Para abang becak, selamat datang di Ibu Kota
Selamat
datang para Abang becak di Ibu Kota kita! Bang Yos telah memberi lampu hijau
kepada Abang untuk mencari nafkah di Jakarta agar kesulitan hidup ini bisa
sedikit dikurangi.
Memang
keberadaan Abang di kota Jakarta sudah lama tidak dikehendaki, peraturan daerah
menetapkan hal itu. Karena keberadaan para Abang di DKI bisa mengurangi
ketertiban umum, khususnya tertib lalu-lintas
Tentunya pernyataan Gubernur DKI Jakarta
Sutiyoso mengenai dibolehkannya becak-becak beroperasi lagi di Jakarta pada
masa krisis ini sungguh merupakan angin segar bagi Abang dan pengusaha
kecil-para majikan yang memiliki armada becak.
Bagi Abang-abang, yang kini
berada di Botabek dan mungkin juga di daerah lainnya, pernyataan orang nomor
satu di jajaran Pemda DKI Jakarta itu memang merupakan peluang yang baik untuk
diraih. Maklum sekarang ini di mana-mana
Abang susah mencari uang. Pada sebelum krisis moneter tarif yang Abang
kenakan Cuma Rp 500 kini naik menjadi Rp 1.500 padahal jaraknya dari sebelum
dan saat krtisis sama saja. Hal ini menyebabkan orang enggan naik becak Abang,
masih lebih baik naik mikrolet atau ojeg yang selain lebih murah juga cepat.
Inilah yang antara lain yang menyulitkan
para Abang untuk mencari uang di Botabek misalnya. Mungkin di Jakarta, yang
kalau siang hari penduduknya lebih banyak, Abang bisa memperoleh penghasilan
lebih baik.
Terpuji
Pernyataan Sutiyoso ini tentu menimbulkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun para pakar. Sebagian kalangan
menilai kebijakan Sutiyoso memberi kelonggaran kepada abang becak untuk mencari
nafkah di Jakarta selama masa sulit ekonomi merupakan tindakan terpuji, karena
memberi kesempatan orang kecil untuk mendapatkan uang. Maklum perolehan
masyarakat seperti abang becak saat ini menurun drastis.
Kalangan lain menilai pernyataan Gubernur DKI
itu bertentangan dengan Perda dan berakibat masuknya becak-becak dari daerah-daerah lain,
khususnya dari Botabek ke wilayah-wilayah DKI Jakarta, mumpung ada kesempatan terbuka.
Padahal berdasarkan pengalaman dampak keberadaan becak di Jakarta sangatlah
banyak, baik positif maupun negatif.
Kalau kita berpegang pada Perda DKI Jakarta,
jelas-jelas Ibu Kota merupakan daerah terlarang bagi becak-becak, ini tertuang
dalam Perda3/1972 yang diperbaharui menjadi Perda No.11/1988 tentang Ketertiban
Umum. Maka ada kalangan yang menilai seharusnya Perda 11/1988 dicabut dulu
sebelum gubernur mengizinkan becak-becak
beroperasi di DKI.
Ketika Ali Sadikin menjabat sebagai gubernur
DKI Jakarta, becak-becak sudah dilarang beroperasi di Ibu Kota. Pihak
aparat Kamtib DKI selalu kucing-kucingan
dengan para abang becak dan berlangsung bertahun-tahun untuk menghapus becak-becak dari Jakarta.
Memang ada tahapan untuk itu di antaranya melalui DBB (Daerahj Bebas Becak)
yakni di jalan-jalan protokol dan jalan tertentu para abang becak tidak boleh mengoperasikan
becaknya di sana.
Pada pemerintahan Gubernur DKI Jakarta
Wiyogo Atmodarminto (1991) barulah becak-becak bisa hilang dari peredaran di
wilayah Ibu Kota. Untuk menghapus becak-becak dari kota Jakarta selain
diperlukan biaya miliaran rupiah, juga pengorbanan yang besar dari para abang
becak, majikan (pengusaha becak), bengkel, serta pemasok peralatan becak, juga
para pengguna becak.
Rumpon
Sebagai
ilustrasi untuk menegakkan Perda tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta dalam satu soal saja, yakni penghapusan
kendaraan yang digerakkan dengan tenaga manusia (becak) sulitnya bukan main dan
memerlukan waktu hampir dua puluh tahun lamanya, atau dalam jangka waktu
empat gubernur yakni Ali Sadikin, Tjokropranolo, R Soeprapto, dan Wiyogo
Atmodarminto. Karena masalah yang dihadapi sebenarnya bukan hanya masalah ketertiban umum semata tetapi
juga menyangkut tenaga kerja,
urbanisasi, dan usaha kecil serta sejumlah aspek lain.
Dulu becak-becak yang melanggar DBB
ditangkap dan dibawa ke penampungan becak di Cakung, namun ada juga oknum
aparat yang dapat mengeluarkan becak-becak tersebut dengan imbalan uang.
Sehingga penertiban becak sering digunakan untuk mencari uang. Di sisi lain
aparat ketertiban juga menertibkan
pengusaha perakit becak yang juga sulit ditemukan mengingat pekerjaan
merakit becak bisa dilakukan di rumah-rumah tinggal.
Penertiban kendaraan bebas polusi ini juga membuahkan
rumpon-rumpon baru di Teluk Jakarta, karena becak-becak yang disita kemudian
dijadikan rumpon, tempat bersarangnya ikan dan juga kerang hijau. Di samping
itu protes paling keras dating dari para ibu yang tinggal di kompleks-kompleks
permukiman karena merekalah yang sangat kehilangan karena sarana angkutan
belanjaan yang biasa mereka pakai hilang. Kendaraan bajaj ternyata tidak bisa
menggantikan peranan becak di jalan-jalan lingkungan.
Lengkap sudah
Jika
kita ingin menegakkan disiplin nasional seperti anjuran pemerintah yang
dicanangkan dalam Gerakan Disiplin Nasional (GDN) keberadaan becak di Ibu Kota
kemungkinan besar akan menurunkan
disiplin di bidang lalu-lintas yang sampai kini pun belum sepenuhnya tertib.
Maka kebijakan ditempuh seperti yang
dilakukan Walikota Jakarta Utara untuk
menempatkan becak-becak di kompleks-kompleks perumahan/permukiman mungkin suatu
pemecahan yang baik dari segi
kemanusiaan. Sehingga jalan-jalan besar tidak terganggu dengan adanya
becak-becak tersebut. Namun jumlah becak-becak juga harus dibatasi, jangan
sampai bertumpuk seperti ojeg-ojeg yang mangkal di sejumlah mulut jalan yang
kini juga menjadi masalah tersendiri.
Apabila di suatu kompleks perumahan sudah
dilayani mikrolet, bajaj, dan ojeg, dengan tambahan becak maka lengkaplah sudah
sarana angkutan untuk warga kompleks tersebut, dan kemacetan akibat hal itu di
sana mungkin tidak terhindarkan lagi.
Ini baru satu kompleks perumahan, bagaimana jika nanti ada sekian puluh
kompleks yg juga serupa? Ketidaktertiban
lalu-lintas yang akhirnya akan menjalar
menjadi kemacetan yang lebih luas lagi tentu tak terhindarkan.
Sementara pintu Jakarta telah dibuka untuk
para abang becak, ada satu pertanyaan, apakah aparat Pemda DKI sudah siap
menghadapi dampak dari keberadaan becak-becak yang kembali ke Ibu Kota?
(mustofa.as/3.3)
Selasa, 30 Juni 1998
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.