Tuesday 26 May 2015

CATATAN DARI WISATA PERS KE JABAR DAN JATENG (1):

Pendatang ke Jakarta umumnya tak punya keterampilan
       OLEH MUSTOFA AS    WARTAWAN AB

Pengantar
Pemda DKI Jakarta akhir Nopember lalu mengadakan Karya Wisata Pers ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Wisata pers itu dimaksudkan terutama untuk mendapatkan gambaran dan keterangan  sekitar masalah kependudukan, khususnya melihat daerah asal pendatang yang banyak mengalir ke Jakarta. Wartawan HAB Mustofa AS yang sehari-hari bertugas di Pemda DKI mengikuti wisata pers tersebut sekaligus membuat catatan perjalanannya dalam tiga tulisan. Semoga bermanfaat.
Redaksi

    SALAH satu masalah yang dihadapi Pemda DKI Jakarta saat ini dan masa-masa mendatang adalah masalah perrtambahan penduduk. Setiap tahun rata-rata 4% terdiri dari 2,3% pertambahan penduduk secara alam i(kelahiran) dan 1,7% karena pendatang baru (urbanisasi) yang tercatat menetap di DKI Jakarta.

    Jumlah penduduk DKI saat ini diperkirakan lebih dari 7 juta jiwa masih ditambah lagi dengan penduduk musiman yang jumlahnya mencapai 600.000 orang dan sekitar 300.000 jiwa pendatang yang nglaju (pulang pergi).

    Sering dikemukakan oleh para pejabat Pemda DKI banyaknya pendatang yang ingin menetap di DKI antara lain disebabkan pesatnya pembangunan di DKI, lapangan kerja yang banyak dan tawaran-tawaran lain yang dapat “membius” orang-orang dari daerah lain di luar DKI Jakarta.

    Tidak menjadi masalah jika pendatang itu memiliki keterampilan dan bisa membuka lapangan kerja di Jakarta. Tetapi kebanyakan pendatang ke ibu kota biasanya  tanpa bekal keterampilan. Datang hanya untung-untungan mencari lowongan  kerja apa saja. Akibatnya jika pekerjaan tidak didapat pendatang itu bisa menjadi gelandangan, pengemis dan pekerja-pekerja lain yang oleh masyarakat banyak dianggap sampah.

    Pernah kota Jakarta dibuat tertutup bagi pendatang, namun nampaknya hal itu tidak bisa diterima, karena sebagai ibu kota negara, Jakarta milik seluruh bangsa Indonesia.

    Menurut data dari Dinas Kependudukan DKI, 80% pendatang berbekal pendidikan rendah (SD, SLTP) dan tidak memiliki keahlian/keterampilan.

    Dari sekitar 7 juta penduduk hanya  sekitar 1,45% yang bekerja, baik di sektor formal maupun non nformal. Sehingga rata-rata setiap orang Jakarta harus menghidupi sekitar 5 juiwa.

    Kepadatan penduduk DKI juga cukup tinggi, rata-rata 10.628 jiwa per kilometer persegi.Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta membawa dampak sosial di DKI Jakarta yang terkadang sulit diatasi, misalnya timbulnya gubuk-gubuk liar, penyerobotan tanah dan kesemrawutan lainnya. Gelandangan, pengemis dan WTS juga merupakan dampak negatif dari urbanisasi.


   Arus urbanisasi ke Jakarta antara lain disebabkan karena kurang tersedianya kerja di daerah. Ini menurut orang-orang pandai. Juga pembangunan yang cukup pesat di ibu kota menarik banyak orang untuk mencari kerja di DKI Jakarta.

    Untuk mendapatkan gambaran dan bahan-bahan informasi mengenai kependudukan, rombongan wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan di wilayah DKI Jakarta, akhir Nopember lalu melakukan karya wisata ke Semarang, Kabupaten Batang, Kotamadya Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cirebon dan Indramayu atas undangan Pemda DKI.

    Dari keterangan para pejabat setempat diketahui setiap kota memiliki masalah kependudukan, khususnya migrasi penduduk dari daerah lain. Masuknya penduduk kota lain ke kota-kota yang nampaknya bisa memberikan lapangan kerja merupakan satu segi dari masa;lah kependudukan lainnya seperti pelaksanaan program KB untuk menekan laju pertambahan penduduk.

KETERAMPILAN. Para WTS di Jabar diberikan bekal keterampilan sebelum dimasyarakatkan kembali di sasana rehabilitasi wanita Silih Asih, Palimanan, Cirebon.  Nampak mereka tengah belajar masak memasak (Foto:AB/17/dm)

    Dari masalah KB sampai penyediaan lapangan kerja di daerah menurut  para pejabat dari Pelita ke Pelita terus ditingkatkan, seluruh program untuk menyejahterakan rakyat dilaksanakan. Timbul pertanyaan mengapa masih banyak orang berurbanisasi ke Jakarta?

