Islam Media
Jokowi,
Hebohisme, dan Ironi-ironi (1)
Jumat 26 Safar 1436 / 19 December
2014 14:00
DUNIA sudah
mengenal berbagai macam isme. Ada kapitalisme, sosialisme, liberalisme, juga
komunisme. Tapi, tahukah Anda, kalau di Indonesia ada tambahan isme baru. Yang saya
maksud adalah hebohisme. Ya, hebohisme.
Hebohisme
di Indonesia memang tidak eksis setiap waktu. Tidak sepanjang tahun. Ia cuma
musiman, sebagaimana juga halnya dengan musim durian, musim rambutan, musim
mangga, dan seterusnya. Hebohisme muncul saat-saat tertentu, terutama menjelang
pesta demokrasi. Di Indonesia demokrasi telah terjerembab menjadi demokrasi
prosedural, transaksional, dan akhirnya demokrasi kriminal.
Saat-saat
pesta demokrasi itulah, hebohisme menemukan lahan yang amat subur. Ia bersemi dan
bertumbuh-kembang dengan dahsyat. Lihat saja, bagaimana orang-orang sibuk
mematut diri menjual tampang dan kiprah. Inilah saat mereka berheboh ria
merebut atensi publik dengan harapan akan memperoleh ganjaran suara.
Nah,
hebohisme ini kian menemukan jati dirinya dengan bantuan media. Buat mereka
yang punya duit seabrek-abrek, ditambah jurus promosi yang yahud, jadilah
mereka dikenal publik secara luas. Maka jangan heran, kalau orang yang selama
ini dikenal sebagai penjahat, lewat media tiba-tiba menjadi bak pahlawan. Para
koruptor pun ujug-ujug menjadi sangat santun dan perhatian kepada rakyat di
pelosok-pelosok negeri. Hmm…
Raja
hebohisme
Kendati
begitu, tidak semua orang bisa sukses memanfaatkan musim hebohisme. Indonesia
mencatat beberapa saja yang terbilang berjaya. Pada menjelang Pilpres,
misalnya, ada nama Dahlan Iskan yang sibuk membanting kursi-kursi gardu tol.
Publik pun terhentak dengan aksi heboh Dahlan. Lalu, ditambah naik KRL dan ojek
ke Istana, makan soto dan melayani sendiri mangkuknya di terminal. Semuanya
benar-benar heboh. Rakyat pun tersihir. Inilah Dahlan Iskan, calon pemimpin
yang merakyat. Pemimpin Indonesia masa depan. Heboh!
Pada
saat yang hampir sama, ada Risma, Walikota Surabaya yang juga membuat heboh
dengan tangisannya di televisi. Lalu, pasca Pilpres, publik disuguhi kehebohan
Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertatto dan merokok di
Istana usai pengumuman Kabinet Kerja. Juga ada atraksi heboh Menakertrans
Muhammad Hanif Dakhiri yang loncat pagar kantor perusahaan PJTKI.
Tapi
di atas semua itu, ada raja heboh yang sukses luar biasa. Siapa lagi kalau
bukan Joko Widodo. Lelaki kerempeng dari Solo ini benar-benar membuat Indonesia
heboh. Tampangnya yang ndeso, ternyata bisa jadi modal kuat untuk mendulang
simpati dan, tentu saja, suara. Buktinya, walau lari dari tugas sebagai
Walikota Solo yang belum tuntas, dia berhasil mendepak petahana Fauzi Bowo
alias Foke dari kursa DKI-1.
Penyakit
desertir Jokowi kembali kumat, ketika dia bertarung memperebutkan kursi RI-1. Hasilnya,
lewat media dan hebohisme, dia sukses menyingkirkan Prabowo dari pertarungan.
Media berhasil menyihir rakyat dengan sepak terjang Jokowi yang heboh. Blusukan
yang menyemai kesan kesederhanaan dan merakyat benar-benar jadi senjata ampuh.
Ditambah dengan celetukan-celetukannya yang ndeso, jauh dari bobot intelek, dia
benar-benar sanggup merengkuh sukses dengan bekal hebohisme.
Hebohisme
= pembohongan publik
Hebohisme
menjadi ampuh dengan bantuan media. Di tangan media, dengan segala pertimbangan
dan kepentingan pemiliknya, yang biasa-biasa saja bisa jadi luar biasa.
Penjahat jadi pahlawan. Koruptor jadi tokoh yang dihormati. Dan seterusnya dan
seterusnya.
Sejatinya,
hebohisme, pada faktanya, adalah pembohongan sekaligus pembodohan publik.
Rakyat disodori segala hal yang heboh padahal kosong-melompong. Hebohisme
nyaris senantiasa sepi, untuk menghindari kata nihil, dari substansi. Kerja
media yang didahului dengan agenda dan media setting, benar-benar sukses
menyihir atensi dan nalar publik.
