Terhormat
Oleh: Mustofa AS
ANGGOTA DPRD Jatim dari
Partai Daulat Rakyat (PDR), Haruno Sumitro, Senin lalu diseret keluar dari
kantor DPRD Jatim oleh sekelompok kader PDR. Kalau saja tidak ada Serka Polisi
Sukardi dari Polsek Krembangan, barangkali anggota dewan yang juga Ketua DPW
PDR Jatim ini akan babak belur. Pasalnya, di luar gedung wakil rakyat itu telah
menghadang sejumlah kader yang tampak siap menghajar anggota terhormat itu. Kelompok kader PDR ini menilai Haruno
Sumitro tidak konstitusional menjadi anggota DPRD Jatim.
Masih sekitar DPRD, dalam
dua miggu terakhir ini juga terjadi kericuhan sekitar pelantikan para wakil
rakyat di sejumlah daerah. Misalnya, pelantikan DPRD tingkat II yang diwarnai
dengan unjuk rasa di Kodya Ujungpandang, Kodya Surabaya, DPRD Tingkat I DI
Yogyakarta, dan baku hantam pelantikan DPRD Tingkat I Jabar. Juga pelantikan
DPRD Jatim yang selain diwarnai demo juga interupsi. Dan, jangan lupa terjadi
pula unjuk rasa saat pelantikan DPRD DKI
Jakarta periode 1999-2004.
Perburuan mencari kehormatan
dengan menjadi yang terhormat (wakil
rakyat) yang terjadi di seluruh belahan
Nusantara banyak ditafsirkan secara naif. Maka, kenaifan pun terjadi di
mana-mana berkaitan dengan keanggotaan
DPRD. Bahkan, juga perburuan kursi di tingkat DPRRI.
Persoalan yang diangkat
umumnya masalah ketidakpuasan, rasa keadilan, dan rebutan kedudukan menyangkut pengangkatan sebagai wakil rakyat yang akan memperoleh sebutan yang terhormat itu. Mereka
saling sikut untuk memperoleh kedudukan yang selama Orde Baru memang sangat
menjanjikan itu.
Predikat yang terhormat
dalam peristiwa di atas menjadi tidak terhormat lagi karena diseret begitu saja sampai-sampai sang
polsisi berteriak,”Dia bukan maling.”
Menjadi terhormat yang
sesungguhnya ternyata sulit pada zaman
yang serba aneh ini. Ini gara-gara sebutan terhormat mengalami erosi dan
degradasi. Seperti juga nasib sebutan-sebutan kebanggaan lainnnya yang
mengalami degradasi, sebutan terhormat pun kini dapat diraih dengan rekayasa
(dalam pengertian negatif tentunya). Pemaksaan kehendak karena kepentingan
kelompok atau pribadi dalam meraih predikat yang terhormat pun menjadi mode.
Kehormatan semu kini ada di mana-mana. Kehormatan diperjualbelikan bagaikan
barang dagangan.
Banyak orang memburu
kehormatan tanpa kerja keras. Kehormatan bagi kalangan tertentu tidak lain dari
kedudukan yang tinggi. Apa pun jalan yang ditempuh untuk meraihnya, halal atau
haram, bukanlah soal, yang penting tercapai tujuan. Bagi lain kalangan,
kehormatan adalah harga diri dan berkaitan erat dengan hati nurani. Untuk apa
sebutan terhormat yang sebenarnya hanyalah basa-basi, sedang hati kecil
mengakui sebutan itu hanya semu belaka. Kehormatan yang tanpa kehormatan
sebenarnya.
Pada masa lalu untuk menjadi
wakil rakyat digunakan pula politik uang atau politik dagang, dan ternyata
sekarang pun masalah ini tidak dapat dilenyapkan. Maklum, kata orang, perilaku
demikian sudah membudaya. Modal yang dikeluarkan haruslah kembali dengan
labanya sekaligus, minimal kembali modal dan telah mengantongi predikat yang
terhormat.
Ketika arus KKN begitu
derasnya, maka para wakil rakyat pun banyak yang memperoleh keuntungan
finansial. Beberapa RUU bisa mulus menjadi UU dengan sejumlah sogokan kepada
mereka yang berpredikat terhormat itu, karena adanya pihak-pihak yang
berkepentingan. Masih patutkah mereka yang menerima uang sogok itu disebut
sebagai yang terhormat?
Harian Umum ABRI
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.