditolak peserta utusan NTB tersebut. Menurut dia, Andi sebagai politikus PPP tidak layak menuding dan menyalahkan parpol lain kalau tidak mampu menggalang dukungan kepada calon yang diusungnya.

Redaktur : Erik Purnama Putra
Republika, Selasa, 04 Agustus 2015


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.