OPSTIBPUS
BONGKAR PENYIMPANGAN DI PENGADILAN
JAKARTA,
Kamis
PANGLIMA Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo
mengatakan, Opstibpus telah berhasil mengungkapkan adanya penyimpangan
penyelesaian perkara yang berlatar belakang pungli di Pengadilan, antara lain
dalam hal pendistribusian perkara, penyelesaian permohonan pewarganegaraan dan
dalam hal penyidangan perkara.
Hal itu dikemukakannya dalam keterangan
kepada pers di aula Departemen Kehakiman Rabu malam. Dalam kesempatan itu
Sudomo didampingi Menteri Kehakiman Mudjono SH, Irjen Dep. Kehakiman Kamil Kamka SH, Kas Kopkamtib Letjen TNI
Widjojo Sujono, Koordinator Opstibpus Mayjen EY. Kanter SH dan staf lainnya.
Sesuai dengan janjinya, Sudomo kemarin
menjelaskan kasus hakim HG dan masalah-masalah yang ditemukan dari pemeriksaan
atas kasus tersebut.
Menurut Pangkopkamtib, proses pemeriksaan
terhadap hakim HG, yang tertangkap basah Opstib sedang menerima uang dari
seorang pencari keadilan sebesar Rp 10 juta beberapa waktu lalu, telah
mendekati penyelesaian.
Berkas berita acara pemeriksaaan, menurut
Laksamana Sudomno dalam wakrtu sebulan sudah dapat disampaikan kepada Kejaksaan
sebagai instansi yang berwenang yang selanjutnya akan memproses penuntutannya
ke pengadilan.
Hakim HG tertangkap basah menerima uang kontan Rp 1 juta dan giro
bilyet “Chase Manhattan” No.660962 bernilai Rp 9 juta yang kini disimpan
sebagai barang bukti, kata Laksamana Sudomo.
Dikatakannya, penangkapan terhadap HG
dilakukan Opstibpus dengan jebakan yang telah dipersiapkan dan dilancarkan
berdasarkan laporan pengaduan dari Ny.
MS menjelang akhir tahun lalu tentang adanya
usaha pemerasan kepadanya oleh hakim HG yang menangani perkara penipuan
berlian.
Kasus hakim HG, menurut Sudono kemudian
dilaporkan kepada Menteri Kehakiman yang
kemudian langsung membebaskan HG dari tugasnya sebagai hakim.
Terdorong keinginan untuk membongkar
praktek-praktek gelap tersebut secara tuntas dan menyeluruh dengan
mempergunakan HG yang mengetahui banyak masalah tersebut., maka
Kopkamtib/Opstibpus menyarankan Menteri Kehakiman agar larangan untuk hakim HG dicabut dan HG
dipekerjakan kembali. Hal ini menurut
Sudomo sinkron dengan surat permohonan ampun dari hakim HG kepada
Menteri Kehakiman. Saran Opstibpus tersebut disetujui Menteri dan HG bertugas
kembali pada 1 Januari lalu.
Dengan demikian, menurut Sudomo, jelas
bahwa di belakang keputusan Menteri untuk semula membebaskan hakim HG dari tugas
yang kemudian dicabutnya kembali, tidak tersembunyi maksud tertentu
sebagaimana dituduhkan sementara orang
dalam menanggapi kasus tersebut. Kecuali, demi pengamanan dari kelancaran usaha Kopkamtib yang sedang berjalan untuk
membongkar praktek yang lebih besar lagi. Keputusan Menteri Kehakiman dalam
kasus tersebut didasarkan atas permintaan dan saran Kopkamtib/Opstibpus.”Dan
Menteri tidak salah,”kata Laksamana Sudomo.
Dalam kesempatan itu Pangkopkamtib
menghimbau masyarakat untuk tidak cepat- cepat menanggapi suatu kasus yang
sedang ditangani dan diproses oleh Kopkamtib/Opstibpus/Opstibda justru untuk pengamanan dari proses itu
sendiri.”Tiap kasus setelah selesai diproses, akan segera dijelaskan kepada
masyarakat secara terbuka,”katanya menambahkan.