    Tentu saja jawabannya bisa bermacam-macam. Gubernur Jateng, H.M. Ismail berpendapat, masalah migrasi ini tidak bisa ditinjau dari satu segi saja, tetapi banyak kaitannya. Misalnya jangan semua kegiatan dipusatkan di Jakarta khususnya proyek-proyek pembangunan.

Gubernur Jateng H Ismail
    Sistem pengadaan barang juga jangan berpusat di Jakarta supaya pertumbuhan ekonomi di daerah berkembang sehingga menstimulir hasrat untuk tinggal di daerah.    “Usaha-usaha lain intinya buat rakyat betah tinggal di kampung halamannya,”ujar Ismail menguraikan mengenai berbagai upaya mengatasi kependudukan, tenaga kerja, termasuk perluasan usaha  dan pendidikan ketrampilan bagi penduduk Jawa Tengah yang kini berjumlah 26,6 juta lebih dengan laju pertumbuhan 1,6 % per tahun.

    Gubernur Jateng menegaskan, kalau ke Jakarta hanya untung-untungan  tanpa dibekali keterampilan, lebih baik tinggal di kampung, tetapi kalau memang yang bersangkutan memiliki keterampilan silahkan, katanya.

    Kotamadya Semarang tidak luput darii”serbuan” penduduk dari luar kota Semarang seperti dari Demak dan Mranggen. Mereka biasanya nglaju setiap hari sekitar 16.000 orang sedangkan jumlah keseluruhan mencapai 30.000 buruh per hari yang masuk ke Kotamadya Semarang, ujar Walikota Semarang Iman Suparto Tjakrayuda SH.

    Karena DKI maju dan banyak menawarkan hidup senang maka penduduk daerah lain urbanisasi ke Jakarta. Kalau pembangunan merata tidak ada yang lari dari kampungnya, ujar Walikota Semarang.

    Dikatakannya, ia telah mengimbau propinsi agar ruang gerak penduduk Semarang tidak hanya ke timur (Surabaya) dan ke barat (DKI Jakarta) tetapi juga ke Kalimantan dan lain-lainnya bisa melalui laut.”Barangkali banjir manusia ke DKI bisa dikurangi,”ujarnya menambahkan.

   Di Semarang berbagai upaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja dilakukan seperti Proyek Padat Karya Gaya Baru, pembinaan sektor informal lainnya.

    Seperti juga Semarang, Batang, Pekalongan, Brebes, Cirebon maupun Indramayu sama sekali tidak memiliki data, berapa penduduk daerah-daerah tersebut yang bekerja/datang ke Jakarta.”Belum sempat dipantau yang merantau ke Jakarta, tetapi percayalah tidak begitu banyak karena di desa-desa sudah banyak pekerjaan,”ujar Bupati Batang Drs.H.Sukirdjo menjawab pertanyaan wartawan.

    Usaha untuk mencegah mereka keluar daerah telah dilakukan antara lain mendidik para anak putus sekolah dengan keterampilan.”Banyak di antara mereka yang telah sukses menjadi kontraktor kelas Batang,”ujar Bupati Batang.

    Untuk mengisi kekosongan, para buruh tani pada saat menunggu pekerjaan mereka dipekerjakan di proyek padat karya gaya baru.

    Bupati Batang minta agar melaporkan  warga Batang jika kedapatan  di Jakarta sedang menggelandang. Apalagi mengaku-ngaku dari daereah Gringsing Batang, karena kemungkinan mereka bukan berasal dari desa potensial itu, tetapi dari Desa Kebun Dalam yang dulunya merupakan basis dari PKI. Sukirdjo memberikan nomor telepon rumah dan kantornya kepada wartawan untuk maksud tersebut.

    Djoko Prawoto, Walikotamadya Pekalongan juga menjelaskan, banyak penduduk Pekalongan yang membawa ikan dari Pelabuhan  Pekalongan ke Jakarta tetapi tidak menetap di Jakarta.”Kalau ke Jakarta boleh saja, tetapi harus trampil,”ujarnya.
    Di Pekalongan banyak pekerjaan yang bisa diusahakan  oleh penduduk misalnya membuat kerudung bordir dan lain-lainnya yang bisa diekspor ke Arab. Berbagai latihan keterampilan juga dilaksanakan di Pekalongan untuk memperluas usaha dan penyaluran tenaga kerja.

Lewat gunung
     Di Kabupaten Brebes bahkan tenaga dari Pemalang banyak yang bekerja di kota bawang ini.”Para pendatang ke Jakarta bukan hanya membebani Pemda DKI dan tidak mesti jadi beban,” ujar Sekwilda Brebes Drs. Solichin sambil menjelaskan pembangunan di DKI tidak akan jalan kalau di Jakarta hanya  terdiri dari penduduk asli. Buktinya tukang batu, tukang kayu, dan buruh-buruh lainnya berasal dari luar Jakarta.

