Tuesday 10 March 2015

Rekening telepon instansi pemerintah




“Tapi Pak, kan bukan saya yang bikin hutang!”
  Sambil menyeka keringat di dahinya, Supomo (42 tahun) buru-buru turun dari Toyota Hardtop warna biru terang, begitu Arifin, sang sopir, menginjak rem di pelataran parkir sebuah gedung bertingkat di bilangan Jakarta Selatan. Udara Jakarta yang terik tampaknya  bukan hambatan bagi pegawai Perumtel bagian penagihan untuk tunggakan rekening instansi pemerintah itu tetap tampil dengan rapih.


    Lika-liku jalan di gedung perkantoran suatu instansi di bawah  suatu departemen itu nampaknya sudah dikenalnya betul. Seorang pegawai wanita  setengah baya yang ia hampiri langsung mempersilakan  Supomo menuju  ruang lain melalui lorong yang penuh dengan tumpukan arsip.

   


    “Oh, Bapak dari Perumtel, silakan Pak!”ujar seorang pegawai tua  mempersilakan Supomo duduk. Pegawai itu langsung memanggil seorang pegawai lainnya yang masih muda untuk melayani pegawai penagihan Perumtel itu. Sebuah map plastik yang menggelembung penuh berkas itu  langsung digelar di meja.
    Supomo langsung menjelaskan maksud kedatangannya, yakni untuk mengantarkan SPH (Surat Pengakuan Hutang) supaya ditandatangani kepala bagian  instansi tersebut yang memilkiki kewenangan untuk itu. Setelah memberikan penjelasan seperlunya Supomo langsung minta diri, dan akan datang kembali mengambil berkas SPH yang telah ditandatangani sesuai dengan janji si penerima berkas tadi.

Pegawai Perumtel Witel IV Jakarta yang bertugas di bidang penagihan sekitar tahun itu nampak lega begitu keluar dari kantor tersebut, karena urusannya boleh dibilang cukup lancer. Lain halnya ketika ia memasuki satu ruangan  kantor satker (satuan kerja) suatu departemen di bilangan Jakarta Pusat, Supomo rupanya memendam kesal. Pasalnya, SPH yang telah 6 bulan diserahkan ke instansi tersebut belum diapa-apakan (ditandatangani).
    “Saya sudah lima kali datang tretapi mereka berlagak tidak tahu, Anda kan lihat sendiri, masa dia minta penjelasan lagi mengenai SPH itu,”kata Supomo kepada Angkatan Bersenjata yang ikut petugas Perumtel itu melakukan tugasnya. 

    Bisa dimaklumi mengapa Supomo menahan kejengkelan. Pegawai yang menerimanya langsung memerintahkan  anak buahnya untuk mencari setumpuk berkas SPH (jumlah tagihannya Rp 7 juta lebih) yang entah di mana meletakkannya. Hampir setengah jam ditunggu barulah berkas itu ketemu dan ternyata berkas itu (tanda terima dan nama jelas tercantum) dipertanyakan lagi untuk apa berkas itu. “Yah, sekarang saya sendiri yang akan menandatangani SPH ini, nanti Bapak datang lagi,”ujar pegawai itu sambil menjanjikan hari ia bisa menyerahkan berkas SPH itu.

    “Bukan hanya pura-pura tidak tahu, seringkali kami dipingpong dari satu bagian ke bagian lain hanya untuk meminta tandatangan pejabat yang berewenang dalam masalah ini,”tutur Supomo yang jabatannya Kasubsi PKT (Pengawas Kuitansi Tunggakan) tersebut.

    Pengalaman Supomo juga dibenarkan oleh rekan-rekannya. Misalnya Sudradjat (42 tahun) dan Iskar (29 tahun) yang hari itu satu grup melakukan penagihan. Mereka kadang-kadang tidak bisa berbuat banyak, jika diperlakukan kurang enak. Misalnya dari kamar satu ke kamar lain di suatu instansi hanya  karena pegawai yang berwenang untuk itu belum mengetahui jelas mengenai SPH itu.

    Kesulitan juga dialami para petugas penagihan Witel IV itu, jika pejabat/pegawai yang berwenang untuk menandatangani SPH itu orang baru, terpaksa mereka harus menunggu lama. .Bisa berbulan-bulan. Atau petugas-petugas Perumtel itu harus bolak-balik untuk menyerahkan dan mengambil berkas-berkas itu ke satu instansi. Seringkali kedatangan mereka yang untuk ke sekian kalinya tidak membawa hasil karena orang yang dicarinya sedang rapat, ke luar kantor atau keprerluan lainnya.

