Bungkam
Oleh: Mustofa AS
PORNOGRAFI kini bagai ‘menu
hangat’ yang acap dibicarakan dan memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari
kalangan masyarakat yang masih berhati nurani, bermoral baik, dan masih
berpikir tentang generasi penerus bangsa. Maka,
sudah sepantasnyalah Polda Metro Jaya memproses lima pemimpin redaksi
media massa cetak dengan tuduhan telah menyiarkan gambar/tulisan yang melanggar
kesusilaan melalui majalah atau tabloid yang mereka pimpin. Lima pemred itu
masing-masing dari Popular, Liberty,
Matra, Pop, dan Obyektif.
Kini timbul pro dan kontra
mengenai pemakaian istilah pornografi. Jika didasarkan pada cara pandang
masing-masing pribadi, tentu istilah ini sangat subjektif sifatnya. Apalagi
masing-masing pasti mencari pembenaran sendiri-sendiri. Tetapi, tentu ada
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat kita, ada kepatutan yang sudah
menjadi acuan umum. Dalam masalah
pornografi, tentu alasan yang paling mudah untuk melindungi diri adalah seni.
Wanita telanjang yang disebarluaskan melalui media massa cetak adalah seni. Ya
betul, seni mencari uang.
Gambar-gambar cabul kini
tidak saja digelar di internet dan kios-kios penjual koran atau majalah, tapi
juga telah merambah di toko-toko buku. Kalau Anda berminat membeli VCD porno,
barang-barang itu mudah didapat karena digelar terang-terangan, bahkan dengan
harga murah, karena banyak barang bajakan.
Tulisan porno atau jorok
sekarang dijual untuk umum melalui tabloid. “Saya baca tulisan di tabloid itu
dan saya langsung terangsang,” kata seorang wartawan yang mengaku membaca satu
artikel di tabloid Mop terbitan
Jakarta. “Mirip buku stensilan zaman dulu,”tambahnya. Teman lain juga membaca
tulisan di tabloid terbitan Jakarta, judulnya Cara Sehat Bersenggama. Di
tabloid itu disuguhkan gambar-gambar lelaki dan perempuan bugil yang sedang
melakukan hubungan seks.
Ironis memang. Ketika era
reformasi yang membawa kebebasan digulirkan, adegan wanita setengah telanjang
pun bisa kita nikmati setiap pagi melalui melalui tayangan film-film India di
televisi swasta kita. Dan, para orangtua banyak yang membiarkan anak-anaknya
menonton adegan demi adegan film yang bisa segera ditiru oleh anak-anak kita.
Sehingga, kadang orangtua kaget anaknya pandai menyatakan sesuatu. Setelah
ditelusuri ternyata berasal dari gurunya, yakni televisi.
Kebebasan pers telah
tercemar. Maka, keadaan ini pun mendapat reaksi dari Masyarakat Pers dan
Penyiaran Indonesia (MPPI) yang menyesalkan
penerbitan bersifat pornografi yang telah mencemari prinsip-prinsip
kebebasan pers
.
Kembali ke soal pornografi,
biasanya yang diekspos secara berlebihan adalah
aurat perempuan. Tetapi sayangnya, banyak LSM yang biasanya ‘galak’
memperjuangkan kaum hawa, kini bungkam seribu bahasa melihat kehormatan kaumnya
dihina dan dilecehkan sedemikian rupa dengan cara dibeberkan dan diperdagangkan
di muka umum. Dan, justru yang bersuara lantang kali ini adalah kelompok
mahasiswi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang pada 1 Juli
1999 menuntut pemerintah menertibkan pornografi. Selamat datang generasi
pencerah kehormatan kaum wanita.
Harian Umum ABRI
Jumat, 9 Juli 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.