Kencing
didenda Rp 10.000,-
INI
KISAH benar-benar terjadi, seorang warga DKI H. Abdul Hamid, yang buang air
kecil sembarangan di Taman Monas Jakarta Pusat Selasa malam, harus mengeluarkan
uang Rp 10.000,- akibat perbuatannya itu. Kalau tidak bisa membayar maka pria
gagah bertubuh tinggi besar itu harus meringkuk dalam kurungan selama 10
hari.
OPERASI
YUSTISI: Dalam rangka penegakan Perda 3/1972 di kawasan Monas, Jakarta Pusat,
dilakukan Operasi Yustisi. Tahap penindakan
telah dilakukan dan mulai Rabu para pelanggar Perda 3/1972 tentang
Ketertiban Umum di DKI langsung diadili di tempat. Nampak seorang wanita yang
dituduh akan melakukan perbuatan asusila
tengah diadili. (Foto:33).**
“Saudara boleh tidak bayar denda, tetapi nanti
dikasih makan dan tidur gratis,”kata hakim Soegianto kepada HA Hamid sesaat
setelah menjatuhkan putusan pada sidang
pengadilan kilat di tempat pelanggar Perda DKI No.3 tahun 1972 yang berlangsung
di kantor BP Monas Jakarta, Rabu. Tentu
saja pria yang mengaku bekerja sebagai pedagang itu memilih bayar Rp 10.000,-
“Yah bayar di bendahara,”ujar hakim sambil
mengangguk-angguk.
HA Hamid menuturkan di sidang itu, ia
sekitar pukul 21.45 WIB mendadak ingin buang air kecil.”Daripada jadi penyakit saya
parkir mobil dan masuk ke Taman Monas,”ujarnya.
Ia mengaku membuang air kecil di taman itu,
namun katanya belum mengetahui adanya larangan kencing di tempat tersebut.”Dulu-dulu kan tidak ada
larangan Pak,”kata terdakwa setengah protes, yang langsung dijelaskan oleh
hakim bahwa peraturan daerah itu telah lama disahkan pada tahun 1972, namun
operasi di Monas baru sekarang ini.
Hakim mengingatkan terdakwa bahwa orang
dilarang kencing di sembarangan tempat, apalagi bagi umat Islam harus di tempat
tertentu karena mesti dibersihkan dengan air.”Pakai daun kan bisa Pak, dan itu
sudah saya lakukan,”kata terdakwa cepat.”Saudara pakai daun, ya syukur,” kata
hakim manggut-manggut sambil mengingatkan kalau orang boleh kencing di
sembarang tempat maka bisa menimbulkan kesusahan, makanya hal itu diatur
melalui Perda 3/1972 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta.
Simon dan Ibrahim Naang, dua petugas
petugas ketertiban Monas, memergoki HA Hamid persis ketika ia sedang buang air kecil.
Menjawab pertanyaan hakim, Simon terus
terang mengakui di sekitar tempat terdakwa kencing memang tidak ada kamar kecil, tetapi di tempat lain di Taman
Monas itu telah disediakan kamar kecil
khusus untuk keperluan tersebut.
Hamid yang kekeberatan dipotret wartawan
itu minta kepada hakim agar ia diberi peringatan saja untuk tidak melakukan
perbuatan yang sama sekali lagi.”Dalam pasal tidak didapat hukuman peringatan,
yang ada denda maksimaol Rp 50 ribu atau kurungan setinggi-tingginya 6 bulan,”jelas hakim Soegianto.
Akhirnya terhukum minta keringanan dari tuntutan jaksa penuntut umum N. Marpaung
yang meminta agar terdakwa itu dijatuhi hukuman denda Rp 15.000 subsider 2
minggu kurungan ditambah ongkos perkara Rp 500,-
Hakim memberi putusan HA Hamid harus
membayar dengan denda Rp 10.000 atau 10 hari kurungan ditambah ongkos perkara
Rp 500,-
Kasihan
Masih di tempat yang sama, hasil Operasi
Yustisi di lingkungan kawasan Monas yang disidangkan kemarin, seorang karyawan
yang tertangkap basah menjadi petugas parkir liar.
Anggi Rushandi, karyawan Restoran Ayam
Goreng Monas, Selasa malam kepergok petugas ketertiban Jakpus ketika sedang
menerima Rp 200 dari pemilik mobil yang dibantunya keluar dari tempat parkir
Jalan Silang Monas..
Menurut penuturannya, ia baru saja dari kamar kecil dan melihat sebuah mobil
akan keluar dari tempat itu, karena dua petugas parkir yang biasa bertugas di
sana tidak nampak maka ia mengambil inisiatif menolong mobil tersebut
dengan mendapat imbalan dua lembaran uang ratusan.
“Saya
memang bukan petugas Pak,” kata Anggi kepada hakim Soegianto.
“Bukan
petugas kok ngurusi parkir, kan bukan urusan Saudara, apa Saudara
dapat bagian?”tanya hakim.
“Kasihan
Pak, dan saya tidak kebagian karena bekerja di restoran,”ujar Anggi yang
mendapat giliran sidang yang pertama itu.
Anggi membenarkan ketika hakim
memperlihatkan barang bukti Rp 200.”Saudara tidak punya izin dari Gubernur jadi
tidak berhak menerima uang ini,”ujar Soegianto sambil memperlihatkan uang
tersebut. ”Terima uang kok
kasihan,”sambungnya.