Diputus
   Tunggakan rekening telepon instansi-instansi pemerintah yang dibiayai APBN di Jakarta sampai Juli 1989 berjumlah Rp 52 milyar. Tunggakan-tunggakan itu terkumpul dan bervariasi jumlah maupun tahunnya. Ada tagihan tunggakan rekening telepon dari tahun anggaran  1985/1986 dan 1987/1988 yang berlum terbayar sampai saat ini.

    Karena dana untuk rekening telepon terbatas jumlahnya, maka banyak instansi pemerintah yang menunggak rekening telepon. Untuk memudahkan penagihan dari pihak Perumtel maka  setiap instansi yang menunggak rekening telepon itu diminta untuk menandatangani SPH.”Mohon agar segera ditandatangani Pak, soalnya tanggal 15 September ini lapoiran sudah harus masuk dan  tanggal 20 harus masuk  ke Dirjen Anggaran,”kata Sudradjat kepada seorang pegawai kantor departemen di bilangan  Jakarta Pusat.

    Sudradjat yang berpengalaman 12 tahun dalam soal tagih menagih itu mnjelaskan, tunggakan rekening telepon instansi tersebut akan dibayar oleh Dirjen Anggaran Depkeu. Barulah si pegawai itu manggut-manggut dan menyatakan akan diusahakan secepatnya untuk menyelesaikan  berkas-berkas SPH itu.

    “Lebih mudah menagih instansi swasta, jika mereka nunggak cukup diisolir, sebagai peringatan. Jika  menunggak sampai dua bulan maka telepon diputus,”ujar Sudradjat kepada Angkatan Bersenjata.

    Menurut pria yang cukup lama  bertugas menagih instansi-instansi ABRI itu, pada instansi-instansi ABRI penagihan cukup dipusatkan pada satu satker. Misalnya di bagian perhubungan atau di Satkomlek (Satuan  Komunikasi Elektronik). Pembayaran tagihan rekening telepon instansi-instansi ABRI dilakukan secara teratur tiga bulan sekali.

Bukan saya
    Sudradjat, Iskar dan Supomo hari itu (Rabu, 6 September 1989) bersama-sama satu kendaraan yang dikemudikan Arifin keluar-masuk kantor-kantor satker (satuan kerja) untuk menyerahkan atau mengambil SPH-SPH.

    Di satu kantor departemen di Jakarta Pusat Sudradjat yang jabatannya Kasubsi PKT (Pengawas Kuitansi Tunggakan) itu didampingi Iskar yang selalau mengepit map plastik warna biru lusuh. Pada lantai dua gedung megah itu  kedua pegawai Perumtel itu masuk ke ruangan Biro Umum dan diterima seorang pegawai. Sang pegawai langsung membawa pegawai Witel IV irtu ke ruang bendaharawan. Setelah menyilakan keduanya duduk, pegawai itu langsung duduk berhadapan  dengan sang bendaharawan dan terlibat diskusi seru. Sayang pembicaraan kedua pegawai itu  tidak jelas terdengar, yang jelas mereka membicarakan masalah berkas SPH yang bertumpuk di meja.

    Kedua pegawai Perumtel itu hanya tersenyum saja menyaksikan adegan di siang bolong itu . Rupanya kejadian semacam itu bagi para penagih Perumtel itu merupakan kejadian biasa.

    Akhirnya mereka mengajak dua pegawai Perumtel itu menghadap salah seorang pegawai yang berada di ruang Biro Umum. Pegawai berpakaian safari warna abu-abu yang nampaknya atasan dari sang bendaharawan langsung  menugaskan bawahannya itu untuk menandatangani  tumpukan berkas SPH itu.”Ini kan tugas Anda, ya Andalah yang harus menandatanganinya,”kata orang Biro Umum  itu  memerintah. “Tapi Pak, kan bukan saya yang bikin hutang,”jawab si bendaharawan dengan ekspresi lucu.

    Menurut bendaharawan itu, puluhan berkas SPH tidak perlu ditandatangani. Karena sudah dibuatkan surat-surat pernyataan berhutang dari masing-masing pemakai telepon di instansi tersebut.
    Melihat suituasi yang demnikian itu buru-buru Sudradjat menengahi dengan menjelaskan, tunggakan telepon satker-satker yang ada di departemen itu akan dibayar oleh Dirjen Anggaran Depkeu, bukan oleh bendaharawan tersebut. Barulah si bendaharawan itu nampak lega dan berjanji akan membubuhkan tandatangannya pada berkas SPH itu. Sedangkan surat- surat pernyataan  yang telah dibuat sia-sia saja, karena memang tidak diperlukan.

