Tuesday 10 March 2015

Teropong



                             Mumpung
                                                         Oleh: Mustofa AS

    AJI mumpung pernah populer ketika pemerintah Orde Baru berkuasa. Istilah ini mengemuka karena nafsu serakah yang dimiliki sejumlah pemimpin saat itu, yang dampaknya kita rasakan sampai sekarang. Prinsip mereka, mumpung sedang berkuasa, mumpung bisa korupsi, mumpung bisa memanipulasi, mumpung bisa menindas rakyat, dan mumpung bisa mengatur, buat apa disia-siakan begitu saja.

     Sesungguhnya, aji mumpung bukan hanya dimonopoli oleh mereka yang berkuasa. Setiap individu pun sebenarnya bisa menggunakannya, cuma saja porsinya tidak sehebat pemegang kekuasaan. Contohnya, seorang pencuri menggunakan aji mumpung  dalam aksi menguras harta milik korbannya yang tak berada di rumah, mumpung rumah sepi.  Jadi, pencuri pun  menggunakan filsafat mumpung.


     Orang yang menggunakan aji mumpung, apalagi mumpung (selagi) berkuasa, cenderung otoriter, tidak peduli nasihat, dan juga tidak tahu malu. Padahal, malu adalah sebagian dari iman. Maka, orang yang tidak tahu malu itu dapat dikategorikan  sebagai orang yang sedang dalam krisis keimanan.

     Aji mumpung pada era reformasi ini bahkan boleh dikatakan meningkat. Bahklan, di kalangan parpol dan elite politik kita, aji mumpung pun mereka kibarkan. Mumpung jadi parpol yang memenangkan Pemilu, mumpung jadi parpol gurem, mumpung jadi wartawan, dan mumpung korannya laku dijual. Intinya, aji mumpung bisa digunakan  siapa saja. Dan, sekarang, aji mumpung ada kebebasan `pun bergulir deras bersama aji mumpung dalam hal lain seperti mumpung bisa memfitnah, mumpung bisa menuduh, mumpung bisa menjilat, dan mumpung bisa berlaku mencla-mencle. Atau, mumpung bisa menggunakan aji mumpung.

     Seorang pemimpin yang beraji mumpung bisa berbuat seenaknya dalam menentukan kebijakan atau pun kibijaksanaan yang seeringkali jauh dari bijaksana. Rasa subjektivitas pemimpin demikian akan melahirkan nepotisme, koncoisme, dan lunturnya budaya malu.

     Banyak contoh yang bisa kita lihat. Nepotisme yang terus disorot, ternyata tidak menyurutkan langkah sejumlah pemimpin kita untuk tetap menerapkannya. Dan , koncoisme juga makin merajalela, di samping   korupsi dan kolusi yang makin hari makin ramai. Tentu ini berkaitan  pula dengan aji mumpung, yakni mumpung masih bisa KKN. Karena, kemungkinan masa yang akan datang, mereka tidak bisa lagi ber-KKN ria. Pasalnya, KKN akan berganti rupa dengan istilah lain yang pada dasar nya (pada prakteknya) sama saja atau sarua keneh.

     Pantas atau tidak pantas tidak berlaku pada seseorang penganut filsafat mumpung.
     Gara-gara aji mumpung, seorang anak kemarin sore misalnya, bisa memperoleh penghargaan setingkat dengan seniornya yang memang sangat pantas menerima penghargaan itu. Akibatnya, penghargaan yang selama ini bernilai tinggi mengalami degradasi. Dan, karena mengumbar aji mumpung pula ekonomi kita runtuh, dunia perbankan kita porak-poranda, dan kerusuhan melanda di mana-mana.

      Istilah aji mumpung yang selama ini kita kenal cenderung berkonotasi negatif, sesuai dengan situasi kelahiran istilah itu. Padahal, aji mumpung bisa diterapkan untuk hal-hal positif, misalnya menjalankan apa yang dikemukakan Nabi Muhammad saw. Menurut Beliau, kita sebenarnya memiliki lima mumpung (selagi/waktu) yang harus diisi dengan kebaikan dan amal saleh. Yaitu, mumpung masih sehat sebelum jatuh sakit; mumpung masih kaya sebelum jatuh miskin; mumpung waktu masih luang sebelum waktu sempit; mumpung masih muda sebelum menjadi tua; dan mumpung masih hidup sebelum direnggut maut.


Harian Umum ABRI
Jumat, 20 Agustus 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.