Oleh: Mustofa AS
AJI mumpung pernah populer ketika
pemerintah Orde Baru berkuasa. Istilah ini mengemuka karena nafsu serakah yang
dimiliki sejumlah pemimpin saat itu, yang dampaknya kita rasakan sampai
sekarang. Prinsip mereka, mumpung sedang berkuasa, mumpung bisa korupsi,
mumpung bisa memanipulasi, mumpung bisa menindas rakyat, dan mumpung bisa
mengatur, buat apa disia-siakan begitu saja.
Sesungguhnya, aji mumpung bukan hanya
dimonopoli oleh mereka yang berkuasa. Setiap individu pun sebenarnya bisa
menggunakannya, cuma saja porsinya tidak sehebat pemegang kekuasaan. Contohnya,
seorang pencuri menggunakan aji mumpung
dalam aksi menguras harta milik korbannya yang tak berada di rumah,
mumpung rumah sepi. Jadi, pencuri
pun menggunakan filsafat mumpung.
Orang yang menggunakan aji mumpung,
apalagi mumpung (selagi) berkuasa, cenderung otoriter, tidak peduli nasihat,
dan juga tidak tahu malu. Padahal, malu adalah sebagian dari iman. Maka, orang
yang tidak tahu malu itu dapat dikategorikan
sebagai orang yang sedang dalam krisis keimanan.
Aji mumpung pada era reformasi ini bahkan
boleh dikatakan meningkat. Bahklan, di kalangan parpol dan elite politik kita,
aji mumpung pun mereka kibarkan. Mumpung jadi parpol yang memenangkan Pemilu,
mumpung jadi parpol gurem, mumpung jadi wartawan, dan mumpung korannya laku
dijual. Intinya, aji mumpung bisa digunakan
siapa saja. Dan, sekarang, aji mumpung ada kebebasan `pun bergulir deras
bersama aji mumpung dalam hal lain seperti mumpung bisa memfitnah, mumpung bisa
menuduh, mumpung bisa menjilat, dan mumpung bisa berlaku mencla-mencle. Atau,
mumpung bisa menggunakan aji mumpung.
Seorang pemimpin yang beraji mumpung bisa
berbuat seenaknya dalam menentukan kebijakan atau pun kibijaksanaan yang
seeringkali jauh dari bijaksana. Rasa subjektivitas pemimpin demikian akan
melahirkan nepotisme, koncoisme, dan lunturnya budaya malu.
Banyak contoh yang bisa kita lihat.
Nepotisme yang terus disorot, ternyata tidak menyurutkan langkah sejumlah
pemimpin kita untuk tetap menerapkannya. Dan , koncoisme juga makin merajalela,
di samping korupsi dan kolusi yang
makin hari makin ramai. Tentu ini berkaitan
pula dengan aji mumpung, yakni mumpung masih bisa KKN. Karena,
kemungkinan masa yang akan datang, mereka tidak bisa lagi ber-KKN ria.
Pasalnya, KKN akan berganti rupa dengan istilah lain yang pada dasar nya (pada
prakteknya) sama saja atau sarua keneh.
Pantas atau tidak pantas tidak berlaku
pada seseorang penganut filsafat mumpung.
Gara-gara aji mumpung, seorang anak
kemarin sore misalnya, bisa memperoleh penghargaan setingkat dengan seniornya yang
memang sangat pantas menerima penghargaan itu. Akibatnya, penghargaan yang
selama ini bernilai tinggi mengalami degradasi. Dan, karena mengumbar aji
mumpung pula ekonomi kita runtuh, dunia perbankan kita porak-poranda, dan
kerusuhan melanda di mana-mana.
Istilah aji mumpung yang selama ini kita
kenal cenderung berkonotasi negatif, sesuai dengan situasi kelahiran istilah
itu. Padahal, aji mumpung bisa diterapkan untuk hal-hal positif, misalnya
menjalankan apa yang dikemukakan Nabi Muhammad saw. Menurut Beliau, kita
sebenarnya memiliki lima mumpung (selagi/waktu) yang harus diisi dengan
kebaikan dan amal saleh. Yaitu, mumpung masih sehat sebelum jatuh sakit;
mumpung masih kaya sebelum jatuh miskin; mumpung waktu masih luang sebelum
waktu sempit; mumpung masih muda sebelum menjadi tua; dan mumpung masih hidup
sebelum direnggut maut.
Harian Umum ABRI
Jumat, 20 Agustus 1999
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.