“Tapi
Pak, kan bukan saya yang bikin hutang!”
Sambil menyeka keringat di dahinya, Supomo
(42 tahun) buru-buru turun dari Toyota Hardtop warna biru terang, begitu Arifin,
sang sopir, menginjak rem di pelataran parkir sebuah gedung bertingkat di
bilangan Jakarta Selatan. Udara Jakarta yang terik tampaknya bukan hambatan bagi pegawai Perumtel bagian
penagihan untuk tunggakan rekening instansi pemerintah itu tetap tampil dengan
rapih.
Lika-liku jalan di gedung perkantoran suatu
instansi di bawah suatu departemen itu
nampaknya sudah dikenalnya betul. Seorang pegawai wanita setengah baya yang ia hampiri langsung
mempersilakan Supomo menuju ruang lain melalui lorong yang penuh dengan
tumpukan arsip.
“Oh, Bapak dari Perumtel, silakan Pak!”ujar
seorang pegawai tua mempersilakan Supomo
duduk. Pegawai itu langsung memanggil seorang pegawai lainnya yang masih muda
untuk melayani pegawai penagihan Perumtel itu. Sebuah map plastik yang
menggelembung penuh berkas itu langsung
digelar di meja.
Supomo langsung menjelaskan maksud
kedatangannya, yakni untuk mengantarkan SPH (Surat Pengakuan Hutang) supaya
ditandatangani kepala bagian instansi
tersebut yang memilkiki kewenangan untuk itu. Setelah memberikan penjelasan
seperlunya Supomo langsung minta diri, dan akan datang kembali mengambil berkas
SPH yang telah ditandatangani sesuai dengan janji si penerima berkas tadi.
Pegawai Perumtel Witel IV
Jakarta yang bertugas di bidang penagihan sekitar tahun itu nampak lega begitu
keluar dari kantor tersebut, karena urusannya boleh dibilang cukup lancer. Lain
halnya ketika ia memasuki satu ruangan
kantor satker (satuan kerja) suatu departemen di bilangan Jakarta Pusat,
Supomo rupanya memendam kesal. Pasalnya, SPH yang telah 6 bulan diserahkan ke
instansi tersebut belum diapa-apakan (ditandatangani).
“Saya sudah lima kali datang tretapi mereka
berlagak tidak tahu, Anda kan lihat sendiri, masa dia minta penjelasan lagi
mengenai SPH itu,”kata Supomo kepada Angkatan
Bersenjata yang ikut petugas Perumtel itu melakukan tugasnya.
Bisa dimaklumi mengapa Supomo menahan
kejengkelan. Pegawai yang menerimanya langsung memerintahkan anak buahnya untuk mencari setumpuk berkas
SPH (jumlah tagihannya Rp 7 juta lebih) yang entah di mana meletakkannya.
Hampir setengah jam ditunggu barulah berkas itu ketemu dan ternyata berkas itu
(tanda terima dan nama jelas tercantum) dipertanyakan lagi untuk apa berkas
itu. “Yah, sekarang saya sendiri yang akan menandatangani SPH ini, nanti Bapak
datang lagi,”ujar pegawai itu sambil menjanjikan hari ia bisa menyerahkan
berkas SPH itu.
“Bukan hanya pura-pura tidak tahu,
seringkali kami dipingpong dari satu bagian ke bagian lain hanya untuk meminta
tandatangan pejabat yang berewenang dalam masalah ini,”tutur Supomo yang
jabatannya Kasubsi PKT (Pengawas Kuitansi Tunggakan) tersebut.
Pengalaman Supomo juga dibenarkan oleh
rekan-rekannya. Misalnya Sudradjat (42 tahun) dan Iskar (29 tahun) yang hari
itu satu grup melakukan penagihan. Mereka kadang-kadang tidak bisa berbuat
banyak, jika diperlakukan kurang enak. Misalnya dari kamar satu ke kamar lain
di suatu instansi hanya karena pegawai
yang berwenang untuk itu belum mengetahui jelas mengenai SPH itu.
Kesulitan juga dialami para petugas
penagihan Witel IV itu, jika pejabat/pegawai yang berwenang untuk
menandatangani SPH itu orang baru, terpaksa mereka harus menunggu lama. .Bisa
berbulan-bulan. Atau petugas-petugas Perumtel itu harus bolak-balik untuk
menyerahkan dan mengambil berkas-berkas itu ke satu instansi. Seringkali
kedatangan mereka yang untuk ke sekian kalinya tidak membawa hasil karena orang
yang dicarinya sedang rapat, ke luar kantor atau keprerluan lainnya.
