Tuesday 10 March 2015

Mahasiswa Indonesia di Mesir kembangkan citra positif


    SAAT ini sekitar 3.000 pelajar/mahasiswa Indonesia tengah menimba ilmu di Mesir. Mereka umumnya berasal dari pesantren/madrasah dan perguruan tinggi dari pelosok Tanah Air merantau menuntut ilmu di sejumlah perguruan di sana.

    Zaini Hasan (30 tahun), mahasiswa tingkat tiga Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, setelah menamatkan pelajarannya di Gontor tahun 1987,dan mengabdikan diri selama dua setengah tahun di tempat ia dididik selama empat tahun, ia memilih belajar di Kairo.



    Sebagai kader Gontor, mahasiswa ini dibiayai oleh pesantren modern di Ponorogo itu bersama 18 kader lainnya, dua di antaranya puteri. Bersama teman-temannya, mahasiswa kelahiran Wonokromo Tengah, Jatim, itu kini tinggal di asrama Madinatul Buust Al Islamiyah, Kairo.

    Selain belajar, Zaini juga aktif  di Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (HPMI) Mesir dan ia membidangi kesenian dalam kepengurusan organisasi itu..”Kami mempunyai program memperkenalkan seni yang islami, musik, band, puisi, kegiatan ilmiah, pelatihan jurnalistik, dan temu wicara dengan para pakar,”ujar Zaini menjawab pertanyaan Angkatan Bersenjata di Kairo belum lama ini.


    Menurut Zaini, ketika baru pertama kali bergaul dengan orang-orang Mesir, ia mengalami kesulitan dan merasakan orang-orang Mesir sulit dipahami. Namun setelah lama bergaul ternyata mereka mudah bersahabat,
Boer Mauna
sehingga ia banyak teman di sana. Sedangkan dalam kuliah kesulitan yang ia hadapi di antaranya masalah bahasa Arab slang yang belum banyak ia pahami. Sehingga ia lebih banyak memahami materi kuliah dari buku-buku.

    Sejak kedatangannya di Kairo, Zaini Hasan belum pernah pulang kampung. Katanya, bukan ia tak rindu kampung, tetapi karena tidak punya uang, ditambah masa-masa ujian mengharuskan ia tetap berada di Kairo. “Sarana telekomunikasi ada tetapi tak ada duit untuk menelpon,” ujarnya sambil menuturkan, ia memperoleh uang saku 73 LE (Pound Mesir) atau sekitar Rp 47.450, dan tinggal di asrama yang ditanggung  Pemerintah Mesir karena  Zaini lancar dalam studinya. Bagi mahasiswa yang stuidinya tidak lancar alias pernah tidak naik tingkat hanya memperoleh 62 LE atau sekitar Rp 40.300 .(1 LE sama dengan Rp 650). Sedangkan mahasiswa yang tidak tinggal di asrama  memperoleh 120 LE atau Rp 78.000 per bulan.

    Zaini mengatakan ia kuliah setingkat S1 dengan menempuh paket kuliah14-16 pelajaran yang harus habis dalam satu semester. Selain itu ia harus hafal dua juz Alquran dalam satu tingkat (setahun).”Dalam empat tahun kami diuji 8 juz Alquran, dengan pertimbangan karena orang Asia dinilai kurang mampu menghafal, padahal untuk mahasiswa asal Mesir mereka diharuskan hafal Alquran 7 juz dalam setahun,”katanya. Wajib hafal Alquran ini diperuntukkan bagi mahasiswa Ushuluddin (ilmu-ilmu dasar agama), Syariat (hukum), Islamic Study, dan Fakultas Bahasa.

    Sebagai mahasiswa di Kairo, Zaini juga  pernah ikut program isi kantong dengan bekerja pada PT Tiga Utama pada musim haji dengan honorarium yang lumayan. Untuk pergi ke Arab Saudi ia dan sejumlah temannya harus mencari modal untuk biaya perjalanan dengan cara utang.”Ongkos kapal laut dari Suez ke Jeddah pp dengan perjalanan dua malam tiga hari sebesar 350 dolar AS,”katanya.

