Pesangon
Oleh: Mustofa AS
DALAM kehidupan berpolitik acapkali kita dibuai dengan kata-kata, istilah ataupun
jargon dan slogan. Kata-kata atau istilah yang kita gunakan ini juga
banyak masuk dalam perbendaharaan kamus politik. Bahkan, istilah hukum,
filsafat, dan bahasa kasar (sarkasme) tak lagi tabu dalam percaturan politik
negeri ini.
Deretan kata-kata yang terkadang
membuai itu terus bertambah. Ada istilah
politik jadi panglima, rakyat jelata,
miris, gebuk, mencuri start, tuding-menuding, curiga-mencurigai, bentrok, mikul
duwur mendem jero, penggembosan, recall, mbalelo, demokrasi, dan hak asasi
manusia (HAM). Kemudian ada pelecehan,
arogansi, KKN, provokasi, , provokator, propaganda, kampanye, , obral janji,
somasi, politik uang (money politics), power sharing, political will, rapat
gelap, operasi fajar, rapat setengah
kamar, tim sukses, sampai sumpah pocong dan banyak lagi. Silakan Anda isi
sendiri.
Media massa juga banyak andil dalam
menyebarluaskan istilah-istilah atau bahasa politik yang digunakan para
petualang politik kita. Apalagi saat ini
begitu bebas orang menggunakan kata-kata
atau isitilah untuk kepentingan politik yang dianutnya. Perkosaan massal
misalnya, digunakan untuk memojokkan umat Islam yang mayoritas di negeri ini, juga karena kepentingan politik kelompok
tertentu.
Para
politikus kita juga suka dengan bahasa atau istilah yang diperhalus hingga
maknanya menjadi kabur. Hidup sederhana,
kepentingan umum, penyesuaian tarif adalah contoh-contoh pembodohan
terhadap khalayak kita oleh para pemimpin kita yang bergelimang dalam politik. Mereka itu asal ngomong alias asbun (asal
bunyi).
Ada istilah yang dipakai oleh kalangan
khusus terutama di pemerintahan, yakni masa
bakti, misalnya masa bakti anggota
DPRD dan masa bakti bupati.
Berbakti mengandung pengertian adanya pengabdian, suatu tugas yang mulia. Abdi Negara, abdi rakyat adalah istilah
yang tepat bagi seseorang yang menjalankan tugas mulia. Yakni, mencurahkan
tenaga dan pikirannya untuk negara dan rakyat. Dan, ini tidak etis kalau
dinilai dengan uang.
Hari-hari belakangan ini santer disoroti
mengenai masa bakti anggota DPRD dan DPRRI 1997-1999 (dikorting 3 tahun) yang
berakhir dan segera berakhir. Karena, sebagian besar DPRD baru di kabupaten
maupun kodya telah dilantik. Satu hal yang menarik adalah patut tidaknya
anggota DPRRI itu menerima uang pesangon. Masalah uang pesangon bagi angggota DPRD di seluruh
Indonesia rasanya sudah tuntas. Mereka telah menerimanya dengan jumlah yang
bervariasi. Alhamdulillah, bisa membayar kredit dari Bank Pembangunan Daerah.
Pro dan kontra para pakar mengenai
kepatutan para angggota Dewan menerima pesangon dari pemerintah pun bergulir. Pertanyaannya,
siapakah angggota DPRRI itu? Apakah mereka itu abdi dari pemerintah atau abdi
rakyat? Siapakah majikan mereka? Rakyat atau pemerintah? Karena, pesangon
sebesar Rp 150 juta per orang yang akan mereka terima, berasal dari pemerintah
dan entah dari pajak rakyat atau hasil utang.
Masalah uang pesangon ini merupakan salah
satu bentuk dari kebiasaan sebagian besar masyarakat kita yang sudah
kemasukan contoh dari para elite politik dan pemimpin kita di masa lalu. Segala persoalan selalu berkaitan atau
dikaitkan dengan uang yang membentuk lingkaran setan. Pegawai yang sudah digaji
memungut uang tak resmi (pungutan liar) dalam melayani masyarakat. Anggota DPR
yang telah digaji memperoleh uang transport ketika meninjau suatu objek, ketika
sidang memperoleh uang sidang, dan untuk mempercepat suatu RUU menjadi UU konon
juga mereka memperoleh uang. Jadi pro dan kontra mengenai uang pesangon itu
nanti tinggal kenangan. Karena, saya yakin, uang pesangon itu akan tetap
diberikan kepada mereka, yang katanya telah bekerja keras dan berjasa dalam
kedudukannya sebagai wakil rakyat.
Harian
Umum ABRI
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.