Friday 3 April 2015

Teropong

       

                        Pak Tua
                                                         Oleh: Mustofa AS

     LEWAT tengah malam, suasana sunyi. Seorang lelaki tua duduk bersimpuh di ujung sajadahnya sambil sesenggrukan, menangis. Sesekali ia bersujud, kemudian menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajahnya yang di sana-sini tampak keriput. Dadanya terasa sesak. Kedua tangannya perlahan diangkat tinggi-tinggi. Dari matanya yang tampak buram, meneteslah bulir-bulir air mata yang bening.


     Dari mulutnya keluar suara lirih,”Ya Allah yang Mahatahu segala sesuatu, aku mohon ampunanMu atas segala yang kuperbuat. Dengan kasihMU, berilah kesempatan dalam sisa hidupku ini untuk kuisi dengan kebaikan dan amalan. Aku bertobat, ya Allah.”

     Sambil menyeka air mata dengan ujung kain sarungnya, lelaki yang dulu dipuja-puja oleh kaumnya itu mengadukan suasana batinnya kepada Sang Maha Pencipta.”Ya Allah dulu ketika aku menjadi pemimpin hampir semua orang memuji-muji kepemimpinan dan kepiawaianku. Sehingga, aku menjadi mabuk kekuasaan yang ternyata menjerumuskanku ke lembah kehinaan. Aku banyak andil dalam mewariskan berbagai keburukan yang kini dirasakan banyak orang. Kini aku baru sadar, ya Allah. Orang-orang yang selama ini dekat denganku bukan karena mereka setia atau tulus tetapi semata-mata hanya karena ada kepentingan.”

     Sejenak ia diam, membersihkan hidungnya dari ingus. “Ya Allah, hanya kepadaMu-lah aku mengadu dan mohon pertolongan. Ya Rabbi, mereka yang dulu mendukungku dan menjilatku habis-habisan kini ramai-ramai menghinaku dan keluargaku, serta melupakan kebaikan-kebaikanku walaupun hanya sedikit. Seakan  yang kuperbuat selama menjadi pemimpin hanyalah keburukan saja.”

     “Ya Allah, aku bersimpuh mengakui segala kekhilapan. Aku telah banyak mengelabui mata rakyat, menipu mereka,  dan mengambil hak-hak mereka secara paksa. Tapi ya Allah, aku tidak membela diri. Namun, di balik kerakusan yang aku lakukan ternyata banyak yang mengambil manfaat. Bahkan, para penjilat mendorongku supaya melakukan berbagai keburukan itu. Dan, kini mereka berbalik arah menuduhku rakus, serakah, dan sebutan-sebutan lain yang tidak pantas ditujukan kepada orang setuaku,”keluhnya.

     “Ya Allah, orang-orang dekatku berkhianat.  Ketika aku senang mereka sangat dekat, tetapi ketika diriku jatuh mereka berbalik dan menudingku sebagai orang yang bejat. Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari jiwa pengecut dan penindasan oleh manusia. Sehatkanlah jasmani dan rohaniku. Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Engkau,”sambungnya.

     Pak tua yang rambutnya putih semua itu melanjutkan doanya.”Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari fitnah yang kejam. Dan, aku memohon keridaanMu , kelapangan hidup setelah mati, dan kenikmatan memandang wajahMu.”

     Sejenak ia diam dan mengusap air matanya yang turun deras. ”Tuhanku, tolonglah aku, dan jangan biarkan diriku terpuruk. Lindungilah aku dan keluargaku dari kenistaan hidup di dunia dan siksaan hidup di akhirat. Semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan  kita Nabi Muhammad saw, keluarga, dan para sahabatnya. Amin ya rabbal alamin!”

     Pak tua itu pun dengan tertatih-tatih menuju kamarnya, lalu merebahkan badannya di atas pembaringan. Hatinya merasa lega karena telah mencurahkan ganjalan yang menyesakkannya. Dan, malam nan kelam pun menitikkan embun keharuan.


Harian Umum ABRI

Jumat, 3 September 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.