Sunday 2 August 2015

Operasi Yustisi di Monas



Kencing didenda Rp 10.000,- 

    INI KISAH benar-benar terjadi, seorang warga DKI H. Abdul Hamid, yang buang air kecil sembarangan di Taman Monas Jakarta Pusat Selasa malam, harus mengeluarkan uang Rp 10.000,- akibat perbuatannya itu. Kalau tidak bisa membayar maka pria gagah  bertubuh tinggi besar itu  harus meringkuk dalam kurungan selama 10 hari.

  
OPERASI YUSTISI: Dalam rangka penegakan Perda 3/1972 di kawasan Monas, Jakarta Pusat, dilakukan Operasi Yustisi. Tahap penindakan  telah dilakukan dan mulai Rabu para pelanggar Perda 3/1972 tentang Ketertiban Umum di DKI langsung diadili di tempat. Nampak seorang wanita yang dituduh  akan melakukan perbuatan asusila tengah diadili. (Foto:33).**


    “Saudara boleh tidak bayar denda, tetapi nanti dikasih makan dan tidur gratis,”kata hakim Soegianto kepada HA Hamid sesaat setelah menjatuhkan  putusan pada sidang pengadilan kilat di tempat pelanggar Perda DKI No.3 tahun 1972 yang berlangsung di kantor BP Monas Jakarta, Rabu.  Tentu saja pria yang mengaku bekerja sebagai pedagang itu memilih bayar Rp 10.000,-

    “Yah bayar di bendahara,”ujar hakim sambil mengangguk-angguk.

    HA Hamid menuturkan di sidang itu, ia sekitar pukul 21.45 WIB mendadak ingin buang air kecil.”Daripada jadi penyakit saya parkir mobil dan masuk ke Taman Monas,”ujarnya.

    Ia mengaku membuang air kecil di taman itu, namun  katanya belum mengetahui adanya  larangan kencing di  tempat tersebut.”Dulu-dulu kan tidak ada larangan Pak,”kata terdakwa setengah protes, yang langsung dijelaskan oleh hakim bahwa peraturan daerah itu telah lama disahkan pada tahun 1972, namun operasi di Monas baru sekarang ini.

   Hakim mengingatkan terdakwa bahwa orang dilarang kencing di sembarangan tempat, apalagi bagi umat Islam harus di tempat tertentu karena mesti dibersihkan dengan air.”Pakai daun kan bisa Pak, dan itu sudah saya lakukan,”kata terdakwa cepat.”Saudara pakai daun, ya syukur,” kata hakim manggut-manggut sambil mengingatkan kalau orang boleh kencing di sembarang tempat maka bisa menimbulkan kesusahan, makanya hal itu diatur melalui Perda 3/1972 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta.

    Simon dan Ibrahim Naang, dua petugas petugas ketertiban Monas, memergoki HA Hamid persis ketika ia sedang  buang air kecil.

    Menjawab pertanyaan hakim, Simon terus terang mengakui di sekitar tempat terdakwa kencing memang tidak ada  kamar kecil, tetapi di tempat lain di Taman Monas itu telah disediakan  kamar kecil khusus untuk keperluan tersebut.

    Hamid yang kekeberatan dipotret wartawan itu minta kepada hakim agar ia diberi peringatan saja untuk tidak melakukan perbuatan yang sama sekali lagi.”Dalam pasal tidak didapat hukuman peringatan, yang ada denda maksimaol Rp 50 ribu atau kurungan setinggi-tingginya  6 bulan,”jelas hakim Soegianto.

    Akhirnya terhukum  minta keringanan  dari tuntutan jaksa penuntut umum N. Marpaung yang meminta  agar terdakwa itu  dijatuhi hukuman denda Rp 15.000 subsider 2 minggu kurungan ditambah ongkos perkara Rp 500,-

    Hakim memberi putusan HA Hamid harus membayar dengan denda Rp 10.000 atau 10 hari kurungan ditambah ongkos perkara Rp 500,-

Kasihan
    Masih di tempat yang sama, hasil Operasi Yustisi di lingkungan kawasan Monas yang disidangkan kemarin, seorang karyawan yang tertangkap basah menjadi petugas parkir liar.
    Anggi Rushandi, karyawan Restoran Ayam Goreng Monas, Selasa malam kepergok petugas ketertiban Jakpus ketika sedang menerima Rp 200 dari pemilik mobil yang dibantunya keluar dari tempat parkir Jalan Silang Monas..

    Menurut penuturannya, ia baru saja  dari kamar kecil dan melihat sebuah mobil akan keluar dari tempat itu, karena dua petugas parkir yang biasa bertugas di sana  tidak nampak maka ia  mengambil inisiatif menolong mobil tersebut dengan mendapat imbalan dua lembaran uang ratusan.

“Saya memang bukan petugas Pak,” kata Anggi kepada hakim Soegianto.

“Bukan petugas kok ngurusi parkir, kan bukan urusan Saudara, apa Saudara dapat bagian?”tanya hakim.

“Kasihan Pak, dan saya tidak kebagian karena bekerja di restoran,”ujar Anggi yang mendapat giliran sidang yang pertama itu.

    Anggi membenarkan ketika hakim memperlihatkan barang bukti Rp 200.”Saudara tidak punya izin dari Gubernur jadi tidak berhak menerima uang ini,”ujar Soegianto sambil memperlihatkan uang tersebut. ”Terima uang kok kasihan,”sambungnya.