Menjawab pertanyaan apa Opstib berani
apabila pungli ternyata merembget ke Mahkamah Agung, Laksamana Sudomo dengan
tegas menjawab “Mengapa tidak berani?” Ia menegaskan yang jelas-jelas
tersangkut akan ditindak tanpa kecuali.
Penyimpangan
di pengadilan
Opstibpus dalam keterangan pers yang
dibacakan oleh Koordinator Opstibpus Mayjen Kanter menjelaskan tentang kasus
hakim HG dan permasalahah yang ditemukan. Berdasarkan hasil pemeriksaaan sementara Opstibpus
terhadap 56 orang terperiksa dapat diungkapkan fakta-fakta sebagai berikut:
Menjelang akhir tahun 1980 Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah memeriksa dan mengadili perkara penipuan perhiasan
yang dilakukan oleh EB dan S yang terbukti kesalahannya dijatuhi hukuman pidana
penjara selama satu tahun potong tahanan. Perkara penipuan itu diadili karena
adanya pengaduan dari Ny.MS yang menitipkan perhiasan-perhiasan termasuk
beberapa butir lepas berlian untuk dijualkan sesuai permintaan EB dan S dengan
alasan ada yang memesan. Untuk diketahui bahwa EB telah pernah diajukan ke depan Pengadilan dua kali pada tahun 1974 dan 1977, dalam perkara yang serupa
yaitu penipuan perhiasan.
Dalam Pengadilan tahun 1974 EB dinyatakan
bebas, sedang tahun 1977 EB dijatuhi pidana penjara 3 bulan. Dengan demikian
ternyata EB adalah seorang recidivis.
Sebelum perkara EB dan S diputus oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ny. MS diadukan oleh W dengan tuduhan bahwa ia
melakukan penipuan atas barang-barang perhiasan yang dititipkan kepadanya untuk
dijualkan, perhiasan mana sebagian termasuk dalam perkara atas nama EB dan S
tersebut di atas.
Dalam proses penyelesaian perkaranya oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena Ny MS merasa yakin di pihak yang benar
dan perkara yang diajukan itu diputar-balikkan yang akan memberatkan dirinya
maka Ny. MS menghubungi HG yang akan bertindak sebagai Hakim dalam memeriksa
dan mengadili perkara tersebut untuk meminta penjelasan mengenai perkara yang
dituduhkan kepadanya.
Dengan mempertimbangkan selain dari nilai
barang-barang yang menjadi pokok perkara sekitar Rp 300 juta dan keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh Ny.MS, maka HG
telah menyanggupi untuk membantu menyelesaikan perkaranya dengan minta uang
imbalan sebanyak Rp 50 juta.
Bila imbalan tersebut telah dapat dipenuhi,
HG menyanggupi akan membebaskan tertuduh atau setidak-tidaknya menghukum dengan
pidana seringan-ringannya, bahkan apabila mungkin akan diusahakan menyatakan
perkara tersebut merupakan perkara perdata.
Dalam proses tawar menawar selanjutnya
telah disepakati imbalan yang harus disediakan oleh Ny,.MS sejumlah Rp
25.000.000 yang pelaksanaan pembayarannya akan dilakukan secara bertahap.
Atas permintaan yang dirasakan oleh Ny.MS
terlalu berat, maka Ny.MS telah berusaha untuk melaporkan ke Opstibpus, laporan
mana telah dilengkapi dengan bahan-bahan yang dapat meyakinkan Opstibpus
tentang masalah tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari hasil observasi
dan penelitian yang dilakukan oleh Opstibpus pada tanggal 26 Nopember 1980 sekitar pukul 13.00
petugas Opstibpus telah menangkap basah HG di ruang kerjanya di Kantor
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru selesai menerima pungli dari Ny.MS
sebagaimana diperjanjikan sebelumnya yaitu uang kontan Rp 1.000.000 dan giro
bilyet “Chase Manhattan Bank” No.660962 bernilai Rp 9.000.000.
