Pidato Presiden
Banyak Kata, Nihil Fakta
Jakarta -- Anggota DPR RI Heri
Gunawan menilai pidato Presiden kemarin lebih banyaknya paradoksnya. Hanya
lebih banyak kata dan ucapan tanpa ada tindak nyata.
"Justru banyak yang paradoks. Lebih
banyak karya kata dibanding karya nyata," kata Heri menanggapi pidato
Presiden Jokowi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (14/08/2015) seperti yang
dikutip Antara.
Ia juga menyebut bahwa Jokowi hanya pintar
bicara janji-janji, tapi faktanya semua itu tidak ada. Terbukti menurutnya
pemerintah gagal di hampir semua lini bidang. Bahkan, masih menurutnya,
pemerintah secara terang-terangan membuka pintu besar untuk warga Asing yang
ingin bekerja di Indonesia.
"Presiden bicara soal perwujudan
janji-janji UUD 1945, tapi faktanya, pemerintah gagal menyediakan lapangan
pekerjaan bagi warganya. Bahkan, secara terang-terangan, membuka kran lebar-lebar
bagi masuknya tenaga kerja asing yang menggerus kesempatan kerja warga
lokal," kata Heri yang juga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI.
Presiden Jokowi bicara soal kemandirian
ekonomi, tapi faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi
nasional kepada asing melalui Utang Luar Negeri yang bertumpuk.
"Saat ini, debt service ratio kita
sudah di atas 50 persen. Itu berbahaya dan mengancam kedaulatan fiskal kita.
Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk bayar Utang Luar Negeri,"
imbuhnya.
Presiden bicara soal ekonomi kreatif
sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi faktanya, dukungan terhadap
perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal.
"Sekarang ini, banyak anak muda dengan
start-up-nya yang luar biasa, tapi masih sulit dalam pembiayaan. BUMN yang
diharapkan menopang hal itu tidak maksimal. Tidak heran, banyak start-up
Indonesia yang punya ide cemerlang tapi sulit bersaing," katanya.
Lalu, Presiden bicara soal janji-janji
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tapi, faktanya, di saat yang sama, pemerintah
(Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang hari
kemerdekaan.
"Karena itu, ke depan, saya berharap
Presiden bisa mewujudkan janji-janjinya secara konsisten dan konsekwen. Satunya
kata dengan perbuatan. Berkarya nyata dan tidak berkarya kata," demikian
Heri. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com) Sabtu, 1 Zulqaidah 1436
H / 15 Agutus 2015
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!
Komisi VI: Pidato Jokowi Paradoks dengan Kenyataan
PRESIDEN
Joko Widodo menyampaikan 3 pidato di hadapan Sidang Tahunan MPR. Pertama,
Pidato tentang Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara, kedua, Pidato Menyambut
Peringatan 70 Tahun Kemerdekaan Indonesai dan ketiga, Pidato Penyampaian Nota
Keuangan dan RAPBN 2016.
“Tidak ada yang spesial dari pidato
Presiden. Justru banyak yang paradoks. Lebih banyak karya kata dibanding karya
nyata. Presiden, misalnya, bicara kekompakan Lembaga-Lembaga Negara untuk
mewujudkan Trisakti. Tapi, sayangnya, di saat yang sama justru masih ada saja
pola komunikasi dan koordinasi yang kurang efektif,” ungkap Wakil Ketua Komisi
VI DPR Heri Gunawan Jum’at (14/8) siang.
Dia menyebutkan, Presiden bicara soal
perwujudan janji-janji UUD 1945, tapi faktanya, pemerintah gagal menyediakan
lapangan pekerjaan bagi warganya. Bahkan, secara terang-terangan, membuka
“kran” lebar-lebar bagi masuknya tenaga kerja asing yang menggerus kesempatan
kerja warga lokal.
Saat bicara kemandirian ekonomi, tapi
faktanya, pemerintah justru menggantungkan kelangsungan ekonomi nasional kepada
asing melalui hutang luar negeri yang bertumpuk. Saat ini, Debt Service
Ratio (DSR) Indonesia sudah diatas 50 %. Itu berbahaya dan mengancam
kedaulatan fiskal kita. Lebih dari setengah penerimaan ekspor hanya habis untuk
membayar hutang luar negeri.
Dia menambahkan, Presiden bicara soal
ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian nasional, tapi faktanya,
dukungan terhadap perkembangan ekonomi ini masih kurang maksimal. Sebagai
contoh, pemerintah belum memberi saluran pembiyaan yang lebar bagi
tumbuhnya star-upnya yang luar biasa, tapi masih sulit dalam
pembiayaan. BUMN yang diharapkan menopang hal itu tidak maksimal. Tidak heran,
banyak star-up Indonesia yang mempunyai ide cemerlang tetapi
sulit bersaing.
Presiden bicara soal janji-janji
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tapi, faktanya, disaat yang sama, pemerintah
(Pertamina dan PLN) justru akan menaikkan harga BBM dan TDL menjelang hari
kemerdekaan.
“Lebih dari itu, rencana sewa-ulang
Pembangkit-pembangki PLN oleh Tiongkok, justru masih menjerumuskan Listrik
Nasional untuk tidak pernah merdeka 100%,” cetus Heri.
Berkali-kali Presiden bicara soal revolusi mental.
Tapi, faktanya, progresnya belum kelihatan. Masih ada saja lingkaran birokrat
yang terlibat dalam inefisiensi. Sebagai misal, kasus dwell time yang
diduga melibatkan 18 Kementerian dan Lembaga. Berikutnya, impor gula, dan
lain-lain, yang juga melibatkan oknum-oknum di pemerintahan sendiri.
“Karena itu, ke depan, saya berharap
Presiden dapat mewujudkan janji-janjinya secara konsisten dan konsekwen.
Satunya kata dengan perbuatan. Berkarya nyata dan tidak berkarya kata,” tegas
Hery seperti dilansir laman resmi DPR. [rn/Islampos] Jumat 28 Syawal 1436 / 14 Agustus 2015
Komnas HAM: Pidato Presiden Joko
Widodo Tanpa Ruh Kemanusiaan
Jakarta-
Bagi pencinta laporan normatif menilai bahwa pidato laporan presiden Joko
Widodo di hadapan sidang MPR menyambut 70 Tahun Indonesia Merdeka pagi kemarin
(14/08/2015) pasti memberi nilai penuh, sangat baik. Tapi bagi pencinta laporan
progresif, seperti Komnas HAM, menilai laporan Presiden itu terlalu normatif
dan kurang bernyawa. Komnas HAM prihatin. Demikian Komnas HAM bereaksi melalui
Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM.
Menurutnya Presiden abai tidak menyinggung
soal perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warga negara. Padahal
itu adalah tugas konstitisional seorang Presiden.
“Kemana orang sekitar presiden? Kenapa
mereka membiarkan Presiden berpidato di hadapan publik, sekelas pidato
kemerdekaan Indonesia, khususnya dihadapan MPR pagi ini, tanpa ruh
kemanusiaan,” katanya sebagaimana yang diterima redaksi voa-islam.com.
Baginya semakin terang benderang, di usia
70 tahun Indonesia Kita, paradigma pembangunan nasional belum seutuhnya
berbasis HAM. Padahal menurutnya konsensus kita mendirikan negeri ini adalah
agar Negara utamanya pemerintah adalah untuk memastikan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan HAM warganya. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)
Sabtu, 1 Zulqaidah 1436 H / 15 Agutus 2015
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.