    Kepala Kantor Sosial Brebes, Surajio bahkan menilai yang membuat arus urbganisasi deras adalah derasnya pembangunan di Jakarta, juga ulah wartawan yang menulis menimbulkan rangsangan orang-orang untuk datang ke Jakarta.”Ya kalau dari Brebes ke Yogya kan jauh harus lewat gunung segala, maka mereka ke Jakarta yang lebih dekat dari Brebes,”ujar Surajio menggambarkan mengapa orang memilih Jakarta untuk mencari kerja, faktor sejarah juga berpengaruh.

    Melarang orang untuk tidak bepergian ke Jakarta memang berat, ujar Surajio yang humoris itu.

    Kepala Biro Humas Pemda  Jateng Sukoyo G.menegaskan, permasalahan demi permasalahan seperti juga urbanisasi dan  masalah kependudukan lainnya adalah masalah kita bersama. Yang penting harus dipecahkan bersama pula.

    Di Kabupaten Cirebon, Jabar, tepatnya di Palimanan para wartawan diberi kesempatan meninjau sasana rehabilitasi wanita “Silih Asih”.
    Di tempat ini parta WTS dilatih keterampilan setiap angkatan 30 orang selama 3 bulan. Mereka umumnya para WTS yang terjaring dari kota-kota Jabar seperti Ciamis, Cianjur, Kotamadya Cirebon,  Majalengka, Kotamadya Bandung, Bogor.

     Selain dilatih keterampilan memasak, menjahit, merias, para WTS itu dibina juga mentalnya sebelum dikembalikan ke masyarakat.

    Kadinsos Kabupaten Cirebon, Masduki, mengaku banyak wanita tuna susila yang berasal dari daerah sekitar Cirebon tetapi mengaku dari Cirebon. Mereka yang dikembalikan oleh Dinas Sosial DKI ke Cirebon ternyata bukan orang-orang Cirebon.

    Masduki mengimbau Dinas Sosial DKI agar sebih selektif dalam meneliti asal para tuna karya, tuna wisma dan tuna-tuna lainnya yang akan diekmbalikan ke daerah asal, sehingga tidak merepotkan kantor dinas sosial di daerah. Karena harus mengurus orang-orang tersebut yang asal dipulangkan.”Akibatnya Cirebon kena getahnya,”katanya mengeluh.
    Ditegaskannya, tidak terdapat data mengenai wanita muda yang mencari nafkah ke Jakarta dan tidak ada yang mengatakan untuk menjadi WTS, ujarnya sengit menjawab pertanyaan wartawan sekitar banyaknya WTS yang mengaku berasal dari Cirebon.

    Karena itu para camat sekarang lebih selektif memberikan surat jalan kepada para wanita yang akan mengadu nasib ke  DKI.

    Kemajuan yang dicapai Kabupaten Cirebon ternyata mengundang pula urbanisasi dari daerah lain.. Misalnya saja dari hasil razia WTS April-Mei lalu terjaring 146 orang di sepanjang jalan protokol, namun dari jumlah tersebut hanya 20% dari Cirebon, sisanya dari Majalengka,  Kuningan, Brebes, dan lain-lainnya.

    Sekwilda Kabupaten Indramayu Drs H. Prawoto Sayuti mengungkapkan, setelah devaluasi banyak warga Indramayu yang mencari nafkah di Jakarta pulang kampung, apalagi setelah DKI dinyatakan bebas becak.

    Ia mengakui sudah sejak lama orang Indramayu dan Cirebon bekerja di Jakarta sebagai tukang becak,  karena bidang pertanian belum maju seperti sekarang.”Sulit mencari tenaga kerja pada musim menggarap sawah pada saat panen,”katanya.

    Mengenai pengakuan para WTS di Jakarta yang katanya  berasal dari Indramayu, Sekwilda mengakui, dulu angka perceraian di daerahnya cukup tinggi, sehingga banyak wanita muda ke Jakarta, juga banyak wanita muda dari daerah lain datang ke Jakarta.”Jadi tidak tepat jika Indramayu dikonotasikan dengan hal-hal negatif begitu,”ujarnya dengan nada keras.

    Dengan adanya kemajuan di berbagai bidang pembangunan apalagi Indramayu pernah mendapat penghargaan karena kemajuan yang dicapai, kini sedikit banyak telah berubah.“Perkawinan muda bisa juga dicegah, karena dimonitor terus,”tegasnya.

    Pemda-pemda di Jawa khususnya, masing-masing menghadapi masalah seperti yang dikeluhkan Pemda DKI yaitu urbanisasi. Karena itu pembangunan di berbagai bidang terus digalakkan di daerahnya masing-masing. Salah satu sasarannya agar mereka bisa hidup sejahtera di kampungnya sendiri.

   Sebagai gambaran selintas tulisan berikutnya mengemukakan sebagian dari usaha pemda-pemda tersebut. (Bersambung/dm)




Harian Umum AB
Senin, 15 Desember 1986

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.