Sunday 2 August 2015

Akui Jemaatnya Tersangka Teror Tolikara,

Ketua GIDI Temui Presiden Jokowi

    Islamedia – Ketua GIDI Papua Lipiyus Biniluk, mengakui dua orang yang ditetapkan Tersangka oleh Polisi merupakan anggota jemaatnya.“Memang dua ini anggota GIDI. Mereka pemuda dan sudah dibawa ke Polda Papua,” ujarnya di Jakarta, Jumat (24/7/2015).    “Proses hukum yang akan membuktikan, karena data semua sudah ada,” tandasnya


    Terkait adanya peraturan daerah yang melarang pembangunan rumah ibadah, Lipiyus membenarkan hal tersebut. Ia berdalih, Perda itu dibuat sehubungan dengan adanya otonomi khusus Papua.
Untuk diketahui, sejumlah pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, pada Jumat (24/7/2015) setelah 2 orang jemaatnya ditetapkan sebagai tersangka tragedi teror di tolikara.[islamedia/YL]
 
http://islamedia.id/akui-jemaatnya-tersangka-teror-tolikara-ketua-gidi-temui-presiden-di-istana-merdeka/



Tolikara, Toleransi dan Permainan Media Sekuler

    Islamedia – Pihak, kelompok, ras termasuk agama apapun, takkan bisa dan takkan suka digeneralisasi gara-gara adanya oknum yang meresahkan ataupun berbuat hal yang amat memalukan. Tapi, ada saja orang-orang yang sukanya mem-blow up oknum agama tertentu (dalam hal ini Islam). Apalagi kalau ada orang Islam yang berbuat kesalahan, pasti berhari-hari akan jadi bulan-bulanan media sekuler.

    Masih hangat dalam ingatan kita, sebuah masjid di Kabupaten Tolikara, Papua dibakar. Tepat di hari raya paling mulia bagi umat islam di seluruh dunia. Pelakunya oknum dari agama yang minoritas di negeri ini, tapi menjadi mayoritas di Papua sana. Insiden memilukan beberapa waktu lalu itu, memang dilakukan oleh “oknum-oknum” gereja yang ternyata punya kerja sama dengan Zionis-Israel. MoU atau Perjanjian ini terkonfirmasi secara jelas di dalam website resmi GIDI Indonesia.

    Ramai-ramai beberapa media sekuler memihak kalangan Gereja. Terjadilah pengaburan dan penyesatan opini. Yang nyatanya dibakar itu masjid, dibilang musholla bahkan cuma sebuah kios. Yang menjadi korban adalah muslim Tolikara, dibilang ada sebagian pihak pembakar masjid yang mengalami luka tembak. Celakanya lagi, Imam masjid tersebut dicap Wahabi oleh Gusdurian, hanya gara-gara bahu membahu berdakwah dengan kawan-kawan Hidayatullah padahal sang imam masjid adalah warga Nahdliyin.

    Sekilas mungkin kedengaran fair-fair saja, mayoritas mendominasi yang minoritas. Normal. Tapi kalau dicermati lebih lanjut, jelas ini tidak fair. Mendominasi, harusnya bukan berarti menzalimi. Coba lihat muslim Papua dan muslim Rohingya, mereka sama-sama minoritas, mereka tidak dominan dan mereka dizalimi, dianiaya sampai sebegitunya. Bahkan Palestina yang mayoritas pun, bisa diusir dari tempat tinggalnya karena kebrutalan Zionis.

     Belum lagi kalau membicarakan muslim di Eropa yang jangankan dapat jatah libur hari raya dan kesempatan beribadah mingguan, hak untuk berhijab pun, seperti tak punya. Sudah tak terhitung berapa kali sahabat saya yang berhijab ditatap dengan wajah sinis dari kepala hingga ke kaki dalam perjalanannya ke Jenewa-swiss beberapa bulan lalu.

    Kembali ke topik utama. Muslim sudah biasa jadi bulan-bulanan media sekuler. Islam lah yang selalu dianggap menebarkan teror, padahal ‘mereka’ lah yang meledakkan gedung WTC-nya sendiri. Padahal mereka lah yang menciptakan dan membiayai “teroris” dari al-Qaeda, Boko haram hingga ISIS.

    Islam lah yang simbol-simbolnya dilecehkan dalam media-media, padahal tak ada yang tahu betapa menyakitkannya itu bagi kami. Lantas mana wujud toleransi untuk kami? Kami hanya butuh toleransi yang sederhana sekali. Yakni haknya untuk menjalankan keyakinannya, tanpa dihakimi, apalagi dizalimi seperti di Kabupaten Tolikara.

    Tak usah berkoar-koar tentang ide toleransi dihadapan Kami. Toh kami sudah diajari sedari dulu tentang apa dan sejauh mana toleransi beragama itu. Yaitu Lakum diinukum wa liya diin: Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

     Sekedar perbandingan antara Pak Harto dan bapak Jokowi. Dikutip dari status facebook Mas Ipan (fadh ahmad arifan). Pada tahun 1995 saat Muslim bosnia dizalimi militer Serbia, Pak Harto kirim dana dan senjata. Adapun tahun 2015 saat Muslim Tolikara dizalimi oleh Gereja injili, Jokowi entah kemana. Sekali lagi, kami minta aparat kepolisian segera menangkap pelaku pembakaran masjid, tegakkan hukum!. Jangan karena oknum dari pihak gereja injili dibekingi Zionis Israel lantas aparat jadi segan kepadanya.

