Sunday 2 August 2015

Catatan ringan tentang angkutan bis lebaran



Yang penting sampai tujuan

    DUDUK di kursi empuk yang bisa disetel ke belakang sehingga posisi tubuh setengah berbaring atau disetel agar duduk kita tegak, sambil menonton film video atau mendengarkan musik merdu di dalam ruangan berhawa segar sebuah bis, belum semua orang bisa menikmatinya. Dengan kata lain belum semua orang bisa menikmati suatu perjalanan yang nyaman dengan angkutan umum seperti bis dan kereta api.
MENUNGGU DAN MENUNGGU: Apa mau dikata, jika memang tidak mampu berebut tempat di bis-bis yang baru memasuki terminal,  lebih baik menunggu kesempatan  sampai bisa naik bis dengan aman. Tetapi dengan menunggu maka bisa hilang kesabaran kita, karena bisa satu jam,  dua jam bahkan bisa  sampai hari berikutnya. Rekaman gambar ini memperlihatkan  beberapa calon penumpang di terminal  bis antarkota Pulo Gadung Jakarta yang harus menunggu dan menunggu karena  enggan berebut tempat dengan alasan  masing-,masing . (Foto:33/nt)***

    Masa sekarang jika Anda memiliki uang yang cukup dan berminat melakukan perjalanan jauh yang nyaman dengan bis, tinggal pilih tipe bis yang Anda sukai. Banyak perusahaan bis malam,  dengan jarak tempuh yang  yang cukup memakan waktu, berlomba memberikan pelayanan yang menarik. Dengan mengeluarkan uang Rp 14.000 Anda akan menikmati bis VIP untuk jarak tempuh Jakarta-Surabaya. Disebut VIP karena bis yang Anda naiki itu memiliki toilet, berhawa sejuk (AC) berkursi empuk dan bisa disetel, dilengkapi musik dan film video.

    Meskipun film video hanya disetel beberapa saat saja namun banyak pula calon penumpang ingin menikmati perjalanan panjang dengan menghabiskan waktu menonton video. Namun pada praktiknya lebih banyak penumpang yang tidur daripada berpayah-payah menikmati film yang terkadang kurang tepat disajikan kalau tidak boleh dibilang buruk.

   Selain bis VIP,  Anda bisa melakukan perjalanan dengan bis malam yang berhawa sejuk, berkursi empuk tegak, berfilm video tetapi tidak dilengkapi dengan toilet, hanya Rp 12.000 dengan jarak tempuh Jakarta-Surabaya. Kalau bis biasa, tanpa video tanpa AC tetapi ada musik cukup mengeluarkan uang Rp 9.000.

    Ketiga bis yang dipaparkan di atas itu masih tergolong bagus, artinya dalam perjalanan kita  bisa duduk, tanpa harus berdesakan. Lain halnya bila kita naik bis biasa, bis bumel, jangan  harap bisa menikmati perjalanan yang nyaman, meskipun nyaman itu relatif bagi setiap orang.

    Pada saat menjelang hari Lebaran dan sesudahnya seperti saat ini masalah kenyamanan bagi sebagian besar mereka yang “bernafsu” untuk mudik tentu bukan hal yang wajib. Karena jika hal itu menjadi patokan  maka jangan harap bisa menghemat, bahkan bisa-bisa keluarga yang akan dibawa tidak terbawa semuanya sebab harus membayar mahal.

    Kita ambil saja contoh di terminal antarkota  Pulo Gadung, rebutan tempat (bukan hanya kursi) di dalam bis hampir merupakan pemandangan  yang biasa di saat-saat membludaknya  calon penumpang di sana.

    Siapa kuat tentu mendapatkan tempat, tetapi bagi si lemah terpaksa menunggu kesempatan, kadang-kadang hampir putus asa untuk bisa mendapatkan bis.
    Bukan hanya di terminal Pulo Gadung saja, di stasiun-stasiun kereta api seperti Gambir dan Senen  orang pun harus berebut karcis dan tempat untuk bisa terbawa dalam perjalanan kereta api.

