'Penyiar TV'
TAHUN 1970. Bau Ciliwung yang khas menyebar seiring laju
becak yang kutumpangi dari stasiun kereta api Gambir. Dini hari yang sepi melewati Jalan Veteran,
Harmoni, Gajah Mada, Gang Kancil, Pekapuran, Jembatan Lima, kemudian sampai di Jalan Cibubur, Kampung
Krendang, Jakarta Barat. “Selamat datang
di Jakarta!”kataku dalam hati. ”Inikah Jakarta?”
Foto:museum-jakarta.blogspot.com
Aroma kali Cibubur yang menyengat
memudarkan lamunanku tentang Ciliwung. Di depan mataku deretan rumah hampir
seragam menghadap ke kali yang
berbatasan dengan jalan. Tidak banyak rumah bagus. Yang jelas, hampir semua
rumah di belakang deretan rumah terdepan di jalan itu berhimpitan dan kumuh.
Demikian juga di antara gang yang sempit, kamar-kamar dengan dinding anyaman
bambu berderet dihuni oleh aneka macam manusia yang umumnya kelas bawah.
Tempat yang kutuju juga sebuah rumah
dengan dua kamar dan satu ruang tamu sempit, berlantai tanah. Punya kamar mandi tapi tak ada jamban alias WC. Dapur yang juga
sempit dan air sumur yang berwarna kuning dengan rasa asin. Untuk memasak dan
minum, air pikulan cukup memberikan kenikmatan.
Kebingunganku ketika mau buang hajat
terjawab sudah. Aku harus keluar rumah. Berjalan melewati sederetan bangunan
yang belum layak disebut rumah. Melewati sebuah gang sempit yang hampir setiap
waktu dipenuhi ibu-ibu dan anak-anak. Maklum, gang yang diplester semen
merupakan halaman yang memadai untuk ukuran rumah yang mereka tinggali. Sampailah aku ke satu empang yang tidak luas,
tapi penuh air berwarna hitam lengkap dengan hiasan rimbun enceng gondok. Bunga
enceng gondok yang ungu segar itu kontras benar dengan keadaan sekelilingnya.
Di sana aku dapati empat kotak di atas
air, yang tingginya sekitar satu meter dari permukaan empang. Kotak-kotak
inilah tempat orang membuang air besar.
Seumur hidup aku baru menghadapi kejadian
yang manis ini, dan ini di Jakarta, Ibu kota negeri tercinta.
Mula-mula aku ragu untuk masuk
(tepatnya melangkah) ke kotak jamban terbuka itu. Meskipun, pada pagi itu baru
terisi satu orang di kotak terbuat dari papan kayu itu. Tetapi, karena desakan alamiah yang begitu
dahsyat maka keberanian pun muncul. Maka,
jadilah aku seorang ‘penyiar tv’ sesaat.
Orang kampung di sana menyebut kotak itu
sebagai televisi. Sedangkan mereka yang tengah membuang hajat adalah sang
penyiar tv. Karena, dari luar yang nampak hanya kepala dan sebagian badan
(pasfoto), persis penyiar tv yang sedang menyampaikan warta berita.
Singkat cerita, ketika aku melaksanakan
hajat maka benda yang jatuh ke air menimbulkan percikan tinggi hingga membuatku
kelabakan. Maklum, cipratan air hitam dan bau kotoran manusia itu juga mengenai
celanaku. Tetapi, tetanggaku sesama ‘penyiar tv’ tenang-tenang saja. Setelah
lama kuperhatikan rupanya ia punya kiat agar benda yang juatuh itu tidak menimbulkan cipratan fatal. Yakni
dengan menggoyang sedikit dia punya
badan saat benda itu akan meluncur.
Hebatnya lagi untuk urusan yang satu ini
tidak ada diskriminasi. Wanita, pria, dan anak-anak boleh menggunakan WC umum
ini. Namun harus tertib dan antri tanpa kecuali.
Lama kelamaan memang aku jadi terbiasa.
Untuk urusan yang mendesak ini rasanya tidak peduli lagi dengan tetangga yang
juga sedang ‘siaran.’ Entah itu cewek cantik atau nenek-nenek, aku tak kikuk
lagi. Soal bau dan bau, rasanya hidungku sudah akrab. Rata-rata mereka yang
menggunakan jamban terbuka ini menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa.
Jangan berharap banyak di tempat buang
air ramai-ramai itu. Hal yang paling
jelas adalah, di tempat itu tidak disediakan air. Jadi rata-rata pengunjung
jamban itu melenggang dari tempat itu dalam keadaan maaf, kopet, alias belum cebok.
Jika kamar-kamar kecil itu terisi penuh,
maka mau tak mau, atau satu-satunya jalan adalah menunggu giliran. Siapa yang
datang duluan dia boleh masuk duluan. Terkadang yang menunggu untuk buang hajat bukan satu
dua tetapi berderet. Bila kita malas antri, maka akibatnya akan ditanggung
sendiri.
Bila tempat itu terisi semua, sementara ada
orang kebelet alias mendesak ingin buang air besar, lalu bagaimana
mengatasinya? Nah, itulah soalnya! (mas)
Harian Umum ABRI
Selasa, 22 Juni 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.