Jakarta – Romlah ceria menyambut kedatangan rombongan di kedainya, Mie
Tarik Laiker, di Mal Central Park, Jakarta Barat, Ahad (27/1) siang. Dengan
senyum seramah mungkin, dia mempersilakan 14 orang tamunya mengambil tempat
duduk dan memesan menu yang tersedia.
‘’Kami
semua ingin makan di sini. Tapi sebelumnya, menu di sini terjamin halal
tidak?’’ ujar Keke Z Sugitahari, pemimpin rombongan calon pengudap,
kepada tuan rumah.
‘’Ya
halal, dong,’’ jawab Romlah yakin.
‘’Kalau
begitu, boleh lihat sertifikat halalnya?’’ tanya Keke.
‘’Ada!’’
sahut Romlah.
‘’Lho,
mengapa kok tidak dipajang. Boleh kami lihat?’’ kejar Keke dengan tenang.
Romlah
sang kepala dapur kedai mulai emosi. ”Tanya saja bos kami. Ini mau makan atau
tidak?’’ katanya agak sengit.
Sambil
tersenyum Keke menjawab, ”Ya, kami semua mau makan di sini asal jelas makanan
halal. Kalau nggak jelas ya nggak jadi makan di sini.”
Keke
lalu memberi penjelasan singkat tentang persoalan halal-haram konsumsi bagi
kaum muslimin.
Setiap
muslim, kata Keke, wajib mencari pangan (makanan-minuman) yang halal dan baik.
Sebab, kualitas pangan berpengaruh secara spiritual, fisik maupun kejiwaan
terhadap orang yang mengonsumsinya.
Klaim
kehalalan, lanjut Keke, tidak sah dilakukan secara sepihak oleh pedagang atau
penjual produk pangan. Kecuali yang sudah diperiksa Badan POM (Pangan, Obat,
dan Kosmetika) Depkes untuk status kesehatan (kebaikan atau thayyib) dan
mendapat sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Menyimak
penjelasan Keke yang bernada sugestif tanpa menggurui, Romlah manggut-manggut.
Tampaknya ia dapat memahami sikap tetamunya.
Keke
lalu menulis pesan kepada pemilik resto itu, Jimmy Herlambang. Atas nama
masyarakat konsumen yang tergabung dalam Halal Watch, Keke meminta agar pemilik
resto memajang sertifikat halalnya, jika sudah ada. Namun jika belum,
diharapkan segera mengurusnya ke MUI.
”Pengurusan
sertifikat halal itu mudah dan murah. Halal Watch pun siap membantu,” pesan
Keke dalam surat yang dititipkan melalui Romlah.
Tak lupa ia mengingatkan, pemilik
resto hendaknya menyampaikan informasi yang benar kepada konsumen. Sebab,
kebohongan publik tentang kualitas produk pangan, melanggar Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan UU Pangan yang sanksi-nya berat.
Sebaliknya,
jika resto sudah memiliki dan memajang sertifikat halal, Halal Watch yang
memiliki jaringan media sosial beranggotakan sekitar 4000 orang,
dengan sukarela akan turut mempromosikannya.
Usai
menitipkan surat itu, Keke berterima kasih dan minta maaf pada Romlah karena
tidak jadi makan siang di kedainya. ‘’Insya Allah kalau sudah mendapat
sertifikat halal, kami akan makan di sini rame-rame,’’ katanya sambil berpamitan.
Mereka
lalu mengunjungi sejumlah resto lain seperti Riung Sunda, Java Kitchen, Potato
Corner, dan Snack Puff.
Belasan
orang yang dikomandoi Keke itu adalah peserta program wisata kuliner
halal yang diselenggarakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Halal Watch. Mereka
mewakili ribuan member mailing list halal-baik-enak@yahoogroups.com
(Milis HBE).
Menurut
Rachmat O Halawa, Koodinator Halal Watch, program wisata kuliner halal
diselenggarakan setiap bulan. ‘’Tujuannya untuk mensosialisasikan pentingnya
jaminan kehalalan pangan di kalangan pengusaha resto,’’ kata Rachmat.
Ia
menambahkan, temuan para peserta wisata kuliner halal di lapangan
sungguh mengerikan. Misalnya dari 67 resto besar di Mal Central Park,
Jakarta Barat, hanya lima yang sudah memiliki sertifikat halal MUI.
”Ini belum termasuk resto kecil yang belum kami survei,” imbuhnya.
Rachmat
juga mengungkapkan, ada sejumlah resto yang memajang label halal, padahal
belum memiliki sertifikat halal. ‘’Motifnya, ada yang memang tidak tahu,
ada yang tidak mau tahu, dan ada pula yang pura-pura tidak tahu.’’
Yang
lugu misalnya Johan, penanggung jawab resto Restoran Riung Sunda.
”Seratus persen halal, Pak, pelayan di sini semuanya muslim, hanya saya yang
nasrani,” katanya ramah saat ditanya jaminan kehalalan menu restonya. Namun ia
mengakui, restonya belum bersertifikat halal.
‘’Pakai
angciu nggak?’’ tanya Keke.
‘’Angciu
hanya digunakan untuk cireng saja,’’ jawab Johan.
‘’Nah,
itu salah satu bahan yang diharamkan bagi konsumen muslim,’’ jelas Keke, yang
membuat Johan terperanjat. ‘’Wah, saya baru tahu angciu itu
haram,” katanya.
Pemilik
resto yang bersikap kedua dan ketiga, biasanya sudah berpesan kepada
pegawainya agar menjawab ‘’ya, di kantor pusat’’ bila ditanyai sertifikat
halal. Jawaban bohong lainnya adalah ‘’sedang dalam proses’’.
Dalam
wisata kuliner halal sebelumnya, Ahad, 30 Desember 2012, juga ditemui fenomena
yang sama. Dari seabreg resto di area Food and Beverages Kota Cassablanca,
Jakarta Selatan, hanya segelintir yang sudah bersertifikat halal. Dan, sebagian
dari pemilik resto itu berupaya membohongi calon konsumen.
Namun,
dengan pengalaman panjang sebagai auditor halal-mandiri, para aktivis Halal
Watch seperti Keke dan Rachmat sudah punya jurus pamungkas untuk menghadapi
kilah-kilah kedai atau resto nakal.
Untuk
lebih menguatkan syiar dan dakwah produk halal, Halal Watch mengundang Anda
sekeluarga mengikuti wisata kuliner halal. Caranya, silakan gabung ke Milis
HBE, dan ikuti aturan mainnya. (mustofa achmad/nurbowo/HW)
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.