Deden Fathurrahman:Wirausahawan di bidang Desain Komunikasi Visual, Alumnus ITS Surabaya



Insiden Tolikara dan Toleransi Beragama

Ahad 2 Syawal 1436 / 19 Juli 2015


Oleh: Agastya Harjunadhi
Presiden Aliansi Pemuda Islam Indonesia (APII)

    NSIDEN yang terjadi di Musala Baitul Mustaqin di Kabupaten Tolikara, Papua, yang terjadi pada pelaksanaan salat Idul Fitri 1436 H, Jumat (17/7) pagi, telah mencoreng kehidupan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Hal ini sangat disesalkan karena lagi-lagi umat Islam menjadi korban.

    Sebagai warga negara Indonesia, kita telah sepakat bahwa negeri ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan yang memiliki makna “berbeda-beda namun tetap satu jua” ini tentu memiliki kontekstualitas yang tanpa batas selama dalam koridor konstitusi bernegara yakni yang dibangun berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sekaligus yang dijiwai oleh Piagam Djakarta 22 Juni 1945, sebagaimana pengakuan sekaligus pengesahan oleh Soekarno sendiri, Presiden pertama RI dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang NKRI “…Bahwa kami berkejakinan bahwa piagam djakarta tertanggal 22 djuni mendjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut..” .

    Dalam pasal 29 UUD jelas di pasal (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

    Disebutkan perulangan setelah tercantum dalam Preambule UUD 1945, Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini memberikan isyarat penguatan bahwa negara kita adalah negara yang mengakui asas kehidupan berketuhanan. Kehidupan yang menjamin agama-agama yang diakui agar bebas menjalankan sesuai syariat masing-masing. Maka dapat disimpulkan insiden Tolikara telah melanggar konstitusi hukum yang dijunjung tinggi di Negara hukum Indonesia ini.

    Selain itu, insiden Tolikara juga melanggar nilai moral dan etis bangsa timur yang terkenal santun, tenggang rasa, saling menghormati dan beradab.

    Kini toleransi di Indonesia tercoreng kembali. Kasus penyerangan, pembubaran ibadah, pembakaran masjid umat Islam yang dilakukan oleh pihak Gereja Injil di Indonesia (GIDI) atau oknum di Kabupaten Tolikora, membuat umat Islam terusik. Tindakan tidak beradab itu dilakukan justru ketika umat Islam merayakan hari raya dan sedang menjalankan Ibadah agamanya. Insiden ini sangat sensitif karena bernada sentimen agama.

    Kami hanya ingin mengajak segenap umat kristian berempati kepada umat Islam, ketika anda di gereja sedang ibadah lalu ada sekelompok orang membubarkan dan membakar gereja anda, bagaimana perasaan anda? Tak hanya tempat ibadah tapi juga harta benda pribadi serta asset anda dijarah dan dibakar, bagaimana perasaan anda?

     Sebagai warga Negara Indonesia yang taat hukum, segenap hati kami meminta agar seluruh elemen bangsa menjunjung tinggi hukum Negara kita. Kita juga harus menjaga harkat dan martabat bangsa yang rukun damai penuh toleransi sebagai bentuk pribadi yang beradab.

    Maka sungguh adalah pribadi yang tidak beradab, bagi mereka yang menginginkan kerusuhan dan perpecahan bangsa. Dan orang-orang yang menggerogoti kerukunan, keutuhan dan persatuan NKRI inilah musuh kita bersama, musuh bangsa dan Negara.

    Tanpa kecuali terkait insiden ini, seruan segenap kami adalah meminta aparat hukum memproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia dan diberikan sanksi jera.

    Selain itu, sebagai bentuk komitmen dan itikad baik dalam menjaga toleransi antar umat beragama, kami meminta pihak Dewan Gereja Indonesia (DGI) mendesak Gereja GIDI yang beraliran evangelista untuk meminta maaf kepada umat Islam Indonesia.

    Kami juga meminta Presiden RI, Jokowi dan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla untuk menangani secara serius insiden yang mengakibatkan kerugian bagi umat islam ini. Kami mendesak Jokowi dan JK menjadi ligamen penguat erat tali persatuan demi keutuhan bangsa Indonesia. Kami para generasi muda bangsa siap dengan komitmen tinggi untuk sinergi dalam kebaikan, membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, damai, beradab dan berkeadilan.

    Mari bersama-sama menjaga keutuhan bangsa Indonesia, menuju bangsa yang menegakkan secara utuh nilai-nilai Pancasila dan mentaati hukum sebagai bentuk penjagaan harkat dan martabat bangsa. Kita adalah satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sumber: Islampos.com, 19 Juli 2015

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.