Maaf,
kalau saya sepertinya rada kasar dengan mengatakan hebohisme sepi dari
substansi. Tapi, setelah berjalan sekian bulan, Jokowi dengan Kabinet Kerja-nya
memang nyaris tanpa prestasi substantif, selain hebohisme tadi. Yang ada justru
dari ironi ke ironi. Yang lebih tragis lagi, yang terjadi adalah dari paradok
ke paradok.
BERSAMBUNG
Islam Media
Jokowi, Hebohisme dan Ironi-ironi (2-Habis)
Jumat 26 Safar 1436 / 19 December 2014 17:00
KESAN merakyat dan janji-janji berpihak
kepada wong cilik sepanjang Pilpres, ternyata semuanya omdo, alias omong doang.
Kenaikan harga BBM jenis premium, penghapusan beras untuk rakyat miskin
(raskin), rencana menaikkan harga gas LPG 3kg, kenaikan tarif dasar listrik
(TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400% adalah bukti
rencengan ironi dan paradok tadi.
Janji kabinet ramping, kabinet tidak
transaksional, Jaksa Agung nonpartai, menjalankan jargon Trisakti, melindungi pengusaha
UMKM dan pengusaha nasional, dan lainnya ternyata gombal belaka. Hanya dalam
tempo kurang dari dua bulan berkuasa, semuanya disapu bersih dengan berbagai
kebijakan yang justru sebaliknya. Kebijakan yang ironis dan paradok.
Tak pelak lagi, media punya peran amat penting
dalam menciptakan dan menggoreng hebohisme. Tidak berlebihan jika dikatakan
media, khususnya media mainstream, adalah pihak yang paling berdosa atas
tertipunya rakyat akibat hebohisme. Masih teringat dengan jelas, bagaimana
media mendewa-dewakan Capres Jokowi menjelang Pilpres.
Dengan berlagak seperti Tuhan media dengan jumawa
‘menakdirkan’ kalau Jokowi jadi presiden, maka ekonomi yang morat-marit akan
rapi jali. Foreign direct investment (FDI) akan deras menggerojog Indonesia.
Rupiah akan menguat hingga menembus Rp10.000/US$, dan lainnya.
Silakan klik lagi sejumlah link media mainstream
ini:
http://m.tribunnews.com/bisnis/2014/03/14/jokowi-jadi-capres-rupiah-akan-tajam-menguat-rp-10500
http://m.tempo.co/read/news/2014/02/24/087556888/Jokowi-Jadi-Presiden-Rupiah-Bisa-Tembus-10-Ribu. http://microsite.metrotvnews.com/indonesiamemilih/read/2014/02/11/796/214974/Investor-Yakin-Rupiah-Menguat-Andai-Jokowi-Presiden-http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/01/27/1912067/Ekonom.Jokowi.Jadi.Presiden.Rupiah.Bakal.Menguat.Tajam
Semuanya berita itu adalah bentuk hebohisme yang
keterlaluan. Kini, rupiah semakin terpuruk. Boro-boro menembus Rp10.000,
angkanya justru terus melunglai di kisaran Rp13.000. Level itu pun bisa dicapai
setelah Bank Indonesia (BI) bersusah payah berusaha menahan dengan terus
menguras devisa rata-rata Rp2,5 triliun/hari. Bahkan, konon, kemarin (Rabu,
17/12) BI mengguyur pasar hingga Rp5 triliun agar rupiah tidak kian terbenam.
Waduh…!
Dengan berbagai fakta ini, sudah saatnya bila
rakyat Indonesia ke depan tidak gampang termakan rayuan hebohisme. Rakyat harus
kian cerdas untuk menilai substansi daripada sekadar kehebohan kosong. Kepada
media, berhentilah bermain dengan hebohisme. Tolong sayangi dan kasihani rakyat
negeri ini. Jangan korbankan masa depan dan harapan rakyat demi kepentingan
sesaat kalian, para pemilik media.
Persoalan yang kita hadapi amat sangat berat dan
rumit. Semua itu tidak bisa diselesaikan dengan bermodal hebohisme belaka. Ia
perlu kapasitas, kapabelitas, dan integritas yang nihil dari kepentingan
pribadi dan kelompok. Jika negeri ini tetap tersihir dengan hebohisme, maka bayang-bayang
menjadi Next Philippine cuma soal waktu belaka.
Filipina tidak pernah menjadi negara hebat dan
disegani, karena rakyatnya tersihir dengan hebohisme. Para pemimpinnya lahir
dari hebohisme media. Ada bintang film, bintang iklan, dan lainnya yang serba
heboh tanpa kemampuan substantif. []
Sumber:Islampos.com
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.