Friday 24 April 2015

Pelantikan Ngumpet BG sebagai Wakapolri


23 Apr 2015, Pelantikan Budi Gunawan menjadi Wakil Kapolri


MIMBAR-RAKYAT.com (Jakarta) – Komjen Budi Gunawan (BG) sudah dilantik sebagai Wakapolri, Rabu (22/4). Terkesan sebagai pelantikan ngumpet, karena hanya dihadiri sekelompok kecil pati Polri dalam upacara sangat singkat di salah satu ruang Mabes Polri , tertutup bagi wartawan.

BG pun meninggalkan pelantikan melalui pintu lain yang membuat terhindar dari wartawan. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri dipercepat menjadi Rabu (22/4/2015) sore. Pada awalnya, acara pelantikan tersebut dijadwalkan digelar Kamis (23/4/2015).

Menurut Badrodin,semula direncanakan digelar Kamis  karena rangkaian proses pemilihannya baru selesai pada Rabu pagi . Surat pemberitahuan pada Presiden Joko Widodo juga baru ditanda tangani dan dikirim kepada Menteri Sekretaris Negara.

“. Tapi besok kegiatan saya penuh sehingga tidak memungkinkan,” kata Badrodin, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu malam.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menilai, pelantikan terhadap BG sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden Joko Widodo. Sebab, kata dia, sampai saat ini dugaan korupsi terhadap jenderal bintang itu masih belum clear.

Menurutnya, alasan pembatalan pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu sebagai Kapolri beberapa waktu lalu adalah karena aspek hukum dan sosiologis. Dua aspek itu saat ini masih berlaku. Sebab, kata dia, secara hukum perkaranya belum jelas dan juga publik yang masih menolak BG.

“Jadi telah terjadi pelecehan oleh Polri atau tidak mengindahkan wibawa presiden,” kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/4).

Menyadari situasi ini  maka pelantikan yang tiba-tiba dan terkesan “ngumpet” memang menjauhkan dari kontroversi yang bisa kembali merebak.

Dalam Pasal 57 ayat (1) Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara RI mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua ke atas atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.

Pelantikan Ngumpet
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno menilai pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri  tidak perlu ada yang dipermasalahkan .

“Kan sudah disetujui oleh internal, inilah pimpinan saya (Polri),” kata Tedjo, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (22/4/2015).

Tedjo menuturkan, dirinya yakin Kapolri telah melaporkan terpilihnya Budi Gunawan sebagai Wakapolri kepada Presiden Joko Widodo. Badrodin mengakui ia menyampaikan pelantikan itu kepada Presiden pada hari ( pelantikan) Rabu itu juga. Ia juga tidak sependapat jika pelantikan tersebut dianggap tergesa dan ditutup-tutupi, atau “ngumpet”. (ais)


Komjen Polisi Budi Gunawan Resmi Dilantik Menjadi Wakil Kapolri 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komjen Budi Gunawan (BG) telah dilantik dan resmi menjabat sebagai wakil kapolri, Rabu (22/4). Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menilai, pelantikan terhadap BG sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden Joko Widodo.

Menurutnya, alasan pembatalan pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu sebagai kapolri beberapa waktu lalu adalah karena aspek hukum dan sosiologis. Dua aspek itu saat ini masih berlaku. Sebab, kata dia, secara hukum perkaranya belum jelas dan juga publik yang masih menolak BG.

"Jadi telah terjadi pelecehan oleh Polri atau tidak mengindahkan wibawa presiden," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/4).

Pembatalan pelantikan BG sebagai kapolri secara tidak langsung adalah untuk menjaga institusi kepolisian diisi oleh orang-orang yang bersih. Sebab, kata dia, sampai saat ini dugaan korupsi terhadap jenderal bintang itu masih belum clear.

Dalam Pasal 57 ayat (1) Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara RI mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua ke atas atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.

"Pertanyaannya apakah Kapolri Badrodin sudah konsultasi dengan Jokowi," ujar dia.

Aktivis: Pelantikan BG Tak Sesuai dengan Sistem Administrasi Negara

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Masyarakat Antikorupsi Yogyakarta menilai mekanisme pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia tidak sesuai dengan sistem administrasi negara yang ada.

