Thursday 3 September 2015

Anggota DPR RI:



  Pidato Presiden Banyak Kata, Nihil Fakta

    Jakarta --  Anggota DPR RI Heri Gunawan menilai pidato Presiden kemarin lebih banyaknya paradoksnya. Hanya lebih banyak kata dan ucapan tanpa ada tindak nyata.

    "Justru banyak yang paradoks. Lebih banyak karya kata dibanding karya nyata," kata Heri menanggapi pidato Presiden Jokowi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (14/08/2015) seperti yang dikutip Antara.

    Ia juga menyebut bahwa Jokowi hanya pintar bicara janji-janji, tapi faktanya semua itu tidak ada. Terbukti menurutnya pemerintah gagal di hampir semua lini bidang. Bahkan, masih menurutnya, pemerintah secara terang-terangan membuka pintu besar untuk warga Asing yang ingin bekerja di Indonesia.

    "Presiden bicara soal perwujudan janji-janji UUD 1945, tapi faktanya, pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Bahkan, secara terang-terangan, membuka kran lebar-lebar bagi masuknya tenaga kerja asing yang menggerus kesempatan kerja warga lokal," kata Heri yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI.

    Presiden Jokowi bicara soal kemandirian ekonomi, tapi faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui Utang Luar Negeri yang bertumpuk.

    "Saat ini, debt service ratio kita sudah di atas 50 persen. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal kita. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar Utang Luar Negeri," imbuhnya.

    Presiden bicara soal ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi faktanya, dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal. 

    "Sekarang ini, banyak anak muda dengan start-up-nya yang luar biasa, tapi masih sulit dalam pembiayaan. BUMN yang diharapkan menopang hal itu tidak maksimal. Tidak heran, banyak start-up Indonesia yang punya ide cemerlang tapi sulit bersaing," katanya.

    Lalu, Presiden bicara soal janji-janji kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tapi, faktanya, di saat yang sama, pemerintah (Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang hari kemerdekaan. 

    "Karena itu, ke depan, saya berharap Presiden bisa mewujudkan janji-janjinya secara konsisten dan konsekwen. Satunya kata dengan perbuatan. Berkarya nyata dan tidak berkarya kata," demikian Heri. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com) Sabtu, 1 Zulqaidah 1436 H / 15 Agutus 2015

Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!

   
Komisi VI: Pidato Jokowi Paradoks dengan Kenyataan
 
PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan 3 pidato di hadapan Sidang Tahunan MPR.  Pertama, Pidato tentang Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara, kedua, Pidato Menyambut Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesai dan ketiga, Pidato Penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2016.


     “Tidak ada yang spesial dari pidato Presiden. Justru banyak yang paradoks. Lebih banyak karya kata dibanding karya nyata. Presiden, misalnya, bicara kekompakan Lembaga-Lembaga Negara untuk mewujudkan Trisakti. Tapi, sayangnya, di saat yang sama justru masih ada saja pola komunikasi dan koordinasi yang kurang efektif,” ungkap Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan Jum’at (14/8) siang.

    Dia menyebutkan, Presiden bicara soal perwujudan janji-janji UUD 1945, tapi faktanya, pemerintah gagal menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Bahkan, secara terang-terangan, membuka “kran” lebar-lebar bagi masuknya tenaga kerja asing yang menggerus kesempatan kerja warga lokal.

    Saat bicara kemandirian ekonomi, tapi faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada asing melalui hutang luar negeri yang bertumpuk. Saat ini, Debt Service Ratio (DSR) Indonesia sudah diatas 50 %. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal kita. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk membayar hutang luar negeri.

    Dia menambahkan, Presiden bicara soal ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi faktanya, dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal. Sebagai contoh, pemerintah belum memberi saluran pembiyaan yang lebar bagi tumbuhnya star-upnya yang luar biasa, tapi masih sulit dalam pembiayaan. BUMN yang diharapkan menopang hal itu tidak maksimal. Tidak heran, banyak star-up Indonesia yang mempunyai ide cemerlang tetapi sulit bersaing.

    Presiden bicara soal janji-janji Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tapi, faktanya, disaat yang sama, pemerintah (Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang hari kemerdekaan.

    “Lebih dari itu, rencana sewa-ulang Pembangkit-pembangki PLN oleh Tiongkok, justru masih menjerumuskan Listrik Nasional untuk tidak pernah merdeka 100%,” cetus Heri.
    Berkali-kali Presiden bicara soal revolusi mental. Tapi, faktanya, progresnya belum kelihatan. Masih ada saja lingkaran birokrat yang terlibat dalam inefisiensi. Sebagai misal, kasus dwell time yang diduga melibatkan 18 Kementerian dan Lembaga. Berikutnya, impor gula, dan lain-lain, yang juga melibatkan oknum-oknum di pemerintahan sendiri.

    “Karena itu, ke depan, saya berharap Presiden dapat mewujudkan janji-janjinya secara konsisten dan konsekwen. Satunya kata dengan perbuatan. Berkarya nyata dan tidak berkarya kata,” tegas Hery seperti dilansir laman resmi DPR. [rn/Islampos] Jumat 28 Syawal 1436 / 14 Agustus 2015

Komnas HAM: Pidato Presiden Joko Widodo Tanpa Ruh Kemanusiaan

   Jakarta- Bagi pencinta laporan normatif menilai bahwa pidato laporan presiden Joko Widodo di hadapan sidang MPR menyambut 70 Tahun Indonesia Merdeka pagi kemarin (14/08/2015) pasti memberi nilai penuh, sangat baik. Tapi bagi pencinta laporan progresif, seperti Komnas HAM, menilai laporan Presiden itu terlalu normatif dan kurang bernyawa. Komnas HAM prihatin. Demikian Komnas HAM bereaksi melalui Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM.

   Menurutnya Presiden abai tidak menyinggung soal perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warga negara. Padahal itu adalah tugas konstitisional seorang Presiden.

    “Kemana orang sekitar presiden? Kenapa mereka membiarkan Presiden berpidato di hadapan publik, sekelas pidato kemerdekaan Indonesia, khususnya dihadapan MPR pagi ini, tanpa ruh kemanusiaan,” katanya sebagaimana yang diterima redaksi voa-islam.com.

    Baginya semakin terang benderang, di usia 70 tahun Indonesia Kita, paradigma pembangunan nasional belum seutuhnya berbasis HAM. Padahal menurutnya konsensus kita mendirikan negeri ini adalah agar Negara utamanya pemerintah adalah untuk memastikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warganya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com) Sabtu, 1 Zulqaidah 1436 H / 15 Agutus 2015


No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.