    Terkadang ia dan teman-temannya juga mnenyediakan dirinya  sebagai badal haji, di samping menjual benda-benda cenderamata kepada Jemaah haji.”Tapi dalam dua tiga tahun ini rasanya sulit bekerja pada musim haji karena  selalu bertepatan dengan ujian, sehingga kantong kering,”tutur mahasiswa yang berpenampilan kalem dan murah senyum ini.

    Tamatan Gontor lainnya, M. Ghozali Moenawar, memilih fakultas filsafat di Al Azhar. Di perguruan yang memiliki 14.000 mahasiswa  dan tersebar di sejumlah provinsi di Mesir itu, ia kini duduk di tingkat terakhir.”Setelah dari Kairo saya ingin melanjutkan studi di Amerika,”tuturnya. Sedangkan Najib Tabhan, yang baru menamatkan S-1 Fakultas Teologi Al Azhar, sebelumnya belajar di Pondok Pesantren Darul  Dakwahj Wal Irsyad, Pare-pare, Sulsel.

    Sebagai mahasiswa Ghozali termasuk aktif, selain berkiprah di iCMI Orwil Afrika dalam Divisi Sumber Daya Manusia dan Pembudayaan, ia juga bendahara Orsat ICMI Cairo. Arek Lamongan ini juga aktif menulis dan memimpin penerbitan buletin ICMI. Anggota ICMI di sana kini sebanyak 203 orang.

   Tamatan  Gontor tahun 1988  ini mengabdi di Ponpes Darunnajah, Jakarta, selama satu setengah tahun, ditambah pengalaman di Lembaha Islam dan Bahasa Arab.

    Ketika ditanya apakah mereka  tidak bisa mencari uang sambil belajar? Baik Zaini, Najib Tabhan, maupun Moenawar Ghozali mengatakan di Mesir mahasiswa dilarang bekerja, agar bisa konsentrasi dalam memperoleh ilmu.

Nusantara 

    Tidak semua mahasiswa beruntung memperoleh beasiswa dari Pemerintah Mesir, karrena batasan yang ada. Dewan Tinggi Urusan Islam di sana, misalnya, menetapkan mahasiswa Indonesia yang memperoleh beasiswa tahun ini sebanyak 20 orang, sedangkan yang datang lebih dari jumlah itu.”Untung di sini ada organisasi mahasiswa yang bisa membantu mahasiswa yang baru datang,”kata Moenawar.

    Moenawar kini tinggal di Sekretariat ICMI, di kawasan Nasr City. Di kawasan ini ada rumah makan Nusantara, satu-satunya rumah makan masakan Indonesia di Kairo yang dikelola oleh sejumlah mahasiswa kita, berpatungan usaha dengan  penduduk setempat.

    Nusantara yang menyajikan menu Indonesia, di antaranya  rendang dan soto, menjual rokok dan juga mi instan buatan Indonesia. Pelanggannya umumnya pelajar dan mahasiswa Indonesia. Maka, harga makanan pun disesuaikan dengan jangkauan kantong para mahasiswa.

    Para mahasiswa Indonesia di Mesir banyak juga yang tinggal di apartemen, dengan menyewa secara patungan. Sewa apartemen di sana relatif murah, apartemen  yang lumayan seluas 65m2 dikenakan sewa sekitar Rp 600.000/bulan biasanya lengkap dengan perabotan rumah tangga (termasuk AC), air gratis, listrik dan telepon dihitung borongan, misalnya tagihan listrik 200 LE perbulan, telepon  200 LE per 6 bulan. Sedangkan biaya telepon internasional, misalnya dari Kairo ke Jakarta, dikenakan 10 LE per tiga menit.

    Para mahasiswa biasanya menempati apartemen yang sewanya 100-150 dolar AS per bulan dan bisa dihuni dua sampai empat orang. Untuk makan ala Indonesia mereka rata-rata menghabiskan 10 LE per hari , tetapi kalau ingin makanan yang lebih murah mereka membeli makanan  di rumah-rumah makan  orang Mesir biasanya berkisar 5-6LE.