Hal itu disampaikan Masyarakat Antikorupsi Yogyakarta yang terdiri atas beberapa elemen antara lain Pusat Kajian Antikorupsi, Jogja Police Watch (JPW), Indonesia Court Monitoring, dan Seknas Gusdurian dalam jumpa pers di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.

"Dalam konteks pelantikan Budi Gunawan (BG) terjadi proses insubkoordinasi dalam sistem administrasi negara kita," kata Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu.

Menurut Tri, seharusnya sesuai pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan perwira tinggi bintang dua ke atas yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.

Prosedur itu, kata dia, sesuai dengan Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tantang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Sedangkan pengangkatan BG sebagai Wakapolri ditentukan sendiri oleh internal Polri tanpa konsultasi pada Presiden yang sedang sibuk mengurus Konferensi Asia Afrika (KAA)," kata dia.

Sementara itu, Koordinator Jogja Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba mengatakan pengangkatan BG sebagai Wakapolri jangan sampai terbukti memiliki indikasi intervensi partai politik. Kebijakan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Sebab, kata dia, status BG sebagai tersangka hingga saat ini masih belum benar-benar hilang. Sementara putusan praperadilan, kata dia, tidak secara otomatis menghilangkan status tersangka BG sebab belum ada surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Apalagi, Presiden juga sebelumnya telah membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri karena status hukum jenderal bintang tiga itu masih dianggap bermasalah. "Bahkan saat ini gelar perkara kasus BG di Polri belum dilakukan tetapi BG sudah dilantik menjadi Wakapolri," kata dia.
Sumber:republika.co.id, Jumat, 24 April 2015

Jokowi Diminta Tolak BG sebagai Wakapolri

Jakarta - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Wakapolri.

Peneliti MaPPI, Dio Ashar Wicaksana menyatakan, Jokowi membatalkan pelantikan BG sebagai kapolri karena adanya polemik di tengah masyarakat. Hal yang sama seharusnya menjadi pertimbangan Jokowi menolak nama Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) itu sebagai Wakapolri.

"Kami meminta Presiden Jokowi tidak menyetujui nama BG apabila nantinya Kepolisian memilih nama BG sebagai calon wakapolri. Kami meminta konsistensi dari sikap Presiden. Presiden membatalkan pelantikan BG sebagai kapolri karena adanya polemik di masyarakat. Sudah seharusnya, beliau juga tidak sepakat jika nama BG diajukan sebagai calon wakapolri," kata Dio dalam siaran pers yang diterima SP, Selasa (7/4).

Dio menyatakan lembaga kepolisian seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang integritas dan kualitasnya dinilai baik. Dio menilai praperadilan BG yang dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) tidak otomatis berarti yang bersangkutan (BG) terbebas dari sangkaan tindak pidana korupsi.

Sebab, hakim Sarpin yang memimpin sidang praperadilan hanya mendelegitimasi kewenangan KPK mengusut kasus BG. "Isi putusan Sarpin Rizaldi tidaklah memutuskan BG sama sekali tidak melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, isi putusannya hanyalah mendelegitimasi kewenangan KPK terhadap pemeriksaan perkara BG," katanya.

Untuk itu, Dio meminta Kapolri yang baru tidak lagi mengajukan nama BG sebagai calon wakapolri. Menurutnya, Kapolri memilik hak menolak nama yang diusulkan oleh Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri. "Kami meminta kapolri yang baru untuk tidak mengajukan nama BG sebagai calon wakapolri," tegasnya.

Setelah batal dilantik sebagai kapolri, muncul kabar BG diusulkan menjadi Wakapolri. Usulan tersebut disampaikan sejumlah fraksi DPR kepada Presiden Jokowi saat rapat konsultasi Senin
Sumber: Beritasatu.com/Suara Pembaruan


Ini Jawaban Kapolri soal Sertijab Wakapolri yang Tertutup

 
Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti (Antara/Widodo S.Jusuf) 

Jakarta - Kapolri Jenderal Badrodin mengatakan dirinya sama sekali tidak berniat melakukan upacara serah terima jabatan (sertijab) Wakapolri Komjen Budi Gunawan (BG) di Mabes Polri, Rabu (22/4), secara tertutup.