Diputus
Tunggakan rekening telepon instansi-instansi
pemerintah yang dibiayai APBN di Jakarta sampai Juli 1989 berjumlah Rp 52
milyar. Tunggakan-tunggakan itu terkumpul dan bervariasi jumlah maupun
tahunnya. Ada tagihan tunggakan rekening telepon dari tahun anggaran 1985/1986 dan 1987/1988 yang berlum terbayar
sampai saat ini.
Karena dana untuk rekening telepon terbatas
jumlahnya, maka banyak instansi pemerintah yang menunggak rekening telepon.
Untuk memudahkan penagihan dari pihak Perumtel maka setiap instansi yang menunggak rekening
telepon itu diminta untuk menandatangani SPH.”Mohon agar segera ditandatangani
Pak, soalnya tanggal 15 September ini lapoiran sudah harus masuk dan tanggal 20 harus masuk ke Dirjen Anggaran,”kata Sudradjat kepada
seorang pegawai kantor departemen di bilangan
Jakarta Pusat.
Sudradjat yang berpengalaman 12 tahun dalam
soal tagih menagih itu mnjelaskan, tunggakan rekening telepon instansi tersebut
akan dibayar oleh Dirjen Anggaran Depkeu. Barulah si pegawai itu manggut-manggut
dan menyatakan akan diusahakan secepatnya untuk menyelesaikan berkas-berkas SPH itu.
“Lebih mudah menagih instansi swasta, jika
mereka nunggak cukup diisolir,
sebagai peringatan. Jika menunggak sampai
dua bulan maka telepon diputus,”ujar Sudradjat kepada Angkatan Bersenjata.
Menurut pria yang cukup lama bertugas menagih instansi-instansi ABRI itu,
pada instansi-instansi ABRI penagihan cukup dipusatkan pada satu satker.
Misalnya di bagian perhubungan atau di Satkomlek (Satuan Komunikasi Elektronik). Pembayaran tagihan
rekening telepon instansi-instansi ABRI dilakukan secara teratur tiga bulan
sekali.
Bukan
saya
Sudradjat, Iskar dan Supomo hari itu (Rabu,
6 September 1989) bersama-sama satu kendaraan yang dikemudikan Arifin
keluar-masuk kantor-kantor satker (satuan kerja) untuk menyerahkan atau
mengambil SPH-SPH.
Di satu kantor departemen di Jakarta Pusat
Sudradjat yang jabatannya Kasubsi PKT (Pengawas Kuitansi Tunggakan) itu
didampingi Iskar yang selalau mengepit map plastik warna biru lusuh. Pada
lantai dua gedung megah itu kedua
pegawai Perumtel itu masuk ke ruangan Biro Umum dan diterima seorang pegawai.
Sang pegawai langsung membawa pegawai Witel IV irtu ke ruang bendaharawan.
Setelah menyilakan keduanya duduk, pegawai itu langsung duduk berhadapan dengan sang bendaharawan dan terlibat diskusi
seru. Sayang pembicaraan kedua pegawai itu
tidak jelas terdengar, yang jelas mereka membicarakan masalah berkas SPH
yang bertumpuk di meja.
Kedua pegawai Perumtel itu hanya tersenyum
saja menyaksikan adegan di siang bolong itu . Rupanya kejadian semacam itu bagi
para penagih Perumtel itu merupakan kejadian biasa.
Akhirnya mereka mengajak dua pegawai
Perumtel itu menghadap salah seorang pegawai yang berada di ruang Biro Umum.
Pegawai berpakaian safari warna abu-abu yang nampaknya atasan dari sang
bendaharawan langsung menugaskan
bawahannya itu untuk menandatangani
tumpukan berkas SPH itu.”Ini kan tugas Anda, ya Andalah yang harus
menandatanganinya,”kata orang Biro Umum
itu memerintah. “Tapi Pak, kan
bukan saya yang bikin hutang,”jawab si bendaharawan dengan ekspresi lucu.
Menurut bendaharawan itu, puluhan berkas
SPH tidak perlu ditandatangani. Karena sudah dibuatkan surat-surat pernyataan
berhutang dari masing-masing pemakai telepon di instansi tersebut.
Melihat suituasi yang demnikian itu
buru-buru Sudradjat menengahi dengan menjelaskan, tunggakan telepon
satker-satker yang ada di departemen itu akan dibayar oleh Dirjen Anggaran
Depkeu, bukan oleh bendaharawan tersebut. Barulah si bendaharawan itu nampak
lega dan berjanji akan membubuhkan tandatangannya pada berkas SPH itu.