    Kembali kepada masalah angkutan bis antarkota, mereka yang telah mendapatkan tempat, meskipun berdiri dan berdesak-desakan pada saat yang demikian sudah merasa lega. Pokoknya terbawa, urusan keselamatan dan kenyamanan rasanya hanya soal nanti.
    Pengalaman naik bis untuk golongan kecil memang banyak segi-segi menariknya. Keringat yang bercucuran karena hawa panas dan padatnya penumpang, badan terasa kaku karena sulit bergerak, belum lagi kalau kita harus menunggu sekian lama karena kondektur harus berhitung dengan para calo- yang istilah resminya disebut sebagai perwakilan perusahaan bis, di agen-agen di luar terminal Pulo Gadung, misalnya di Cakung atau Bekasi.

    Jarang penumpang melancarkan protes, karena memang protes tidak akan merubah keadaan, bahkan kita bisa sakit hati kalau melancarkan suatu protes dalam keadaan demikian. Kita bisa disuruh turun atau dimaki-maki oleh para calo tersebut. Nah, apa mau dikata akhirnya yang namanya penumpang itu hanya pasrah walaupun kadang-kadang diperlakukan seenaknya.

Panjang akal
    Masalah tarip yang ditetapkan para calo itu juga tidak ada gunanya kita protes. Mereka cukup kuat untuk menaikkan tarip dengan cara mereka sendiri. Walaupun pemerintah tegas-tegas melarang kenaikan tarip untuk bis angkutan Lebaran.

    Akal para pengusaha angkutan (baca perwakilan perusahaan bis) cukup banyak. Untuk jarak jauh dijadikan sebagai patokan tarip. Misalnya bis jurusan Jakarta-Solo, setiap penumpang, walaupun pada hari-hari biasa membayar  sesuai dengan  tarip tujuan yang ditentukan, namun pada hari-hari angkutan Lebaran tarip jauh dekat sama.

    Bukan hanya bis jarak jauh yang menetapkan tarip rata-rata, bisa jarak dekat saja  seperti Jakarta- Cirebon pun ikut-ikutan menentukan tarip rata-rata. Akibatnya penduduk Sukamandi dan Karawang yang sehari-hari bekerja di Jakarta mengeluh dan mencari jalan lain untuk tidak terkena tarip rata-rata tersebut. ”Saya mesti naik tiga kali kendaraan untuk menghindari tarip rata-rata ini,”ujar seorang karyawan yang tinggal di Ciasem menuturkan, padahal biasanya ia hanya naik kendaraan sekali jalan kalau berangkat kerja.

    Kalau bis sudah berjalan dan kebetulan tidak macet, memang udara di dala  bis agak longgar karena tiupan angin yang kencang lewat celah-celah jendela yang terbuka. Kebut-kebutan saling menyalip kendaraan mulai berlangsung. Bagi mereka yang lemah jantung tentu saja khawatir. Tetapi rata-rata penumpang menginginkan kendaraan berjalan dengan cepat. Sopir yang tidak mau ngebut biasanya dimaki-,maki penumpang. Akibatnya sering terjadi sopir menuruti kemauan penumpang, ngebut dan ngebut yang seringkali pula  menyebabkan timbulnya  kecelakaan lalu lintas.

    Keinginan kuat untuk mudik berlebaran khususnya bagi mereka yang tinggal di Jakarta baik sebagai penduduk tetap maupun musiman setiap tahunnya sudah menjadi rutin. Begitu kuat daya tarik mudik Lebaran sampai-sampai orang tidak perduli lagi mau naik kendaraan apa, terjamin apa tidak keamanannya, pokoknya bisa mudik.

    Memang sulit untuk disalahkan  atau pun dicela mereka yang akan mudik meskipun repot sekali, baik bawaannya maupun repot karena membawa keluarga.

    Hampir tidak masuk akal kalau kita melihat dan merasakan  betapa orang-orang yang berpenghasilan  kecil mengumpulkan uang sedikit demi sedikit kemudian dibawa pulang pada saat menjelang hari Raya Idul Fitri, dengan mengorbankan waktu, tenaga yang kadang-kadang menyengsarakan.

    Contohnya di terminal bis Damri Kemayoran, para calon penumpang berserakan di lantai, ada yang dua hari tahan menunggu untuk dapat diberangkatkan ke kampung halamannya, mudik Lebaran.

