Wednesday 3 September 2014

Teropong


                                                                    Jagal
 
                                                           Oleh: Mustofa AS

     SEORANG pria perancang bangunan gedung yang piawai, hampir setiap malam ‘kerja lembur’. Sepulang dari kantor ia tidur beberapa jam. Dan, pada malam harinya ia menelusuri jalan-jalan kota yang rawan  kejahatan. Biasanya, ia selalu menyertakan senjata genggamnya. Dengan senjata itu, ia bunuh setiap penjahat yang dipergokinya. Ia melakukan  itu sekadar memenuhi panggilan batinnya untuk memberantas kejahatan. Karena, para penegak hukum tak mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada penduduk, akibat bersimaharajalelanya tindak kriminal. Di samping itu, melalui perbuatan tersebut naluri jahat yang dimilikinya dapat tersalurkan. Tindakam main hakim sendiri itu digambarkan dalam film Dead Wish  dengan pemeran utama Charles Bronson.


     Di negara kita beberapa tahun lalu juga terjadi penembakan misterius terhadap para pelaku kejahatan atau lebih dikenal dengan  sebutan Petrus. Ini juga tindakan main hakim sendiri dengan  versi tersendiri pula.

     Banyak ahli hukum dan penyanjung hak asasi manusia berteriak lantang menentang tindakan main hakim sendiri itu. Namun, sebenarnya banyak kalangan merasa lega atas pembasmian  penjahat dari muka bumi ini, dan diam-diam mereka mendukungnya. Karena, hukum tidak berjalan dengan semestinya , melainkan diselewengkan untuk kekuasaan dan dikomersialkan. Sehingga, perkara yang tidak mendatangkan uang adalah bukan perkara. Mereka yang mampu menyuap bisa bebas tetapi mereka yang tidak punya uang boleh menghabiskan sebagian hidupnya di ‘hotel prodeo’.

     Maka, ketika masyarakat kita semakin berani main hakim sendiri, jangan pula kita terkejut. Tentu ada alasan-alasan yang patut kita telusuri dan kemudian dicarikan pemecahannya. Ada kemungkinan alasannya tidak jauh dari tidak adanya rasa keadilan. Karena perangkat hukum yang ada tidak mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. Karena, tidak ada kepastian dalam hukum, kepercayaan masyarakat terhadap hukum pun berkurang, bahkan mungkin hilang. Mengapa  sekarang pencuri dikeroyok sampai mati? Bahkan, sudah dijagal lantas dibakar pula. Mengapa tak diserahkan ke polisi? Nah, jawabannya ada pada diri Anda masing-masing sebagai anggota masyarakat.

     Sebuah koran ibu kota mengutip data dari instalasi kamar mayat RSCM yang mengungkapkan bahwa dalam periode Januari hingga 22 Juni 1999, sebanyak 73 orang tewas dikeroyok massa di Jakarta dan sekitarnya. Dari jumlah itu sedikitnya dua orang dibakar, satu di antaranya dibakar hidup-hidup. Nah, kalau data diambil dari seluruh Nusantara  berapa banyak orang tewas dijagal massa? Nampaknya kebrutalan massa membunuh pelaku kejahatan merupakan kompensasi dari keadaan yang menjepit. Yakni, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap hukum, yang selama ini dikuasai oleh sekelompok orang saja.

     Naluri membunuh yang dimiliki massa terpicu oleh kenyataan bahwa penjahat bisa seenaknya memperlakukan korbannnya, termasuk membunuh. Naluri membunuh akan terpicu pula oleh kondisi lingkungan  di mana kita berada.

     Sebenarnya, di sekitar kita banyak berkeliaran pembunuh. Ada yang langsung terlihat seperti digambarkan di atas, tetapi banyak pula pembunuh  tersembunyi. Para pengusaha yang tamak juga merupakan pembunuh berdarah dingin bagi lawan-lawan usahanya. Para pengembang yang rakus juga membunuh pemilik tanah secara perlahan-lahan dengan terlebih dulu menyingkirkannya. Demikian pula sang penguasa, mereka bisa menjadi pembunuh yang sadis untuk kepentingan kekuasaannya. Bahkan, banyak pula orangtua yang membunuh masa depan anak-anaknya.

     Naluri membunuh yang dimiliki manusia akan semakin terpicu dan melahirkan pembunuhan-pembunuhan baru. Karena, kita diajari oleh para pemimpin kita yang bertindak sebagai pembunuh berdarah dingin. Kita diajari bagaimana caranya membunuh oleh televisi kita. Anak-anak kita diberitahu bagaimana hebatnya jadi penjahat. Hal itu bukan sehari dua hari atau seminggu dua minggu tetapi sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Film-film berdarah muncrat lebih tinggi ratingnya  sehingga mampu mengeruk perolehan iklan yang lumayan.


Harian Umum ABRI
Kamis, 24 Juni 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.