Yang
penting sampai tujuan
DUDUK di kursi empuk
yang bisa disetel ke belakang sehingga posisi tubuh setengah berbaring atau
disetel agar duduk kita tegak, sambil menonton film video atau mendengarkan
musik merdu di dalam ruangan berhawa segar sebuah bis, belum semua orang bisa
menikmatinya. Dengan kata lain belum semua orang bisa menikmati suatu
perjalanan yang nyaman dengan angkutan umum seperti bis dan kereta api.
Masa sekarang jika Anda memiliki uang yang
cukup dan berminat melakukan perjalanan jauh yang nyaman dengan bis, tinggal
pilih tipe bis yang Anda sukai. Banyak perusahaan bis malam, dengan jarak tempuh yang yang cukup memakan waktu, berlomba memberikan
pelayanan yang menarik. Dengan mengeluarkan uang Rp 14.000 Anda akan menikmati
bis VIP untuk jarak tempuh Jakarta-Surabaya. Disebut VIP karena bis yang Anda
naiki itu memiliki toilet, berhawa sejuk (AC) berkursi empuk dan bisa disetel,
dilengkapi musik dan film video.
Meskipun film video hanya disetel beberapa
saat saja namun banyak pula calon penumpang ingin menikmati perjalanan panjang
dengan menghabiskan waktu menonton video. Namun pada praktiknya lebih banyak
penumpang yang tidur daripada berpayah-payah menikmati film yang terkadang
kurang tepat disajikan kalau tidak boleh dibilang buruk.
Selain
bis VIP, Anda bisa melakukan perjalanan
dengan bis malam yang berhawa sejuk, berkursi empuk tegak, berfilm video tetapi
tidak dilengkapi dengan toilet, hanya Rp 12.000 dengan jarak tempuh
Jakarta-Surabaya. Kalau bis biasa, tanpa video tanpa AC tetapi ada musik cukup
mengeluarkan uang Rp 9.000.
Ketiga bis yang dipaparkan di atas itu
masih tergolong bagus, artinya dalam perjalanan kita bisa duduk, tanpa harus berdesakan. Lain
halnya bila kita naik bis biasa, bis bumel, jangan harap bisa menikmati perjalanan yang nyaman,
meskipun nyaman itu relatif bagi setiap orang.
Pada saat menjelang hari Lebaran dan
sesudahnya seperti saat ini masalah kenyamanan bagi sebagian besar mereka yang
“bernafsu” untuk mudik tentu bukan hal yang wajib. Karena jika hal itu menjadi
patokan maka jangan harap bisa
menghemat, bahkan bisa-bisa keluarga yang akan dibawa tidak terbawa semuanya
sebab harus membayar mahal.
Kita ambil saja contoh di terminal
antarkota Pulo Gadung, rebutan tempat
(bukan hanya kursi) di dalam bis hampir merupakan pemandangan yang biasa di saat-saat membludaknya calon penumpang di sana.
Siapa
kuat tentu mendapatkan tempat, tetapi bagi si lemah terpaksa menunggu
kesempatan, kadang-kadang hampir putus asa untuk bisa mendapatkan bis.
Bukan hanya di terminal Pulo Gadung saja,
di stasiun-stasiun kereta api seperti Gambir dan Senen orang pun harus berebut karcis dan tempat untuk
bisa terbawa dalam perjalanan kereta api.
Kembali kepada masalah angkutan bis
antarkota, mereka yang telah mendapatkan tempat, meskipun berdiri dan
berdesak-desakan pada saat yang demikian sudah merasa lega. Pokoknya terbawa,
urusan keselamatan dan kenyamanan rasanya hanya soal nanti.
Pengalaman naik bis untuk golongan kecil
memang banyak segi-segi menariknya. Keringat yang bercucuran karena hawa panas
dan padatnya penumpang, badan terasa kaku karena sulit bergerak, belum lagi
kalau kita harus menunggu sekian lama karena kondektur harus berhitung dengan
para calo- yang istilah resminya disebut sebagai perwakilan perusahaan bis, di
agen-agen di luar terminal Pulo Gadung, misalnya di Cakung atau Bekasi.