    Kita sering kagum begitu kuatnya tradisi Lebaran di kampung berkumpul dengan sanak saudara bagi sebagian besar penduduk Jawa. Hikmah dari peristiwa Lebaran setiap tahun memang tidak terbilang dan tidak ternilai. Hampir semua lapisan masyarakat baik yang beragama Islam maupun bukan mereka banyak memperoleh hikmat Ramadhan dan Idul Fitri. Tidak perlu disebut satu per satu karena hampir semua orang telah tahu dan merasakannya.

    Ada segi lain yang bisa kita ungkap, mereka yang bukan beragama Islam pun banyak memanfatkan waktu-waktu begini untuk cuti dan pulang kampung, bertemu sanak famili. Bahkan mungkin pada tahun-tahun mendatang hari  Lebaran merupakan hari di mana setiap keluarga  bisa bersilaturakhmi berkumpul setahun sekali.

Lengang
    Kalau perkiraan tahun ini  penduduk  DKI Jakarta yang pulang mudik lebih dari sejuta orang dengan menggunakan jasa bis, ditambah sekian ratus orang yang menggunakan kendaraan pribadi, kapal terbang dan lain-lain, maka dapat dipastikan jalan-jalan di Ibukota akan lengang pada saat hari Lebaran. Banyak perumahan yang kosong karena ditinggal penghuninya mudik, banyak pula warung tegal (warteg) yang tutup, karena sebagian besar dari mereka pulang mudik.

    Barangkali kita bisa memperkirakan  berapa jumlah uang  dari Jakarta yang disedot mereka yang mudik Lebaran. Hasil wawancara dengan beberapa orang yang akan mudik Lebaran di terminal Damri Kemayoran, yang sebagian besar terdiri dari pedagang kecil, diperoleh  data, umumnya  setiap kepala keluarga membawa sedikitnya Rp 60 ribu.

    Seperti dituturkan Sodikin, pengemudi taksi asal Tegal, ia membawa sekitar Rp 200 ribu untuk keperluan mudik Lebaran. Uang itu berhasil dikumpulkannya sedikit demi sedikit, hasil menghemat dari kelebihan  yang didapatnya  menarik taksi. Sodikin yang mengemudikan taksi merek Toyota Corolla tahun ’76 itu mengaku bisa memperoleh hasil bersih Rp 10 ribu bila hari sedang ramai penumpang.

    Ia beruntung bisa membawa  taksinya dengan bebas, asalkan bisa membawa Rp 16  ribu untuk sewa siang dan malam hari. ”Tetapi saya tidak mau ngoyo Pak, dapat sepuluh ribu saja sudah pol,”ujar pria yang sehari-hari di Jakarta tinggal di bilangan Mangga Besar itu menambahkan.

    Achmad, seorang penjahit pakaian di Pasar Rumput mengaku bisa membawa uang lebih dari Rp 100 ribu untuk  mudik Lebaran. Bujangn yang ingin mudik ke Pekalongan itu berhasil mengumpulkan  uang meskipun katanya  jumlah jahitan yang diterimanya menurun dibandingkan tahun lalu. Biasanya Lebaran  tahun lalu ia  dibantu empat orang, tetapi untuk Lebaran tahun ini cukup dengan satu orang saja.

       Nampaknya belum ada penelitian  berapa setiap tahun uang dari DKI Jakarta tersedot keluar pada saat orang ramai mudik berlebaran. Pemda DKI sendiri belum pernah melakukan penelitian  mengenai hal tersebut. Namun kalau kita perhitungkan barangkali jumlahnya mencapai puluhan atau ratusan miliar rupiah, atau mungkin bisa lebih.

    Kalau sebagian besar penduduk Jakarta pulang mudik, demikian pula penduduk musiman termasuk di dalamnya para abang pengemudi becak, yang akhir-akhir ini sering secara demonstratif berada di jalan-jalan raya, maka Jakarta akan sejenak  sepi dari orang-orang kecil yang umumnya mencari nafkah di kota Metropolitan itu. Orang-orang yang sering dianggap mengotori kota, meskipun peranan mereka di dalam pembangunan ini cukup besar.

    Lepas dari masalah itu semua, diakui atau tidak bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri banyak mengandung hikmah dan mendatangkan kebahagiaan bagi orang-orang tertentu. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1405H, maaf lahir dan batin
(Mustofa A.S./dd)



Harian Umum “AB”
20 Juni 1985

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.