   Iskar dan Sudradjat pun bergegas meninggalkan instansi yang telah lima kali didatangi hanya untuk mengambil berkas SPH yang telah ditandatangani.”Yah saya merasa bahagia dan lega, jika saya dan teman-teman lain berhasil dalam penagihan ini,”tutur Sudradjat.

    Hari itu beberapa,satker didatanginya, ada satker yang letaknya menyatu dengan departemen namun berlainan ;lantai, ada pula satker-satker yang satu dengan lainnya berjauhan letaknya. Bahkan ada yang terletak di pinggiran kota Jakarta seperti di Cinere.

Citra
    Setiap hari puluhan satker harus didatantgi oleh para petugas penagihan itu. Mereka sepertinya  sudah  akrab dengan keadaan jalan-halan di ibu kota, panas terik, hujan dari waktu ke waktu mengiringi tugas-tugas mereka mengantar dan mengambil SPH dari kantor  yang satu ke kantor  lain dengan  suka dan dukanya.

   “Dulu saya pernah nyetir sendiri, dengan kendaraan Mazda tua (kotak) ke sana kemari, kadang-kadang mogok di jalan,”Sudradjat menuturkan masa lalu. Sekarang ia dan teman-temannya menggunakan Toyota Hardtop, meskipun tidak efisien, karena satu kendaraan membawa beberapa orang yang mempunyai tujuan ke satker-satker yang berbeda. Namun mereka sepakat untuk saling bahu membahu bersama-sama mendatangi satker-satker yang dituju. Hal tersebut mereka lakukan karena  jumlah kendaraan yang ada  hanya dua mobil. Itupun yang satu mobil sering digunakan sebagai  cadangan untuk keperluan dinas lainnya.

    Semangat  mereka dan pengabdiannya terhadap  perusahaan patut dicontoh. Pendapatan Perumtel pada tahun 1988 sebesar Rp 909,47 milyar dan keuntungannya setelah dipotong pajak sebesar Rp 70,78 milyar, tentunya tidak datang begitu saja. Tetapi orang-orang seperti  Sudradjat, Iskar, Supomo, Arifin, dan lain-lain tentu ikut berperan dalam memajukan BUMN di bawah Depparpostel itu.

   Anggota masyarakat (khususnya pegawai instansi pemerintah) yang berkaitan dengan tunggakan rekening telepon sepatutnya melayani mereka sebaik-baiknya, karena mereka pun abdi negara dan masyarakat juga. Masalah ini perlu dikemukakan mengingat “orang-orang kecil” seringkali dilupakan peranannya.

   Mereka juga membawa citra perusahaan, jika penampilan mereka kurang di mata orang lain, maka citra perusahaan pun akan turun. Para petugas penagihan minimal akan selalu berhadapan dengan para kepala di instansi-instansi pemerintah, tentu harus  selalu tampil dengan baik, pakaian tidak lusuh.

    Menurut pengamatan, masalah pakaian mereka cukup rapih, namun ada hal kecil yang mungkin luput dari perhatian mereka atau pun dari pimpinan  para “tukang tagih” itu. Berkas-berkas  SPH yang mereka bawa tidak selayaknya dijejalkan pada map yang lebih kecil ukurannya dari berkas-berkas tersebut. Sehingga menampakkan pemandangan yang kurang sedap. Tas atau koper kecil cocok utnuk menaruh berkas-berkas tersebut, sehingga nampak bersih.

   Mengingat tugas-tugas mereka yang banyak menyita waktu di perjalanan alangkah baiknya jika kiendaraan operasional (mobil) ditambah untuk efisiensi. Penggunaan sepeda motor memang cepat, namun bisa menurunkan citra Perumtel, karena pengendara sepeda motor pakaian dan rambut tentunya bisa kusut. Padahal orang yang akan ditemui adalah para pejabat  yang punya wewenang dalam urusan uang.

    Perhatian pimpinan Perumtel tentu akan memudahkan mereka dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan, meskipun mungkin mereka tidak menuntut sejauh itu.

    Penghargaan masyarakat terhadap pengabdian mereka juga diperlukan, meskipun hanya sekadar ucapan terima kasih. Hal ini perlu dikemukakan mengingat sebentar lagi (tepatnya 27 September) adalah Hari Bakti Parpostel. Dirgahayu! (Mustofa AS/2.1)



Harian Angkatan Bersenjata
21 September 1989




No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.