Jarang penumpang melancarkan protes, karena
memang protes tidak akan merubah keadaan, bahkan kita bisa sakit hati kalau
melancarkan suatu protes dalam keadaan demikian. Kita bisa disuruh turun atau
dimaki-maki oleh para calo tersebut. Nah, apa mau dikata akhirnya yang namanya
penumpang itu hanya pasrah walaupun kadang-kadang diperlakukan seenaknya.
Panjang akal
Masalah
tarip yang ditetapkan para calo itu juga tidak ada gunanya kita protes. Mereka
cukup kuat untuk menaikkan tarip dengan cara mereka sendiri. Walaupun
pemerintah tegas-tegas melarang kenaikan tarip untuk bis angkutan Lebaran.
Akal para pengusaha angkutan (baca
perwakilan perusahaan bis) cukup banyak. Untuk jarak jauh dijadikan sebagai
patokan tarip. Misalnya bis jurusan Jakarta-Solo, setiap penumpang, walaupun
pada hari-hari biasa membayar sesuai
dengan tarip tujuan yang ditentukan,
namun pada hari-hari angkutan Lebaran tarip jauh dekat sama.
Bukan hanya bis jarak jauh yang menetapkan
tarip rata-rata, bisa jarak dekat saja seperti Jakarta- Cirebon pun ikut-ikutan
menentukan tarip rata-rata. Akibatnya penduduk Sukamandi dan Karawang yang sehari-hari
bekerja di Jakarta mengeluh dan mencari jalan lain untuk tidak terkena tarip
rata-rata tersebut. ”Saya mesti naik tiga kali kendaraan untuk menghindari
tarip rata-rata ini,”ujar seorang karyawan yang tinggal di Ciasem menuturkan,
padahal biasanya ia hanya naik kendaraan sekali jalan kalau berangkat kerja.
Kalau bis sudah berjalan dan kebetulan tidak
macet, memang udara di dala bis agak
longgar karena tiupan angin yang kencang lewat celah-celah jendela yang
terbuka. Kebut-kebutan saling menyalip kendaraan mulai berlangsung. Bagi mereka
yang lemah jantung tentu saja khawatir. Tetapi rata-rata penumpang menginginkan
kendaraan berjalan dengan cepat. Sopir yang tidak mau ngebut biasanya
dimaki-,maki penumpang. Akibatnya sering terjadi sopir menuruti kemauan
penumpang, ngebut dan ngebut yang seringkali pula menyebabkan timbulnya kecelakaan lalu lintas.
Keinginan kuat untuk mudik berlebaran
khususnya bagi mereka yang tinggal di Jakarta baik sebagai penduduk tetap
maupun musiman setiap tahunnya sudah menjadi rutin. Begitu kuat daya tarik
mudik Lebaran sampai-sampai orang tidak perduli lagi mau naik kendaraan apa,
terjamin apa tidak keamanannya, pokoknya bisa mudik.
Memang sulit untuk disalahkan atau pun dicela mereka yang akan mudik
meskipun repot sekali, baik bawaannya maupun repot karena membawa keluarga.
Hampir tidak masuk akal kalau kita melihat
dan merasakan betapa orang-orang yang
berpenghasilan kecil mengumpulkan uang
sedikit demi sedikit kemudian dibawa pulang pada saat menjelang hari Raya Idul
Fitri, dengan mengorbankan waktu, tenaga yang kadang-kadang menyengsarakan.
Contohnya di terminal bis Damri Kemayoran,
para calon penumpang berserakan di lantai, ada yang dua hari tahan menunggu
untuk dapat diberangkatkan ke kampung halamannya, mudik Lebaran.
Kita sering kagum begitu kuatnya tradisi
Lebaran di kampung berkumpul dengan sanak saudara bagi sebagian besar penduduk
Jawa. Hikmah dari peristiwa Lebaran setiap tahun memang tidak terbilang dan
tidak ternilai. Hampir semua lapisan masyarakat baik yang beragama Islam maupun
bukan mereka banyak memperoleh hikmat Ramadhan dan Idul Fitri. Tidak perlu
disebut satu per satu karena hampir semua orang telah tahu dan merasakannya.