Sedangkan surat- surat pernyataan yang
telah dibuat sia-sia saja, karena memang tidak diperlukan.
Iskar dan Sudradjat pun bergegas
meninggalkan instansi yang telah lima kali didatangi hanya untuk mengambil
berkas SPH yang telah ditandatangani.”Yah saya merasa bahagia dan lega, jika
saya dan teman-teman lain berhasil dalam penagihan ini,”tutur Sudradjat.
Hari itu beberapa,satker didatanginya, ada
satker yang letaknya menyatu dengan departemen namun berlainan ;lantai, ada pula
satker-satker yang satu dengan lainnya berjauhan letaknya. Bahkan ada yang
terletak di pinggiran kota Jakarta seperti di Cinere.
Citra
Setiap hari puluhan satker harus didatantgi
oleh para petugas penagihan itu. Mereka sepertinya sudah akrab dengan keadaan jalan-halan di ibu kota,
panas terik, hujan dari waktu ke waktu mengiringi tugas-tugas mereka mengantar
dan mengambil SPH dari kantor yang satu
ke kantor lain dengan suka dan dukanya.
“Dulu saya pernah nyetir sendiri, dengan kendaraan Mazda tua (kotak) ke sana kemari,
kadang-kadang mogok di jalan,”Sudradjat menuturkan masa lalu. Sekarang ia dan
teman-temannya menggunakan Toyota Hardtop, meskipun tidak efisien, karena satu
kendaraan membawa beberapa orang yang mempunyai tujuan ke satker-satker yang
berbeda. Namun mereka sepakat untuk saling bahu membahu bersama-sama mendatangi
satker-satker yang dituju. Hal tersebut mereka lakukan karena jumlah kendaraan yang ada hanya dua mobil. Itupun yang satu mobil
sering digunakan sebagai cadangan untuk
keperluan dinas lainnya.
Semangat
mereka dan pengabdiannya terhadap
perusahaan patut dicontoh. Pendapatan Perumtel pada tahun 1988 sebesar
Rp 909,47 milyar dan keuntungannya setelah dipotong pajak sebesar Rp 70,78
milyar, tentunya tidak datang begitu saja. Tetapi orang-orang seperti Sudradjat, Iskar, Supomo, Arifin, dan
lain-lain tentu ikut berperan dalam memajukan BUMN di bawah Depparpostel itu.
Anggota masyarakat (khususnya pegawai
instansi pemerintah) yang berkaitan dengan tunggakan rekening telepon
sepatutnya melayani mereka sebaik-baiknya, karena mereka pun abdi negara dan
masyarakat juga. Masalah ini perlu dikemukakan mengingat “orang-orang kecil”
seringkali dilupakan peranannya.
Mereka juga membawa citra perusahaan, jika
penampilan mereka kurang di mata orang lain, maka citra perusahaan pun akan
turun. Para petugas penagihan minimal akan selalu berhadapan dengan para kepala
di instansi-instansi pemerintah, tentu harus
selalu tampil dengan baik, pakaian tidak lusuh.
Menurut pengamatan, masalah pakaian mereka
cukup rapih, namun ada hal kecil yang mungkin luput dari perhatian mereka atau
pun dari pimpinan para “tukang tagih”
itu. Berkas-berkas SPH yang mereka bawa
tidak selayaknya dijejalkan pada map yang lebih kecil ukurannya dari
berkas-berkas tersebut. Sehingga menampakkan pemandangan yang kurang sedap. Tas
atau koper kecil cocok utnuk menaruh berkas-berkas tersebut, sehingga nampak
bersih.
Mengingat tugas-tugas mereka yang banyak
menyita waktu di perjalanan alangkah baiknya jika kiendaraan operasional
(mobil) ditambah untuk efisiensi. Penggunaan sepeda motor memang cepat, namun
bisa menurunkan citra Perumtel, karena pengendara sepeda motor pakaian dan
rambut tentunya bisa kusut. Padahal orang yang akan ditemui adalah para
pejabat yang punya wewenang dalam urusan
uang.
Perhatian pimpinan Perumtel tentu akan
memudahkan mereka dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan, meskipun
mungkin mereka tidak menuntut sejauh itu.
Penghargaan masyarakat terhadap pengabdian
mereka juga diperlukan, meskipun hanya sekadar ucapan terima kasih. Hal ini
perlu dikemukakan mengingat sebentar lagi (tepatnya 27 September) adalah Hari
Bakti Parpostel. Dirgahayu! (Mustofa
AS/2.1)
Harian
Angkatan Bersenjata
21
September 1989
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.