    Makanan orang Mesir sehari-hari adalah  eis, terbuat dari tepung gandum yang dipanggang, dan rasanya gurih. Harga nasi lebih mahal dari eis. Misalnya harga beras 2LE per kg, jika dibelikan eis akan memperoleh 20 lembar yang berukuran selebar piring kecil.

Apresiasi

    HUBUNGAN Mesir –Indonesia sangat berkembang terutama dari segi kemahasiswaan, karena banyaknya mahasiswa Indonesia yang menuntut berbagai disiplin ilmu di sejumlah kota di sana. Mereka datang ke Mesir memperoleh beasiswa dari Pemerintah RI cq Departemen Agama, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), beasiswa dari Pemerintah Mesir, dan lembaga di samping biaya mahasiswa sendiri.

    Masyarakat setempat umumnya menyambut baik keberadaan para mahasiswa Indonesia di negara yang berpenduduk 60,2 juta jiwa lebih itu. “Dengan bangga saya katakan bahwa  masyarakat Mesir  menilai mahasiswa Indonesia di Mesir serius dan tidak pernah  menimbulkan masalah  serta memiliki disiplin yang tinggi,”tutur Dubes RI untuk Republik Arab Mesir, Dr Boer Mauna.

    “Ketaatan dalam beragama  para mahasiswa kita  juga memperoleh  apresiasi dari masyarakat setempat. Para pejabat dan masyarakat di kota-kota di mana mahasiswa Indonesia berada  menilai para mahasiswa  kita bersungguh-sungguh dalam belajar, sangat kooperatif, termasuk bila ada kegiatan yang diselenggarakan masyarakat setempat,”kata Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Arab Mesir itu.

    Sebagai cerminan sambutan baik itu, kata Boer Mauna, Oktober tahun lalu Syeh Al Azhar memberikan dispensasi kepada  400 mahaiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Al Azhar walaupun mereka belum lagi siap dari segi administratif maupun persamaan ijazah.

    Mahasiswa Indonesia di Mesir nomor tiga terbesar setelah Amerika dan Eropa.”Kami memberikan pembinaan khusus kepada mereka karena merekalah bagian terbesar dari masyarakat Indonesia di Mesir,”tutur mantan Dubes RI di Maroko itu.

    Para mahasiswa Indonesia di sana umumnya berasal dari lingkungan kehidupan keagamaan yang kuat, dari madrasah dan pesantren, sehingga mereka memiliki nilai-nilai keagamaan yang teguh. Sehingga masyarakat setempat menghargai dan menyambut baik mereka.

    Di Mesir terdapat 15 kelompok yang satu sama lain erat berhubungan. Menurut Boer Mauna, mereka  juga merupakan duta-duta kita yang ikut mengembangkan citra positif Indonesia di luar negeri, khususnya di Mesir.

Terhindar

    DALAM memeriahkan HUT ke-50 RI di Mesir, kata Mauna, KBRI Kairo membentuk tim kesenian terpadu dan satu tim pameran kebudayaan, separuh dari tim berasal dari mahasiswa Indonesia di Mesir. “Mereka melakukan kegiatan bersama KBRI sepanjang tahun dengan  mengunjungi enam kota besar,”kata Dubes RI di Kairo itu. Sehingga masyarakat bukan hanya  mengetahui hubungan  antara kedua negara dan bangsa yang terjalin baik, tetapi mereka melihat pula kesenian dan kebudayaan  yang ditampilkan mahasiswa dan KBRI  mulai April di Alexandria dan berakhir di Tanta September lalu.

    Para mahasiswa kita memiliki 15 buletin, mereka memperoleh bantuan informasi bagi penerbitan mereka dari Kedubes RI. Para pelajar dan mahasiswa  sering berkonsultasi dengan KBRI.”Kami mendukung  upaya-upaya mahasiswa supaya mereka  dekat dan tidak merasa asing di luar negeri, dan mereka tetap mengembangkan  budaya sendiri.  Sehingga terhindar dari pengaruh dan gangguan  budaya asing,”kata Dubes yang pernah menjadi mahasiswa  selama 12 tahun di Paris itu.
(mustofa as/2.8)

Harian Angkatan Bersenjata
Jumat, 22 Desember 1995

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.