Saturday 13 September 2014

Teropong



                                        Bungkam
                                                                    
                                                                           Oleh: Mustofa AS


     PORNOGRAFI kini bagai ‘menu hangat’ yang acap dibicarakan dan memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari kalangan masyarakat yang masih berhati nurani, bermoral baik, dan masih berpikir tentang generasi penerus bangsa. Maka,  sudah sepantasnyalah Polda Metro Jaya memproses lima pemimpin redaksi media massa cetak dengan tuduhan telah menyiarkan gambar/tulisan yang melanggar kesusilaan melalui majalah atau tabloid yang mereka pimpin. Lima pemred itu masing-masing dari Popular, Liberty, Matra, Pop, dan Obyektif.


    Kini timbul pro dan kontra mengenai pemakaian istilah pornografi. Jika didasarkan pada cara pandang masing-masing pribadi, tentu istilah ini sangat subjektif sifatnya. Apalagi masing-masing pasti mencari pembenaran sendiri-sendiri. Tetapi, tentu ada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat kita, ada kepatutan yang sudah menjadi acuan umum.  Dalam masalah pornografi, tentu alasan yang paling mudah untuk melindungi diri adalah seni. Wanita telanjang yang disebarluaskan melalui media massa cetak adalah seni. Ya betul, seni mencari uang.

    Gambar-gambar cabul kini tidak saja digelar di internet dan kios-kios penjual koran atau majalah, tapi juga telah merambah di toko-toko buku. Kalau Anda berminat membeli VCD porno, barang-barang itu mudah didapat karena digelar terang-terangan, bahkan dengan harga murah, karena banyak barang bajakan.

     Tulisan porno atau jorok sekarang dijual untuk umum melalui tabloid. “Saya baca tulisan di tabloid itu dan saya langsung terangsang,” kata seorang wartawan yang mengaku membaca satu artikel di tabloid Mop terbitan Jakarta. “Mirip buku stensilan zaman dulu,”tambahnya. Teman lain juga membaca tulisan di tabloid terbitan Jakarta, judulnya Cara Sehat Bersenggama. Di tabloid itu disuguhkan gambar-gambar lelaki dan perempuan bugil yang sedang melakukan hubungan seks.

     Ironis memang. Ketika era reformasi yang membawa kebebasan digulirkan, adegan wanita setengah telanjang pun bisa kita nikmati setiap pagi melalui melalui tayangan film-film India di televisi swasta kita. Dan, para orangtua banyak yang membiarkan anak-anaknya menonton adegan demi adegan film yang bisa segera ditiru oleh anak-anak kita. Sehingga, kadang orangtua kaget anaknya pandai menyatakan sesuatu. Setelah ditelusuri ternyata berasal dari gurunya, yakni televisi.

     Kebebasan pers telah tercemar. Maka, keadaan ini pun mendapat reaksi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang menyesalkan  penerbitan bersifat pornografi yang telah mencemari prinsip-prinsip kebebasan pers
.
    Kembali ke soal pornografi, biasanya yang diekspos secara berlebihan adalah  aurat perempuan. Tetapi sayangnya, banyak LSM yang biasanya ‘galak’ memperjuangkan kaum hawa, kini bungkam seribu bahasa melihat kehormatan kaumnya dihina dan dilecehkan sedemikian rupa dengan cara dibeberkan dan diperdagangkan di muka umum. Dan, justru yang bersuara lantang kali ini adalah kelompok mahasiswi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang pada 1 Juli 1999 menuntut pemerintah menertibkan pornografi. Selamat datang generasi pencerah kehormatan kaum wanita.


Harian Umum ABRI
Jumat, 9 Juli 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.