Monday 21 July 2014

Satu Episode Jakarta Tempo Doeloe



                                          
                       'Penyiar TV'

     TAHUN 1970.  Bau Ciliwung yang khas menyebar seiring laju becak yang kutumpangi dari stasiun kereta api  Gambir.  Dini hari yang sepi melewati Jalan Veteran, Harmoni, Gajah Mada, Gang Kancil, Pekapuran, Jembatan Lima,  kemudian sampai di Jalan Cibubur, Kampung Krendang,  Jakarta Barat. “Selamat datang di Jakarta!”kataku dalam hati. ”Inikah Jakarta?”
                                                Foto:museum-jakarta.blogspot.com

     Aroma kali Cibubur yang menyengat memudarkan lamunanku tentang Ciliwung. Di depan mataku deretan rumah hampir seragam  menghadap ke kali yang berbatasan dengan jalan. Tidak banyak rumah bagus. Yang jelas, hampir semua rumah di belakang deretan rumah terdepan di jalan itu berhimpitan dan kumuh. Demikian juga di antara gang yang sempit, kamar-kamar dengan dinding anyaman bambu berderet dihuni oleh aneka macam manusia yang umumnya kelas bawah.
     Tempat yang kutuju juga sebuah rumah dengan dua kamar dan satu ruang tamu sempit, berlantai tanah.  Punya kamar mandi tapi  tak ada jamban alias WC. Dapur yang juga sempit dan air sumur yang berwarna kuning dengan rasa asin. Untuk memasak dan minum, air pikulan cukup memberikan kenikmatan.
     Kebingunganku ketika mau buang hajat terjawab sudah. Aku harus keluar rumah. Berjalan melewati sederetan bangunan yang belum layak disebut rumah. Melewati sebuah gang sempit yang hampir setiap waktu dipenuhi ibu-ibu dan anak-anak. Maklum, gang yang diplester semen merupakan halaman yang memadai untuk ukuran rumah yang  mereka tinggali.  Sampailah aku ke satu empang yang tidak luas, tapi penuh air berwarna hitam lengkap dengan hiasan rimbun enceng gondok. Bunga enceng gondok yang ungu segar itu kontras benar dengan keadaan sekelilingnya.
     Di sana aku dapati empat kotak di atas air, yang tingginya sekitar satu meter dari permukaan empang. Kotak-kotak inilah tempat orang membuang air besar.
     Seumur hidup aku baru menghadapi kejadian yang manis ini, dan ini di Jakarta, Ibu kota negeri tercinta.
     Mula-mula aku ragu untuk masuk (tepatnya melangkah) ke kotak jamban terbuka itu. Meskipun, pada pagi itu baru terisi satu orang di kotak terbuat dari papan kayu itu.  Tetapi, karena desakan alamiah yang begitu dahsyat maka keberanian pun muncul.  Maka, jadilah aku seorang  ‘penyiar tv’ sesaat.
     Orang kampung di sana menyebut kotak itu sebagai televisi. Sedangkan mereka yang tengah membuang hajat adalah sang penyiar tv. Karena, dari luar yang nampak hanya kepala dan sebagian badan (pasfoto), persis penyiar tv yang sedang menyampaikan warta berita.
     Singkat cerita, ketika aku melaksanakan hajat maka benda yang jatuh ke air menimbulkan percikan tinggi hingga membuatku kelabakan. Maklum, cipratan air hitam dan bau kotoran manusia itu juga mengenai celanaku. Tetapi, tetanggaku sesama ‘penyiar tv’ tenang-tenang saja. Setelah lama kuperhatikan rupanya ia punya kiat agar benda yang juatuh itu  tidak menimbulkan cipratan fatal. Yakni dengan menggoyang sedikit  dia punya badan saat benda itu akan meluncur.
     Hebatnya lagi untuk urusan yang satu ini tidak ada diskriminasi. Wanita, pria, dan anak-anak boleh menggunakan WC umum ini. Namun harus tertib dan antri tanpa kecuali.
     Lama kelamaan memang aku jadi terbiasa. Untuk urusan yang mendesak ini rasanya tidak peduli lagi dengan tetangga yang juga sedang ‘siaran.’ Entah itu cewek cantik atau nenek-nenek, aku tak kikuk lagi. Soal bau dan bau, rasanya hidungku sudah akrab. Rata-rata mereka yang menggunakan jamban terbuka ini menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa.
     Jangan berharap banyak di tempat buang air  ramai-ramai itu. Hal yang paling jelas adalah, di tempat itu tidak disediakan air. Jadi rata-rata pengunjung jamban itu melenggang dari tempat itu dalam keadaan maaf, kopet, alias belum cebok.
     Jika kamar-kamar kecil itu terisi penuh, maka mau tak mau, atau satu-satunya jalan adalah menunggu giliran. Siapa yang datang duluan dia boleh masuk duluan. Terkadang  yang menunggu untuk buang hajat bukan satu dua tetapi berderet. Bila kita malas antri, maka akibatnya akan ditanggung sendiri.
    Bila tempat itu terisi semua, sementara ada orang kebelet alias mendesak ingin buang air besar, lalu bagaimana mengatasinya? Nah, itulah soalnya! (mas)

Harian Umum ABRI
Selasa, 22 Juni  1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.