Pak Tua
Oleh: Mustofa AS
LEWAT
tengah malam, suasana sunyi. Seorang lelaki tua duduk bersimpuh di ujung
sajadahnya sambil sesenggrukan,
menangis. Sesekali ia bersujud, kemudian menelungkupkan kedua telapak tangannya
di wajahnya yang di sana-sini tampak keriput. Dadanya terasa sesak. Kedua
tangannya perlahan diangkat tinggi-tinggi. Dari matanya yang tampak buram,
meneteslah bulir-bulir air mata yang bening.
Dari mulutnya keluar suara lirih,”Ya Allah
yang Mahatahu segala sesuatu, aku mohon ampunanMu atas segala yang kuperbuat.
Dengan kasihMU, berilah kesempatan dalam sisa hidupku ini untuk kuisi dengan
kebaikan dan amalan. Aku bertobat, ya Allah.”
Sambil menyeka air mata dengan ujung kain
sarungnya, lelaki yang dulu dipuja-puja oleh kaumnya itu mengadukan suasana
batinnya kepada Sang Maha Pencipta.”Ya Allah dulu ketika aku menjadi pemimpin
hampir semua orang memuji-muji kepemimpinan dan kepiawaianku. Sehingga, aku
menjadi mabuk kekuasaan yang ternyata menjerumuskanku ke lembah kehinaan. Aku
banyak andil dalam mewariskan berbagai keburukan yang kini dirasakan banyak
orang. Kini aku baru sadar, ya Allah. Orang-orang yang selama ini dekat
denganku bukan karena mereka setia atau tulus tetapi semata-mata hanya karena
ada kepentingan.”
Sejenak ia diam, membersihkan hidungnya
dari ingus. “Ya Allah, hanya kepadaMu-lah aku mengadu dan mohon pertolongan. Ya
Rabbi, mereka yang dulu mendukungku dan menjilatku habis-habisan kini
ramai-ramai menghinaku dan keluargaku, serta melupakan kebaikan-kebaikanku
walaupun hanya sedikit. Seakan yang kuperbuat
selama menjadi pemimpin hanyalah keburukan saja.”
“Ya Allah, aku bersimpuh mengakui segala
kekhilapan. Aku telah banyak mengelabui mata rakyat, menipu mereka, dan mengambil hak-hak mereka secara paksa.
Tapi ya Allah, aku tidak membela diri. Namun, di balik kerakusan yang aku
lakukan ternyata banyak yang mengambil manfaat. Bahkan, para penjilat
mendorongku supaya melakukan berbagai keburukan itu. Dan, kini mereka berbalik
arah menuduhku rakus, serakah, dan sebutan-sebutan lain yang tidak pantas
ditujukan kepada orang setuaku,”keluhnya.
“Ya Allah, orang-orang dekatku berkhianat.
Ketika aku senang mereka sangat dekat,
tetapi ketika diriku jatuh mereka berbalik dan menudingku sebagai orang yang
bejat. Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari jiwa pengecut dan penindasan oleh
manusia. Sehatkanlah jasmani dan rohaniku. Tiada Tuhan yang patut disembah
kecuali Engkau,”sambungnya.
Pak tua yang rambutnya putih semua itu
melanjutkan doanya.”Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari fitnah yang kejam.
Dan, aku memohon keridaanMu , kelapangan hidup setelah mati, dan kenikmatan
memandang wajahMu.”
Sejenak ia diam dan mengusap air matanya
yang turun deras. ”Tuhanku, tolonglah aku, dan jangan biarkan diriku terpuruk.
Lindungilah aku dan keluargaku dari kenistaan hidup di dunia dan siksaan hidup
di akhirat. Semoga salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw,
keluarga, dan para sahabatnya. Amin ya rabbal alamin!”
Pak tua itu pun dengan tertatih-tatih
menuju kamarnya, lalu merebahkan badannya di atas pembaringan. Hatinya merasa
lega karena telah mencurahkan ganjalan yang menyesakkannya. Dan, malam nan
kelam pun menitikkan embun keharuan.
Harian
Umum ABRI
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.