Republika/Tahta Aidilla
Senandur
-- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan warga negara
Indonesia (WNI) penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah
boleh mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
"Itu kepercayaan, sementara
kosong, sedang dinegosiasikan. Kami akan segera ketemu Menteri Agama untuk
membahas ini. Pemerintah tidak ingin ikut campur pada WNI yang memeluk
keyakinannya sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban
umum," kata Tjahjo di Gedung Kemendagri Jakarta, Kamis(06/11/2014).
Dengan demikian, artinya WNI pemeluk
keyakinan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan dan Malim, namun di KTP
tertera sebagai salah satu penganut agama resmi boleh mengoreksi kolom agama
mereka.
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun
2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam e-KTP adalah agama
resmi yang diakui Pemerintah.
Sehingga, untuk mengisi kolom agama
dengan keyakinan memerlukan waktu untuk melakukan perubahan atas UU tersebut.
"Dalam Undang-undang jelas ada enam agama yang boleh dicantumkan dalam
e-KTP, sehingga kalau ingin ditambah akan memerlukan waktu untuk mengubahnya.
Tapi kalau mereka mau mengkosongkan kolom itu ya tidak masalah," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Irman mengatakan pihaknya sudah
mendiskusikannya dengan kelompok agama mengenai kolom keyakinan tersebut."Kami sudah pernah membahasnya
dengan MUI dan NU serta diundang oleh Wantimpres. Memang ada perdebatan yang di
satu pihak mengatakan semua boleh dicantumkan, tetapi sebagian besar menyatakan
Negara berhak melakukan pembatasan agama yang bisa didaftarkan. Sehingga,
kesepakatannya adalah dalam kolom agama di KTP hanya untuk agama yang sudah
diakui," jelas Irman.
Tak Boleh Ada Kebijakan Bertentangan dengan Pancasila
Sementara itu, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) menentang keputusan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo
terkait pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).“Meski sifatnya sementara, itu tidak
boleh dilakukan,” kata Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU,
Andi Najmi Fuaidi, Senin (10/11).
Andi menjelaskan, Indonesia adalah
negara berketuhanan sebagaimana tertuang dalam sila pertama Pancasila. Jika
nantinya benar dilakukan, pengosongan kolom agama di KTP merupakan kebijakan
yang bertentangan dengan Pancasila.“Yang harus diperhatikan oleh
pemerintah, semua Undang Undang pasti merujuk ke Pancasila. Oleh karena itu
tidak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila,” jelas
Andi.
Lebih jauh Andi mengungkapkan,
kebijakan pengosongan kolom agama di KTP sama artinya Pemerintah menolerir
adanya kelompok masyarakat yang tidak mengenal Tuhan.
Kondisi ini dikhawatirkan justru
mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat.
Mengenai alasan Tjahjo Kumolo, yaitu
menghormati hak masyarakat yang tidak menganut enam agama sah di Indonesia,
Andi menekankan hal tersebut tetap tidak boleh mengorbankan Pancasila. “Itu tugas Pemerintah untuk mencari
solusinya, bukan dengan jalan pintas mengorbankan Pancasila. Harus diingat,
Pancasila itu dasar negara,” tegasnya.
PBNU, masih kata Andi, sedang
mempelajari kemungkinan melayangkan protes resmi ke Pemerintah mengenai
kebijakan pengosongan kolom agama di KTP.
Hilangkan Identitas Bangsa
Anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) AM Iqbal Parewangi berpendapat bahwa
penghapusan kolom agama dalam kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sama
halnya dengan menghilangkan identitas bangsa.
"Ini benar-benar wacana yang keterlaluan. Kalau mau menghilangkan kolom
agama, sekalian saja menghilangkan nama Indonesia karena identitas dari bangsa
ini adalah agamanya, kebhinnekaan itu sendiri," katanya di Makassar,
Senin.
Iqbal Parewangi mengatakan wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu adalah hal yang sangat sulit diterima oleh warga negara yang beragama, yang memiliki identitas.
Dia menyebutkan dasar dari Negara Indonesia adalah Pancasila dan dalam sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa serta pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Jika menghilangkan kolom agama dalam KTP, juga dinilai sebagai penghapusan identitas serta menyalahi sila pertama tersebut.
Dijelaskannya, sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa setiap warga negara diwajibkan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Saya justru malu ketika identitas saya sebagai orang beragama dihilangkan. Hampir seluruh orang Indonesia adalah orang yang beragama dan ketika berbicara agama, pasti ada Tuhan yang menjadi sandaran dan tentunya alam semesta ini juga diciptakan Tuhan. Kalau tidak mau mengakui Tuhan, pindah saja ke alam semesta lainnya karena dunia ini diciptakan Tuhan," katanya.
Menurut dia, jika ada warga Indonesia yang tidak mempercayai Ketuhanan dan tidak memeluk satu agama pun, itu adalah pilihannya dan kolom agama dalam e-KTP itu tidak perlu diisi.
"Semua ada pilihan. Kalau memang ada orang tidak beragama dan tidak percaya sama Tuhan, tidak usah saja diisi kolom agama itu. Mudah kan, tidak perlu membuat wacana yang sangat keterlaluan seperti itu," jelasnya.
Iqbal menerangkan Indonesia memang bukan negara agama namun pengakuan terhadap eksistensi agama dijamin oleh negara.