    Jaksa penuntut umum  Suhemi menuntut hukuman satu bulan kurungan dengan masa percobaan setahun karena dinilai pria bertubuh kecil itu telah melakukan penjagaan  kendaraan di depan restoran Monas dengan maksud  mendapatkan bayaran tanpa seizin Gubernur DKI.

    Dalam perbuatan itu yang meringankan terdakwa, terdakwa masih muda, belum pernah dihukum. Sedangkan yang memberatkan, perbuatan itu bisa mengurangi pendapatan retribusi Pemda DKI dan menurunkan citra aparat perparkiran.

   Terdakwa dituduh melanggar pasar 20 bab v Perda 3/1972 jo Perda5/1977, tentang Ketertiban Umum di DKI.

    Mendengar tuntutan jaksa, Anggi yang menyatakan belum mengetahui    macam apa hukuman percobaan itu langsung minta dibebaskan, setelah diberi penjelasan  oleh hakim Soegianto.”Minta keringanan boleh, berat juga boleh, kalau orang salah dibebaskan nanti kacau,” kata hakim menanggapi permintaan Anggi.

    Akhirnya Anggi harus menerima  hukuman kurungan 3 minggu dengan masa percobaan 6 bulan. Ia langsung menerima hukuman itu ditambah ia harus membayar ongkos perkara Rp 500,- sedangkan barang bukti Rp 200 disita untuk negara.

Bebas
    Sidang yang cukup menarik perhatian adalah sidang tersangka WTS liar. Di tempat yang sama tersangka Liah (20 tahun) akhirnya dibebaskan dari tuduhan berbuat asusia di Taman Monas, setelah sidang berlangsung selama 2 jam 20 menit.

    Hakim Soegianto menyatakan tidak sependapat dengan tuduhan jaksa N Marpaung yang menyatakan terdakwa berada di Taman Monas sekitar pukul 24.00 WIB dengan tingkah laku akan melakukan  perbuatan asusila.

    Perbuatan terdakwa yang menyurukkan kepalanya di paha seorang lelaki di dalam mobil minibus Selasa tengah malam itu, dipandang dapat menurunkan  derajat wanita, ujar penuntut umum.

    Liah dipergoki petugas ketertiban Bahrudin ketika ia sedang menyurukkan kepalanya  ke paha seorang lelaki di minibus.

    Di persidangan, Liah mengakui hal tersebut diperbuatnya karena ia takut kepada petugas keamanan yang mendatanginya. Katanya, ia baru tiga kali ke Taman Monas, dan pada malam naas tersebut ia sedang kesal karena ada masalah dengan calon suaminya sehubungan dengan surat yang ia terima  dari seorang wanita.

    Liah mengaku akan menikah seminggu lagi, ia kesal dimarahi kakaknya tempat ia menumpang di Petamburan. Akhirnya ia ke Monas mencari temannya Riska Anggraeni, wanita yang jadi saksi dalam perkara itu.

    Anggraeni yang mengaku lesbian itu kenal dengan Liah 6 bulan lalu. Ia juga menyatakan “naksir” dengan Liah, namun sudah lama tidak berjumpa.

    Anggraeni, menurut Liah pada malam itu menganjurkan  Liah untuk masuk ke mobil  karena ada petugas keamanan. Anjuran itu diturutinya dan di dalam mobil duduk seorang pria tua tetangga Liah.

    Meskipun hakim maupun jaksa begitu bersemangat mengorek keterangan dari Liah, namun gadis yang mengaku telah beberapa kali kawin namun belum menikah itu tetap pada keterangannya.

    Hakim mmemutuskan membebaskan wanita kecil bercelana blue jeans dan bersandal hitam itu dari segala tuduhan akan berbuat asusila.

    Pertimbangan hakim antara lain, ia belum mendapat keyakinan dalam tentang tuduhan jaksa  tersebut.”Banyak hal meragukan, khususnya dalam waktu dekat Liah akan nikah,”ujarnya. Sambil menambahkan, dipandang tepat bila tidak akan memperburuk keadaan karena rencana positip dari Liah untuk menikah dalam waktu dekat.

    Pada sidang kilat dalam rangka Operasi Yustisi itu seorang pedagang kakilima, Mujaeri,  diganjar hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan setahun, karena ia berdagang tidak di tempat yang telah ditetapkan Gubernur. Mujaeri terkena razia ketika sedang berjualan di depan stasiun kereta api Gambir sekitar pukul 20 WIB.

    Pengadilan kilat di tempat ini menurut Kepala Ketertiban Jakarta Pusat I.R. Manurung, akan diadakan setiap 10 hari sekali, sedangkan pengadilan  mengenai pelanggar Perda 3/1972 di Jakarta Pusat tetap dilaksanakan setiap hari Rabu di kantor Walikota Jakpus.

    Walikota Jakpus Abdul Munir dalam keterangan terpisah menjelaskan, kemungkinan pengadilan di tempat semacam di kawasan Monas itu akan diterapkan di tempat lain, misalnya di Pasar Baru, Pecenongan, karena di daerah-daerah itu sarananya boleh dibilang sudah tersedia
 (Mustofa AS/dd)




Harian Umum “AB”
Kamis, 26 Februari 1987

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.