Jagal
Oleh: Mustofa AS
SEORANG pria perancang bangunan gedung
yang piawai, hampir setiap malam ‘kerja lembur’. Sepulang dari kantor ia tidur
beberapa jam. Dan, pada malam harinya ia menelusuri jalan-jalan kota yang
rawan kejahatan. Biasanya, ia selalu
menyertakan senjata genggamnya. Dengan senjata itu, ia bunuh setiap penjahat
yang dipergokinya. Ia melakukan itu
sekadar memenuhi panggilan batinnya untuk memberantas kejahatan. Karena, para
penegak hukum tak mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada penduduk, akibat
bersimaharajalelanya tindak kriminal. Di samping itu, melalui perbuatan
tersebut naluri jahat yang dimilikinya dapat tersalurkan. Tindakam main hakim
sendiri itu digambarkan dalam film Dead
Wish dengan pemeran utama Charles
Bronson.
Di negara kita beberapa tahun lalu juga
terjadi penembakan misterius terhadap para pelaku kejahatan atau lebih dikenal
dengan sebutan Petrus. Ini juga tindakan
main hakim sendiri dengan versi
tersendiri pula.
Banyak ahli hukum dan penyanjung hak asasi
manusia berteriak lantang menentang tindakan main hakim sendiri itu. Namun,
sebenarnya banyak kalangan merasa lega atas pembasmian penjahat dari muka bumi ini, dan diam-diam
mereka mendukungnya. Karena, hukum tidak berjalan dengan semestinya , melainkan
diselewengkan untuk kekuasaan dan dikomersialkan. Sehingga, perkara yang tidak
mendatangkan uang adalah bukan perkara. Mereka yang mampu menyuap bisa bebas
tetapi mereka yang tidak punya uang boleh menghabiskan sebagian hidupnya di
‘hotel prodeo’.
Maka, ketika masyarakat kita semakin
berani main hakim sendiri, jangan pula kita terkejut. Tentu ada alasan-alasan
yang patut kita telusuri dan kemudian dicarikan pemecahannya. Ada kemungkinan
alasannya tidak jauh dari tidak adanya rasa keadilan. Karena perangkat hukum
yang ada tidak mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. Karena, tidak ada
kepastian dalam hukum, kepercayaan masyarakat terhadap hukum pun berkurang,
bahkan mungkin hilang. Mengapa sekarang
pencuri dikeroyok sampai mati? Bahkan, sudah dijagal lantas dibakar pula.
Mengapa tak diserahkan ke polisi? Nah, jawabannya ada pada diri Anda
masing-masing sebagai anggota masyarakat.
Sebuah koran ibu kota mengutip data dari
instalasi kamar mayat RSCM yang mengungkapkan bahwa dalam periode Januari
hingga 22 Juni 1999, sebanyak 73 orang tewas dikeroyok massa di Jakarta dan
sekitarnya. Dari jumlah itu sedikitnya dua orang dibakar, satu di antaranya
dibakar hidup-hidup. Nah, kalau data diambil dari seluruh Nusantara berapa banyak orang tewas dijagal massa?
Nampaknya kebrutalan massa membunuh pelaku kejahatan merupakan kompensasi dari
keadaan yang menjepit. Yakni, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap hukum,
yang selama ini dikuasai oleh sekelompok orang saja.
Naluri membunuh yang dimiliki massa
terpicu oleh kenyataan bahwa penjahat bisa seenaknya memperlakukan korbannnya,
termasuk membunuh. Naluri membunuh akan terpicu pula oleh kondisi
lingkungan di mana kita berada.
Sebenarnya, di sekitar kita banyak
berkeliaran pembunuh. Ada yang langsung terlihat seperti digambarkan di atas,
tetapi banyak pula pembunuh tersembunyi.
Para pengusaha yang tamak juga merupakan pembunuh berdarah dingin bagi
lawan-lawan usahanya. Para pengembang yang rakus juga membunuh pemilik tanah
secara perlahan-lahan dengan terlebih dulu menyingkirkannya. Demikian pula sang
penguasa, mereka bisa menjadi pembunuh yang sadis untuk kepentingan
kekuasaannya. Bahkan, banyak pula orangtua yang membunuh masa depan
anak-anaknya.
Naluri membunuh yang dimiliki manusia akan
semakin terpicu dan melahirkan pembunuhan-pembunuhan baru. Karena, kita diajari
oleh para pemimpin kita yang bertindak sebagai pembunuh berdarah dingin. Kita
diajari bagaimana caranya membunuh oleh televisi kita. Anak-anak kita
diberitahu bagaimana hebatnya jadi penjahat. Hal itu bukan sehari dua hari atau
seminggu dua minggu tetapi sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Film-film
berdarah muncrat lebih tinggi ratingnya
sehingga mampu mengeruk perolehan iklan yang lumayan.
Harian Umum ABRI
Kamis, 24 Juni 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.