Dia mempertanyakan apabila identitas agama dihapus, lalu bagaimana negara bisa memberikan perlindungan kepada warga negara untuk beribadah dan menjalankan agama dan keyakinannya. "Penghapusan identitas agama dalam KTP dikhawatirkan akan berdampak pada upaya liberalisasi dalam semua sektor kehidupan," katanya.
Dia menegaskan apabila ada yang ingin menghapuskan identitas agama dalam KTP, perlu ditelusuri motif dari pernyataan tersebut, jangan-jangan hanya karena ingin tampil beda dan cari perhatian saja.
Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri akan mengizinkan pengosongan kolom agama pada kartu identitas penduduk yang ditujukan bagi warga negara penganut aliran kepercayaan yang belum diakomodasi undang-undang.
Iqbal Parewangi mengatakan wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu adalah hal yang sangat sulit diterima oleh warga negara yang beragama, yang memiliki identitas.
Dia menyebutkan dasar dari Negara Indonesia adalah Pancasila dan dalam sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa serta pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Jika menghilangkan kolom agama dalam KTP, juga dinilai sebagai penghapusan identitas serta menyalahi sila pertama tersebut.
Dijelaskannya, sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa setiap warga negara diwajibkan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Saya justru malu ketika identitas saya sebagai orang beragama dihilangkan. Hampir seluruh orang Indonesia adalah orang yang beragama dan ketika berbicara agama, pasti ada Tuhan yang menjadi sandaran dan tentunya alam semesta ini juga diciptakan Tuhan. Kalau tidak mau mengakui Tuhan, pindah saja ke alam semesta lainnya karena dunia ini diciptakan Tuhan," katanya.
Menurut dia, jika ada warga Indonesia yang tidak mempercayai Ketuhanan dan tidak memeluk satu agama pun, itu adalah pilihannya dan kolom agama dalam e-KTP itu tidak perlu diisi.
"Semua ada pilihan. Kalau memang ada orang tidak beragama dan tidak percaya sama Tuhan, tidak usah saja diisi kolom agama itu. Mudah kan, tidak perlu membuat wacana yang sangat keterlaluan seperti itu," jelasnya.
Iqbal menerangkan Indonesia memang bukan negara agama namun pengakuan terhadap eksistensi agama dijamin oleh negara.
Dia mempertanyakan apabila identitas agama dihapus, lalu bagaimana negara bisa memberikan perlindungan kepada warga negara untuk beribadah dan menjalankan agama dan keyakinannya. "Penghapusan identitas agama dalam KTP dikhawatirkan akan berdampak pada upaya liberalisasi dalam semua sektor kehidupan," katanya.
Dia menegaskan apabila ada yang ingin menghapuskan identitas agama dalam KTP, perlu ditelusuri motif dari pernyataan tersebut, jangan-jangan hanya karena ingin tampil beda dan cari perhatian saja.
Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri akan mengizinkan pengosongan kolom agama pada kartu identitas penduduk yang ditujukan bagi warga negara penganut aliran kepercayaan yang belum diakomodasi undang-undang.
Sumber Konflik
Pengosongan
kolom agama di KTP bisa menjadi sumber konflik. Sebab
identitas agama berkaitan dengan aktivitas sosial masyarakat seperti bergaul,
menikah, hingga mengurus kematian.
"Tidak mungkin dihilangkan. Bisa menjadi sumber konflik," kata politikus PKS, Fahri Hamzah di Jakarta.
Ia menilai wacana penghilangan kolom agama di KTP sebagai pemikiran sekuler. Padahal agama memiliki peran penting mengajarkan kebaikan. Soal perbedaan misalnya, seluruh agama mengajarkan pemeluknya saling memahami dan bekerja sama. "Jadi bukan karena kita berbeda agama lalu kita bertengkar," ucapnya.
"Tidak mungkin dihilangkan. Bisa menjadi sumber konflik," kata politikus PKS, Fahri Hamzah di Jakarta.
Ia menilai wacana penghilangan kolom agama di KTP sebagai pemikiran sekuler. Padahal agama memiliki peran penting mengajarkan kebaikan. Soal perbedaan misalnya, seluruh agama mengajarkan pemeluknya saling memahami dan bekerja sama. "Jadi bukan karena kita berbeda agama lalu kita bertengkar," ucapnya.
Kehidupan masyarakat di Indonesia
tidak bisa dibandingkan di luar negeri. Fahri mengatakan tata pergaulan sosial
di Indonesia bersifat komunal. Bukan individual seperti di barat."Maka, identitas keagamaan
menjadi penting," katanya.
Sebelumnya Mendagri, Tjahjo Kumolo mewacanakan pengosongan kolom agama di KTP. Ia menyebutkan Kolom agama di KTP dapat dikosongkan untuk penganut keyakinan atau kepercayaan diluar enam agama yang diakui pemerintah.Tetapi penganut enam agama yang resmi menurut pemerintah harus tetap mencantumkan agama mereka dikartu identitas.
Sumber ROL/republika.co.id
Sebelumnya Mendagri, Tjahjo Kumolo mewacanakan pengosongan kolom agama di KTP. Ia menyebutkan Kolom agama di KTP dapat dikosongkan untuk penganut keyakinan atau kepercayaan diluar enam agama yang diakui pemerintah.Tetapi penganut enam agama yang resmi menurut pemerintah harus tetap mencantumkan agama mereka dikartu identitas.
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.