Dalam rangka mengungkapkan kasus tersebut,
Opstibpus telah melakukan pemeriksaan,
hasil pemeriksaan mana setelah dilaporkan kepada Menteri Kehakiman telah
digunakan sebagai dasar oleh Menteri untuk membebaskan HG dari tugas sebagai
Hakim.
Dari hasil pemeriksanan sementara tersebut terdapat petunjuk yang kuat tentang adanya penyelesaian perkara yang menjurus kepada penyalahgunaan jabatan di lingkungan pejabat pengadilan khususnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Untuk keperluan penelitian lebih lanjut
diperlukan data yang lebih lengkap dan konkret yang oleh karena itu Optstibpus
telah mengajukan saran pertimbangan kepada Menteri Kehakiman untuk mengaktifkan
kembali HG, sasaran mana disetujui oleh Menteri dan dilaksanakan tanggal 27 Desember 1980, dengan surat
Telegram No. MKP.05.05.02.
Dari hasil pendalaman pemeriksaan, dapat
diungkapkan adanya penyimpangan
penyelesaian perkara yang berlatar belakang kepada “pungli” antara lain sebagai
berikut:
.Sistem pendistribusian perkara
Dalam pendistribusian perkara baik pidana
maupun perdata terdapat kebiasaan
sementara pejabat Pengadilan untuk memberikan imbalan uang yang besar
kecilnya tergantung kepada nilai dari perkara bersangkutan dengan konsekuensi apabila
tidak diberikan imbalan pejabat yang bersangkutan tidak akan ditunjuk untuk menangani perkara.
Pejabat-pejabat yang telah memberikan
imbalan tersebut, dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya menggunakan kesempatan untuk mendapatkan imbalan dari
para pencari keadilan dengan cara antara lain: menunda sidang, memperlambat putusan, memerintahkan penahanan
atau pelepasan dari tahanan.
Cara tersebut di atas di samping dapat
dilakukan melalui calo-calo atau pengacara antara lain dengan meminta agar
perkara yang ditanganinya disidangkan oleh hakim yang dipilih, bahkan ada di
antaranya yang dilakukan oleh pejabat
pengadilan sendiri yang meminta perkara tersebut dapat diperiksa olehnya.
Penyelesaian
permohonan pewarganegaraan
Dalam proses penyelesaian permohonan
pewarganegaraan dan SBKRI yang pada umumnya diselesaikan secara borongan
melalui calo, dengan cara memberikan imbalan tertentu kepada pejabat Pengadilan
yang mengurusi permohonan.
Calo-calo yang mengurus permohonan tersebut
telah meminta biaya pengurusan yang besarnya antara Rp 1 juta sampai dengan Rp
1.700.000, sedangkan biaya yang sebenarnya hanya sekitar Rp 200.000-Rp
300.000 termasuk di dalamnya pembayaran
pajak.
Cara
penyidangan perkara
Dalam penyidangan perkara, khususnya yang
banyak terjadi dalam kasus-kasus perdata, sidang-sidang dilakukan tanpa
memperhatikan prosedur yang ditentukan dalam
perundang-undangan antara lain
sidang dilakukan dalam ruang kerja hakim. Hakim yang seharusnya merupakan majelis,
dalam sidang tidak mengikuti proses pemeriksaan bahkan dalam musyawarah hakim,
para hakim anggota tidak diikutsertakan melainkan hanya menandatangani putusan
yang sebelumnya sudah disiapkan.
Di samping itu terdapat pula penyimpangan
yang dari segi teknis dapat mengakibatkan batalnya putusan antara lain putusan
yang diucapkan di muka persidangan tidak sesuai dengan bunyi putusan dan terdapat pula putusan yang membatalkan
putusan pengadilan yang setingkat.
Dengan telah terungkapnya masalah-masalah tersebut di atas, maka
dapatlah diketahui bahwa ditinjau secara keseluruhan kasus HG merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari suatu sistem
penyelesasian perkara yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan oleh
pejabat-pejabat di lingkungan peradilan. Demikian Opstibpus. (AB/33/W)
Harian Umum “AB”
Kamis,
29 Januari 1981—23 Rabiul Awal 1401H
HL-1
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.