Wednesday 3 September 2014

Teropong



                                Benci tapi Rindu
                                                           
                                                            Oleh: Mustofa AS


     WAKTU mendekati pukul 13.00 WIB. Saat itu di perempatan Caman, Kalimalang, Bekasi, panas terik terasa  menyengat tubuh. Kemacetan total arus lalulintas tengah berlangsung di sana. Teriakan anak-anak tanggung yang menjadi Pak Ogah menambah suasana gerah menjadi makin tak karuan. Sehingga, seorang supir mikrolet M-26 (Bekasi-Kampung Melayu) tampak kesal dan meluncurlah kata-kata dari mulutnya. ”Coba kalau ada polisi, tak mungkin terjadi kemacetan seperti ini,”katanya seolah kepada diri sendiri. “Soalnya, kemacetan ini sengaja dibuat oleh anak-anak untuk mencari uang rokok, buat minum-minum sampai mabok,”ujarnya tanpa ditanya. 


     Sebuah Metro Mini M-54 (Kampung Melayu-Pondok Kelapa) meluncur di Jalan DI Panjaitan, tiba-tiba sang kondektur berteriak,”Awas Polis!” Sang supir yang mendapat peringatan itu pun urung berhenti sembarangan untuk mengambil penumpang. Ia rupanya takut terhadap polisi.

     Dari kedua peristiwa di atas, kita dapat melihat dua sikap yang kontradiktif terhadap kehadiran polisi. Peristiwa pertama menggambarkan betapa polisi dibutuhkan  dan didambakan kehadirannya pada saat-saat tertentu. Sedangkan, pada peristiwa kedua polisi seakan makhluk asing yang harus ditakuti. Sehingga, para supir umumnya lebih takut atau patuh kepada polisi, bukan kepada peraturan atau hukum. Maklumlah, kesadaran  hukum di masyarakat kita masih coreng-moreng.

    Karena itu, selama ini polisi dianggap sebagai sosok hukum. Kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat bukanlah sebagai teman, tetapi lebih terkesan sebagai sosok yang harus ditakuti. Maka, jika polisi melanggar hukum, reaksi keras dari masyarakat pun bermunculan.

    Banyak orang membenci polisi karena  tindakan-tindakan hamba hukum ini yang seringkali justru melanggar hukum.  Oknum polisi yang memeras, pungli, denda damai, dan lain-lain tindakan yang merusak citra Polri masih sering terjadi. Sikap masa bodoh aparat kepolisian juga membuat masyarakat ikut-ikutan berbuat masa bodoh. Contohnya, soal kemacetan lalulintas di Jalan Jatinegara Timur. Kemacetan yang selalu terjadi di jalan yang tidak jauh dari, dan bahkan di depan, Kantor Polres Jaktim itu seakan-akan kejadian biasa dan wajar. Dan, seakan-akan di kantor Polres itu tidak ada satu pun anggota polisi yang menghuninya.

    Contoh buruk lainnya adalah deretan kendaraan yang diparkir di jalur lambat Jalan Kramat Raya, tepatnya di depan Polres Jakarta Pusat, yang sering membuat macet arus lalulintas di sana. Pelanggaran hukum  tersebut terjadi di depan mata  aparat penegak hukum. Tetapi, polisi  seakan tidak peka lagi terhadap aturan yang sudah harus ditegakkan itu.

     Polisi dibenci karena ulah para oknum yang menimbulkan antipati kalangan masyarakat. Tetapi, kehadiran mereka dirindukan ketika terjadi peristiwa genting atau tindak kejahatan dan juga kemacetan lalulintas. Begitulah yang terjadi pada polisi kita. Dibenci tetapi sekaligus dirindukan. Dicacimaki tetapi selalu dibutuhkan.

     Bukan hanya  oknum-oknum polisi yang melakukan denda damai, pemerasan, pungli, dan  tindakan melanggar hukum lainnya. Tetapi, sorotan terhadap polisi begitu tajam, bahkan polisi sering dipojokkan. Mengapa? Tentu karena polisi merupakan pelayan masyarakat. Posisi polisi lebih dekat kepada masyarakat dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Polisi didambakan sebagai pengayom masyarakat, selain sebagai Bhayangkara Negara.

     Sebenarnya masih banyak polisi yang baik (bersih) dibandingkan polisi jelek. Tetapi, citra polisi sudah sedemikian buruk. Sehingga, apa pun kerja keras yang dilakukan polisi, terutama dalam memberantas tindak kejahatan, seakan-akan hal yang biasa saja.

    Kritik pedas ataupun kecaman terhadap polisi menandakan bahwa masyarakat kita menaruh perhatian terhadap aparat kepolisian. Barangkali kritik atau kecaman itu bisa dijadikan sebagai cambuk untuk mengubah citra buruk polisi kita di mata masyarakat.

     Kita boleh saja membenci polisi yang jelek dalam melayani masyarakat. Tetapi, kita juga harus menaruh hormat kepada polisi yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Polisi yang baik itulah yang kita dambakan, kita rindukan. Dirgahayu Polri!


Harian Umum ABRI
Jumat, 2 Juli 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.