Ada segi lain yang bisa kita ungkap, mereka
yang bukan beragama Islam pun banyak memanfatkan waktu-waktu begini untuk cuti
dan pulang kampung, bertemu sanak famili. Bahkan mungkin pada tahun-tahun
mendatang hari Lebaran merupakan hari di
mana setiap keluarga bisa
bersilaturakhmi berkumpul setahun sekali.
Lengang
Kalau perkiraan tahun ini penduduk
DKI Jakarta yang pulang mudik lebih dari sejuta orang dengan menggunakan
jasa bis, ditambah sekian ratus orang yang menggunakan kendaraan pribadi, kapal
terbang dan lain-lain, maka dapat dipastikan jalan-jalan di Ibukota akan
lengang pada saat hari Lebaran. Banyak perumahan yang kosong karena ditinggal
penghuninya mudik, banyak pula warung tegal (warteg) yang tutup, karena sebagian
besar dari mereka pulang mudik.
Barangkali kita bisa memperkirakan berapa jumlah uang dari Jakarta yang disedot mereka yang mudik
Lebaran. Hasil wawancara dengan beberapa orang yang akan mudik Lebaran di
terminal Damri Kemayoran, yang sebagian besar terdiri dari pedagang kecil, diperoleh data, umumnya
setiap kepala keluarga membawa sedikitnya Rp 60 ribu.
Seperti dituturkan Sodikin, pengemudi taksi
asal Tegal, ia membawa sekitar Rp 200 ribu untuk keperluan mudik Lebaran. Uang
itu berhasil dikumpulkannya sedikit demi sedikit, hasil menghemat dari
kelebihan yang didapatnya menarik taksi. Sodikin yang mengemudikan
taksi merek Toyota Corolla tahun ’76 itu mengaku bisa memperoleh hasil bersih
Rp 10 ribu bila hari sedang ramai penumpang.
Ia beruntung bisa membawa taksinya dengan bebas, asalkan bisa membawa
Rp 16 ribu untuk sewa siang dan malam
hari. ”Tetapi saya tidak mau ngoyo
Pak, dapat sepuluh ribu saja sudah pol,”ujar
pria yang sehari-hari di Jakarta tinggal di bilangan Mangga Besar itu
menambahkan.
Achmad, seorang penjahit pakaian di Pasar
Rumput mengaku bisa membawa uang lebih dari Rp 100 ribu untuk mudik Lebaran. Bujangn yang ingin mudik ke
Pekalongan itu berhasil mengumpulkan
uang meskipun katanya jumlah
jahitan yang diterimanya menurun dibandingkan tahun lalu. Biasanya Lebaran tahun lalu ia
dibantu empat orang, tetapi untuk Lebaran tahun ini cukup dengan satu
orang saja.
Nampaknya belum ada penelitian berapa setiap tahun uang dari DKI Jakarta
tersedot keluar pada saat orang ramai mudik berlebaran. Pemda DKI sendiri belum
pernah melakukan penelitian mengenai hal
tersebut. Namun kalau kita perhitungkan barangkali jumlahnya mencapai puluhan
atau ratusan miliar rupiah, atau mungkin bisa lebih.
Kalau sebagian besar penduduk Jakarta
pulang mudik, demikian pula penduduk musiman termasuk di dalamnya para abang
pengemudi becak, yang akhir-akhir ini sering secara demonstratif berada di
jalan-jalan raya, maka Jakarta akan sejenak
sepi dari orang-orang kecil yang umumnya mencari nafkah di kota
Metropolitan itu. Orang-orang yang sering dianggap mengotori kota, meskipun
peranan mereka di dalam pembangunan ini cukup besar.
Lepas dari masalah itu semua, diakui atau
tidak bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri banyak mengandung hikmah dan
mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang tertentu. Selamat Hari Raya Idul
Fitri 1405H, maaf lahir dan batin
(Mustofa A.S./dd)
Harian
Umum “AB”
20 Juni 1985
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.