Friday 3 April 2015


 Para abang becak, selamat  datang  di Ibu Kota
    Selamat datang para Abang becak di Ibu Kota kita! Bang Yos telah memberi lampu hijau kepada Abang untuk mencari nafkah di Jakarta agar kesulitan hidup ini bisa sedikit dikurangi.

   Memang keberadaan Abang di kota Jakarta sudah lama tidak dikehendaki, peraturan daerah menetapkan hal itu. Karena keberadaan para Abang di DKI bisa mengurangi ketertiban umum, khususnya tertib lalu-lintas


    Tentunya pernyataan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengenai dibolehkannya becak-becak beroperasi lagi di Jakarta pada masa krisis ini sungguh merupakan angin segar bagi Abang dan pengusaha kecil-para majikan yang memiliki armada becak.

   Bagi Abang-abang, yang kini berada di Botabek dan mungkin juga di daerah lainnya, pernyataan orang nomor satu di jajaran Pemda DKI Jakarta itu memang merupakan peluang yang baik untuk diraih. Maklum sekarang ini di mana-mana  Abang susah mencari uang. Pada sebelum krisis moneter tarif yang Abang kenakan Cuma Rp 500 kini naik menjadi Rp 1.500 padahal jaraknya dari sebelum dan saat krtisis sama saja. Hal ini menyebabkan orang enggan naik becak Abang, masih lebih baik naik mikrolet atau ojeg yang selain lebih murah juga cepat. Inilah yang antara lain  yang menyulitkan para Abang untuk mencari uang di Botabek misalnya. Mungkin di Jakarta, yang kalau siang hari penduduknya lebih banyak, Abang bisa memperoleh penghasilan lebih baik.

Terpuji
    Pernyataan Sutiyoso ini tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun para pakar. Sebagian kalangan menilai kebijakan Sutiyoso memberi kelonggaran kepada abang becak untuk mencari nafkah di Jakarta selama masa sulit ekonomi merupakan tindakan terpuji, karena memberi kesempatan orang kecil untuk mendapatkan uang. Maklum perolehan masyarakat seperti abang becak saat ini menurun drastis.

    Kalangan lain menilai pernyataan Gubernur DKI itu bertentangan dengan Perda dan berakibat masuknya  becak-becak dari daerah-daerah lain, khususnya dari Botabek ke wilayah-wilayah DKI Jakarta, mumpung ada kesempatan terbuka. Padahal berdasarkan pengalaman dampak keberadaan becak di Jakarta sangatlah banyak, baik positif maupun negatif.

    Kalau kita berpegang pada Perda DKI Jakarta, jelas-jelas Ibu Kota merupakan daerah terlarang bagi becak-becak, ini tertuang dalam Perda3/1972 yang diperbaharui menjadi Perda No.11/1988 tentang Ketertiban Umum. Maka ada kalangan yang menilai seharusnya Perda 11/1988 dicabut dulu sebelum gubernur mengizinkan  becak-becak beroperasi di DKI.

    Ketika Ali Sadikin menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, becak-becak sudah dilarang beroperasi di Ibu Kota. Pihak aparat  Kamtib DKI selalu kucing-kucingan dengan para abang becak dan berlangsung bertahun-tahun  untuk menghapus becak-becak dari Jakarta. Memang ada tahapan untuk itu di antaranya melalui DBB (Daerahj Bebas Becak) yakni di jalan-jalan protokol dan jalan tertentu  para abang becak tidak boleh mengoperasikan becaknya di sana.

    Pada pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto (1991) barulah becak-becak bisa hilang dari peredaran di wilayah Ibu Kota. Untuk menghapus becak-becak dari kota Jakarta selain diperlukan biaya miliaran rupiah, juga pengorbanan yang besar dari para abang becak, majikan (pengusaha becak), bengkel, serta pemasok peralatan becak, juga para pengguna becak.

Rumpon
    Sebagai ilustrasi untuk menegakkan Perda tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta  dalam satu soal saja, yakni penghapusan kendaraan yang digerakkan dengan tenaga manusia (becak) sulitnya bukan main dan memerlukan waktu hampir dua puluh tahun lamanya, atau dalam jangka waktu  empat gubernur yakni Ali Sadikin, Tjokropranolo, R Soeprapto, dan Wiyogo Atmodarminto. Karena masalah yang dihadapi sebenarnya bukan hanya  masalah ketertiban umum semata tetapi juga  menyangkut tenaga kerja, urbanisasi, dan usaha kecil serta sejumlah aspek lain.

    Dulu becak-becak yang melanggar DBB ditangkap dan dibawa ke penampungan becak di Cakung, namun ada juga oknum aparat yang dapat mengeluarkan becak-becak tersebut dengan imbalan uang. Sehingga penertiban becak sering digunakan untuk mencari uang. Di sisi lain aparat ketertiban juga menertibkan  pengusaha perakit becak yang juga sulit ditemukan mengingat pekerjaan merakit becak bisa dilakukan di rumah-rumah tinggal.

    Penertiban kendaraan bebas polusi ini juga membuahkan rumpon-rumpon baru di Teluk Jakarta, karena becak-becak yang disita kemudian dijadikan rumpon, tempat bersarangnya ikan dan juga kerang hijau. Di samping itu protes paling keras dating dari para ibu yang tinggal di kompleks-kompleks permukiman karena merekalah yang sangat kehilangan karena sarana angkutan belanjaan yang biasa mereka pakai hilang. Kendaraan bajaj ternyata tidak bisa menggantikan peranan becak di jalan-jalan lingkungan.

Lengkap sudah
    Jika kita ingin menegakkan disiplin nasional seperti anjuran pemerintah yang dicanangkan dalam Gerakan Disiplin Nasional (GDN) keberadaan becak di Ibu Kota kemungkinan besar akan menurunkan  disiplin di bidang lalu-lintas yang sampai kini pun belum sepenuhnya tertib.

   Maka kebijakan ditempuh seperti yang dilakukan  Walikota Jakarta Utara untuk menempatkan becak-becak di kompleks-kompleks perumahan/permukiman mungkin suatu pemecahan  yang baik dari segi kemanusiaan. Sehingga jalan-jalan besar tidak terganggu dengan adanya becak-becak tersebut. Namun jumlah becak-becak juga harus dibatasi, jangan sampai bertumpuk seperti ojeg-ojeg yang mangkal di sejumlah mulut jalan yang kini juga menjadi masalah tersendiri.

   Apabila di suatu kompleks perumahan sudah dilayani mikrolet, bajaj, dan ojeg, dengan tambahan becak maka lengkaplah sudah sarana angkutan untuk warga kompleks tersebut, dan kemacetan akibat hal itu di sana mungkin tidak  terhindarkan lagi. Ini baru satu kompleks perumahan, bagaimana jika nanti ada sekian puluh kompleks yg juga serupa?  Ketidaktertiban lalu-lintas yang akhirnya  akan menjalar menjadi kemacetan yang lebih luas lagi tentu tak terhindarkan.

   Sementara pintu Jakarta telah dibuka untuk para abang becak, ada satu pertanyaan, apakah aparat Pemda DKI sudah siap menghadapi dampak dari keberadaan becak-becak yang kembali ke Ibu Kota?
(mustofa.as/3.3)



Harian Angkatan Bersenjata
Selasa, 30 Juni 1998Al ini menyebabkan orang enggan naik bgecak Abang, masih lebih baik naik mikrolet Hhhh

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.