Jaksa penuntut umum Suhemi menuntut hukuman satu bulan kurungan
dengan masa percobaan setahun karena dinilai pria bertubuh kecil itu telah
melakukan penjagaan kendaraan di depan
restoran Monas dengan maksud mendapatkan
bayaran tanpa seizin Gubernur DKI.
Dalam perbuatan itu yang meringankan
terdakwa, terdakwa masih muda, belum pernah dihukum. Sedangkan yang
memberatkan, perbuatan itu bisa mengurangi pendapatan retribusi Pemda DKI dan
menurunkan citra aparat perparkiran.
Terdakwa dituduh melanggar pasar 20 bab v Perda 3/1972 jo Perda5/1977,
tentang Ketertiban Umum di DKI.
Mendengar tuntutan jaksa, Anggi yang
menyatakan belum mengetahui macam apa
hukuman percobaan itu langsung minta dibebaskan, setelah diberi penjelasan oleh hakim Soegianto.”Minta keringanan boleh,
berat juga boleh, kalau orang salah dibebaskan nanti kacau,” kata hakim
menanggapi permintaan Anggi.
Akhirnya Anggi harus menerima hukuman kurungan 3 minggu dengan masa
percobaan 6 bulan. Ia langsung menerima hukuman itu ditambah ia harus membayar
ongkos perkara Rp 500,- sedangkan barang bukti Rp 200 disita untuk negara.
Bebas
Sidang yang cukup menarik perhatian adalah
sidang tersangka WTS liar. Di tempat yang sama tersangka Liah (20 tahun) akhirnya
dibebaskan dari tuduhan berbuat asusia di Taman Monas, setelah sidang
berlangsung selama 2 jam 20 menit.
Hakim Soegianto menyatakan tidak sependapat
dengan tuduhan jaksa N Marpaung yang menyatakan terdakwa berada di Taman Monas
sekitar pukul 24.00 WIB dengan tingkah laku akan melakukan perbuatan asusila.
Perbuatan terdakwa yang menyurukkan
kepalanya di paha seorang lelaki di dalam mobil minibus Selasa tengah malam
itu, dipandang dapat menurunkan derajat
wanita, ujar penuntut umum.
Liah dipergoki petugas ketertiban Bahrudin
ketika ia sedang menyurukkan kepalanya
ke paha seorang lelaki di minibus.
Di persidangan, Liah mengakui hal tersebut
diperbuatnya karena ia takut kepada petugas keamanan yang mendatanginya.
Katanya, ia baru tiga kali ke Taman Monas, dan pada malam naas tersebut ia
sedang kesal karena ada masalah dengan calon suaminya sehubungan dengan surat
yang ia terima dari seorang wanita.
Liah mengaku akan menikah seminggu lagi, ia
kesal dimarahi kakaknya tempat ia menumpang di Petamburan. Akhirnya ia ke Monas
mencari temannya Riska Anggraeni, wanita yang jadi saksi dalam perkara itu.
Anggraeni yang mengaku lesbian itu kenal
dengan Liah 6 bulan lalu. Ia juga menyatakan “naksir” dengan Liah, namun sudah
lama tidak berjumpa.
Anggraeni, menurut Liah pada malam itu
menganjurkan Liah untuk masuk ke
mobil karena ada petugas keamanan.
Anjuran itu diturutinya dan di dalam mobil duduk seorang pria tua tetangga
Liah.
Meskipun
hakim maupun jaksa begitu bersemangat mengorek keterangan dari Liah, namun
gadis yang mengaku telah beberapa kali kawin namun belum menikah itu tetap pada
keterangannya.
Hakim mmemutuskan membebaskan wanita kecil
bercelana blue jeans dan bersandal hitam itu dari segala tuduhan akan berbuat
asusila.
Pertimbangan hakim antara lain, ia belum
mendapat keyakinan dalam tentang tuduhan jaksa
tersebut.”Banyak hal meragukan, khususnya dalam waktu dekat Liah akan
nikah,”ujarnya. Sambil menambahkan, dipandang tepat bila tidak akan memperburuk
keadaan karena rencana positip dari Liah untuk menikah dalam waktu dekat.
Pada sidang kilat dalam rangka Operasi
Yustisi itu seorang pedagang kakilima, Mujaeri, diganjar hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa
percobaan setahun, karena ia berdagang tidak di tempat yang telah ditetapkan
Gubernur. Mujaeri terkena razia ketika sedang berjualan di depan stasiun kereta
api Gambir sekitar pukul 20 WIB.
Pengadilan kilat di tempat ini menurut
Kepala Ketertiban Jakarta Pusat I.R. Manurung, akan diadakan setiap 10 hari sekali,
sedangkan pengadilan mengenai pelanggar
Perda 3/1972 di Jakarta Pusat tetap dilaksanakan setiap hari Rabu di kantor
Walikota Jakpus.
Walikota Jakpus Abdul Munir dalam
keterangan terpisah menjelaskan, kemungkinan pengadilan di tempat semacam di
kawasan Monas itu akan diterapkan di tempat lain, misalnya di Pasar Baru,
Pecenongan, karena di daerah-daerah itu sarananya boleh dibilang sudah
tersedia
(Mustofa AS/dd)
Harian
Umum “AB”
Kamis, 26 Februari 1987
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.