Thursday 2 April 2015

Teropong

                   

                               Terhormat

                                                     Oleh: Mustofa AS

     ANGGOTA DPRD Jatim dari Partai Daulat Rakyat (PDR), Haruno Sumitro, Senin lalu diseret keluar dari kantor DPRD Jatim oleh sekelompok kader PDR. Kalau saja tidak ada Serka Polisi Sukardi dari Polsek Krembangan, barangkali anggota dewan yang juga Ketua DPW PDR Jatim ini akan babak belur. Pasalnya, di luar gedung wakil rakyat itu telah menghadang sejumlah kader yang tampak siap menghajar anggota terhormat  itu. Kelompok kader PDR ini menilai Haruno Sumitro tidak konstitusional menjadi anggota DPRD Jatim.


     Masih sekitar DPRD, dalam dua miggu terakhir ini juga terjadi kericuhan sekitar pelantikan para wakil rakyat di sejumlah daerah. Misalnya, pelantikan DPRD tingkat II yang diwarnai dengan unjuk rasa di Kodya Ujungpandang, Kodya Surabaya, DPRD Tingkat I DI Yogyakarta, dan baku hantam pelantikan DPRD Tingkat I Jabar. Juga pelantikan DPRD Jatim yang selain diwarnai demo juga interupsi. Dan, jangan lupa terjadi pula unjuk rasa saat pelantikan  DPRD DKI Jakarta periode 1999-2004.

     Perburuan mencari kehormatan dengan menjadi  yang terhormat (wakil rakyat) yang terjadi di seluruh  belahan Nusantara banyak ditafsirkan secara naif. Maka, kenaifan pun terjadi di mana-mana berkaitan dengan  keanggotaan DPRD. Bahkan, juga perburuan kursi di tingkat DPRRI.

     Persoalan yang diangkat umumnya masalah ketidakpuasan, rasa keadilan, dan rebutan kedudukan  menyangkut pengangkatan  sebagai wakil rakyat yang akan  memperoleh sebutan yang terhormat itu. Mereka saling sikut untuk memperoleh kedudukan yang selama Orde Baru memang sangat menjanjikan itu.

     Predikat yang terhormat dalam peristiwa di atas menjadi tidak terhormat lagi  karena diseret begitu saja sampai-sampai sang polsisi berteriak,”Dia bukan maling.”

    Menjadi terhormat yang sesungguhnya ternyata sulit  pada zaman yang serba aneh ini. Ini gara-gara sebutan terhormat mengalami erosi dan degradasi. Seperti juga nasib sebutan-sebutan kebanggaan lainnnya yang mengalami degradasi, sebutan terhormat pun kini dapat diraih dengan rekayasa (dalam pengertian negatif tentunya). Pemaksaan kehendak karena kepentingan kelompok atau pribadi dalam meraih predikat yang terhormat pun menjadi mode. Kehormatan semu kini ada di mana-mana. Kehormatan diperjualbelikan bagaikan barang dagangan.

     Banyak orang memburu kehormatan tanpa kerja keras. Kehormatan bagi kalangan tertentu tidak lain dari kedudukan yang tinggi. Apa pun jalan yang ditempuh untuk meraihnya, halal atau haram, bukanlah soal, yang penting tercapai tujuan. Bagi lain kalangan, kehormatan adalah harga diri dan berkaitan erat dengan hati nurani. Untuk apa sebutan terhormat yang sebenarnya hanyalah basa-basi, sedang hati kecil mengakui sebutan itu hanya semu belaka. Kehormatan yang tanpa kehormatan sebenarnya.

     Pada masa lalu untuk menjadi wakil rakyat digunakan pula politik uang atau politik dagang, dan ternyata sekarang pun masalah ini tidak dapat dilenyapkan. Maklum, kata orang, perilaku demikian sudah membudaya. Modal yang dikeluarkan haruslah kembali dengan labanya sekaligus, minimal kembali modal dan telah mengantongi predikat yang terhormat.

     Ketika arus KKN begitu derasnya, maka para wakil rakyat pun banyak yang memperoleh keuntungan finansial. Beberapa RUU bisa mulus menjadi UU dengan sejumlah sogokan kepada mereka yang berpredikat terhormat itu, karena adanya pihak-pihak yang berkepentingan. Masih patutkah mereka yang menerima uang sogok itu disebut sebagai yang terhormat?



Harian Umum ABRI

Rabu, 8 September 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.