"Ceritanya itu ini adalah buah dari sebuah proses yang serbacepat. Awalnya saya berniat menggelar sertijab pada Kamis (23/4) ini. Sertijab yang terbuka dihadiri ibu-ibu Bhayangkari, lengkap, dengan media seperti biasanya. Tapi, ternyata, saya sudah ada jadwal paparan hari ini," kata Badrodin kepada Beritasatu.com, Kamis (23/4) pagi.

Karena itu, dia lalu berniat menggeser acara ke Kamis sore, tetapi lagi-lagi dia terbentur dengan rangkaian acara peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) karena harus berangkat ke Bandung, Jawa Barat.

"Saya akan menginap di Bandung sampai Jumat. Sampai Jakarta Jumat sore sehingga mustahil akan dilakukan sertijab dan pasti baru bisa minggu depan. Itu tentu terlalu lama, karena maunya cepat, ya sudah, saya putuskan Rabu siang itu," tambahnya.

Karena digelar mendadak itu, Badrodin melanjutkan, maka diputuskan acara digelar di lantai dua Gedung Rupatama yang memang sempit, tidak seluas aula Rupatama yang biasanya dipakai sebagai acara sertijab. Karena ruangan yang sempit, jumlah tamu yang diundang terbatas.

Saat ditanya mengapa informasi keterpilihan BG hasil rapat Wanjakti juga ditutupi, Badrodin menjawab,"Karena memang baru clear pada Rabu pagi saat saya berkirim surat pada menteri sekretariat negara. Kan tidak tepat mengumumkan sesuatu yang belum clear," ujar Badrodin.

Untuk itu, masih kata mantan Kapolda Jawa Timur itu, dirinya meminta maaf jikalau terkesan acara sertijab BG terkesan tertutup dan mengesampingkan media yang biasa meliput di lingkungan Mabes Polri.

"Sekali lagi, bukan maksud saya begitu. Jadi tolong dipahami ya. Harapan kita setelah ini kinerja Polri bisa lebih cepat lagi untuk melayani masyarakat. Soliditas internal juga meningkat," lanjutnya.

Memang, meski telah dibantah namun informasi soal proses pemilihan wakapolri saat ini memang jauh lebih tertutup dibanding proses pemilihan sejumlah wakapolri di masa lalu, di mana informasi pada media saat itu mengalir lancar. Misalnya saja dalam proses pemilihan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Komjen Oegroseno, dan Komjen Nanan Soekarna, ketika itu semua informasi dipasok pada media untuk dipublikasikan secara luas.

Bahkan warna-warni bunga ucapan selamat memenuhi halaman Mabes Polri dihari pelantikan mereka. Sementara aneka makanan disajikan bagi jamuan para tamu. Namun ini semua itu tak ada di hari pelantikan BG.

Situasi yang serbatertutup dan tidak lazim ini mengingatkan saat sertijab Kabareskrim dari Komjen Suhardi Alius kepada Komjen (saat itu masih Irjen) Budi Waseso yang berlangsung 19 Januari lalu. Sertijab ini digelar hanya beberapa jam setelah Surat Perintah Kapolri Nomor 124/I/2015 tertanggal 19 Januari 2015 yang ditandatangani Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti dikeluarkan.

Padahal, berdasarkan pengalaman sebelumnya, sertijab digelar 2-3 hari, atau bahkan 1-2 minggu, setelah surat perintah dikeluarkan. Saat itu Badrodin juga beralasan yang sama, yakni sertijab sebenarnya tidak tertutup, tapi karena sertijab berlangsung di lantai dua gedung Rupatama yang sempit, maka tidak bisa menampung semua tamu, termasuk media.

Untuk diketahui, Suhardi waktu itu diganti secara mendadak dengan aroma tuduhan telah berkhianat kepada intitusi. Dia dianggap bekerja sama dengan KPK dan tidak melindungi BG dari bidikan KPK.
Sumber: Beritasatu.com, Kamis, 23 April 2015








Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik



Jumat, 24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Hakim Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.

"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.

Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.

"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.

Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.

"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.

Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.





Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik



Jumat, 24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Hakim Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.

"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.

Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.

"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.

Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.

"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.

Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.





Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik



Jumat, 24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Hakim Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.

"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.

Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.

"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.

Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.

"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.

Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.





Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik



Jumat, 24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Hakim Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.

"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.

Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.

"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.

Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.

"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.

Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.