Sunday 30 November 2014

Teropong

                                  Dusta


                                                    Oleh: Mustofa AS


    SEORANG gembala kambing berteriak-teriak memanggil orang sekampung karena ia dikejar seekor macan. Maka, berkumpullah orang sekampung dan sibuk mencari sang macan yang membikin orang ketakutan itu. Usut punya usut ternyata  sang macan tak ditemukan, dan bubarlah orang sekampung tadi. Dan, beberapa hari kemudian kejadian serupa berulang. Si gembala dengan teriakan ketakutan menyebut-nyebut seekor macan yang katanya siap menerkamnya.


Orang sekampung pun berkumpul kembali siap untuk membantai sang macan. Tetapi, kali ini pun sang macan tak ditemukan, dan bubarlah orang sekampung itu dengan menggerutu. Suatu hari  si gembala kembali berteriak-teriak memanggil orang sekampung, tapi kali ini tak satu pun orang kampung itu mau keluar rumah. Mereka merasa jengkel telah dobohongi oleh si gembala. Padahal, kali ini si gembala benar-benar ketakutan  karena sang macan itu benar-benar datang dan menerkamnya.

     Kisah di atas dituturkan oleh Kang Jalal, intelektual dan dai kondang dari Jabar, pada suatu kesempatan. Kesimpulan dari kisah itu, kebohongan akan melunturkan dan bahkan menghilangkan kepercayaan. Bahkan, kebohongan bisa mencelakakan pelakunya.

     Kini di zaman yang terbilang modern, berbagai kebohongan dengan kemasan yang indah-indah merupakan makanan kita sehar-hari. Mau atau tidak mau kebohongan terkadang harus kita telan bulat-bulat.

    Kebohongan bisa disengaja ataupun sebaliknya. Disengaja karena kebohongan ini memiliki suatu tujuan atau kepentingan tertentu. Biasanya kebohongan model ini berkaitan dengan politik. Politik uang juga salah satu bentuk kebohongan. Karena, di dalamnya bertumpuk-tumpuk masalah dusta yang direkayasa.

     Untuk menutupi kebobrokan suatu departemen misalnya, seorang menteri tak segan-segan berbuat bohong. Bahkan, kebohongan itu diliput oleh media massa, dibaca dan disaksikan oleh jutaan pasang mata. Jika kebohongan itu ditularkan lagi melalui komunikasi antarmanusia, maka jadilah kebohongan itu berlipat ganda. Celakanya, bila kebohongan itu dipercaya sebagai suatu kebenaran, tak tahulah apa jadinya.

     Kebohongan tidak selalu negatif bila dilihat dari sudut kepentingan orang-orang tertentu, yang kerjanya memang mengelola kebohongan. Kebohongan atau dusta sudah menjadi komoditas, sebagai mata pen-caharian. Anda pasti tidak percaya tapi ini nyata adanya. Kedustaan yang direkayasa disebarluaskan melalui media massa. Dan, bagi media massa, ini berita besar yang enak ditelan dan kemudian disiarkan untuk mendustai pembaca.

    Dalam beberapa hari hasil kebohongan itu sudah berbentuk laporan yang langsung dikirimkan ke lembaga pemberi dana. Maka, cairlah dana sekian miliar rupiah sebagai  jerih payah mengobral kebohongan dan menipu masyarakat, yang dilakukan oleh lembaga sekelompok masyarakat (LSM). Sang pemimpin LSM itu tersenyum puas, uang dapat, nama menjadi beken, dan undangan bertubi-tubi seperti layaknya seorang selebriti.

     Kebohongan melahirkan ketidakpercayaan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Ketidakpercayaan kalangan masyarakat timbul akibat kebohongan yang dilakukan secara sistematis, berulang-ulang, vulgar, dan juga terkadang sadistis. Pemerintahan masa lalu juga melakukan  berbagai kebohongan atau tindakan serupa yang intinya sama. Sehingga, ketika kebebasan bergulir timbullah ketidakpercayaan terhadap kerja yang dilakukan pemerintah, meskipun mungkin kerja tersebut benar. Apriori inilah yang sekarang merebak, merebak, dan merebak. Apalagi di tengah banyaknya kalangan yang tidak percaya itu, timbul kasus-kasus besar yang juga diduga penuh rekayasa dusta. Maka, lengkaplah sudah ketidakpercayaan akibat dusta yang merajalela.


Harian Umum ABRI
Jumat, 13 Agtustus 1999




                                   

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.