Dusta
Oleh: Mustofa AS
SEORANG gembala kambing
berteriak-teriak memanggil orang sekampung karena ia dikejar seekor macan.
Maka, berkumpullah orang sekampung dan sibuk mencari sang macan yang membikin
orang ketakutan itu. Usut punya usut ternyata sang macan tak ditemukan, dan bubarlah orang
sekampung tadi. Dan, beberapa hari kemudian kejadian serupa berulang. Si
gembala dengan teriakan ketakutan menyebut-nyebut seekor macan yang katanya
siap menerkamnya.
Orang sekampung pun berkumpul kembali siap untuk membantai
sang macan. Tetapi, kali ini pun sang macan tak ditemukan, dan bubarlah orang
sekampung itu dengan menggerutu. Suatu hari
si gembala kembali berteriak-teriak memanggil orang sekampung, tapi kali
ini tak satu pun orang kampung itu mau keluar rumah. Mereka merasa jengkel
telah dobohongi oleh si gembala. Padahal, kali ini si gembala benar-benar
ketakutan karena sang macan itu
benar-benar datang dan menerkamnya.
Kisah di atas dituturkan oleh Kang Jalal,
intelektual dan dai kondang dari Jabar, pada suatu kesempatan. Kesimpulan dari
kisah itu, kebohongan akan melunturkan dan bahkan menghilangkan kepercayaan.
Bahkan, kebohongan bisa mencelakakan pelakunya.
Kini di zaman yang terbilang
modern, berbagai kebohongan dengan kemasan yang indah-indah merupakan makanan
kita sehar-hari. Mau atau tidak mau kebohongan terkadang harus kita telan
bulat-bulat.
Kebohongan bisa disengaja
ataupun sebaliknya. Disengaja karena kebohongan ini memiliki suatu tujuan atau
kepentingan tertentu. Biasanya kebohongan model ini berkaitan dengan politik.
Politik uang juga salah satu bentuk kebohongan. Karena, di dalamnya
bertumpuk-tumpuk masalah dusta yang direkayasa.
Untuk menutupi kebobrokan
suatu departemen misalnya, seorang menteri tak segan-segan berbuat bohong. Bahkan,
kebohongan itu diliput oleh media massa, dibaca dan disaksikan oleh jutaan
pasang mata. Jika kebohongan itu ditularkan lagi melalui komunikasi
antarmanusia, maka jadilah kebohongan itu berlipat ganda. Celakanya, bila
kebohongan itu dipercaya sebagai suatu kebenaran, tak tahulah apa jadinya.
Kebohongan tidak selalu
negatif bila dilihat dari sudut kepentingan orang-orang tertentu, yang kerjanya
memang mengelola kebohongan. Kebohongan atau dusta sudah menjadi komoditas,
sebagai mata pen-caharian. Anda pasti tidak percaya tapi ini nyata adanya.
Kedustaan yang direkayasa disebarluaskan melalui media massa. Dan, bagi media
massa, ini berita besar yang enak ditelan dan kemudian disiarkan untuk
mendustai pembaca.
Dalam beberapa hari hasil
kebohongan itu sudah berbentuk laporan yang langsung dikirimkan ke lembaga
pemberi dana. Maka, cairlah dana sekian miliar rupiah sebagai jerih payah mengobral kebohongan dan menipu
masyarakat, yang dilakukan oleh lembaga sekelompok masyarakat (LSM). Sang
pemimpin LSM itu tersenyum puas, uang dapat, nama menjadi beken, dan undangan
bertubi-tubi seperti layaknya seorang selebriti.
Kebohongan melahirkan
ketidakpercayaan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Ketidakpercayaan kalangan
masyarakat timbul akibat kebohongan yang dilakukan secara sistematis,
berulang-ulang, vulgar, dan juga terkadang sadistis. Pemerintahan masa lalu
juga melakukan berbagai kebohongan atau
tindakan serupa yang intinya sama. Sehingga, ketika kebebasan bergulir
timbullah ketidakpercayaan terhadap kerja yang dilakukan pemerintah, meskipun
mungkin kerja tersebut benar. Apriori inilah yang sekarang merebak, merebak,
dan merebak. Apalagi di tengah banyaknya kalangan yang tidak percaya itu,
timbul kasus-kasus besar yang juga diduga penuh rekayasa dusta. Maka,
lengkaplah sudah ketidakpercayaan akibat dusta yang merajalela.
Harian Umum ABRI
Jumat, 13 Agtustus 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.