Oleh:
Mustofa Achmad S- PusatHalal.com
Banyak restoran besar di Central Park, Jakarta
Barat, yang belum memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama
Indonesia. Hal itu terungkap dalam Wisata Kuliner Halal yang
dilakukan Halal Watch pada Minggu (27-01-2013).
Menurut
Rachmat Os. Halawa dari Halal Watch, hasil survei yang dilakukan pihaknya dari
67 restoran besar di tempat itu hanya lima yang memiliki Sertifikat Halal
MUI.”Ini belum termasuk restoran kecil yang belum saya survei,”tuturnya di
tengah-tengah kegiatan peduli halal itu. Wisata Kuliner Halal antara lain
bertujuan untuk menyadarkan para pemilik restoran agar
memperhatikan konsumen Muslim dengan menyediakan makanan halal melalui sertifikasi
halal MUI. Kegiatan tersebut juga sekaligus berdakwah mengenai pentingnya
makanan halal.
Rachmat
mengakui ada beberapa pemilik restoran yang memasang label halal meski belum
melakukan sertifikasi halal, ada juga yang memang tidak tahu atau tidak
mau tahu dan ada pula yang pura-pura tidak tahu. Mereka kompak, jika ditanya
soal sertifikat halal umumnya penanggung jawan resto mengatakan punya
sertifikat halal, tapi ketika ditanya nomornya mereka berkilah sertifikatnya
ada di kantor pusat atau beralasan sertifikat halalnya sedang
diproses.”Seharusnya sertifikat halal itu dipajang di resto,”ujar aktivis
di Grup Milis Halal-Baik-Enak itu.
Ia menuturkan
sejumlah pengalamannya malang melintang di dunia wisata kuliner halal, di
antaranya pengalaman bertemu dengan orang-orang yang sewot ketika diberi tahu
bahwa apa yang dipakai dalam pengolahan makanan itu adalah haram. Pernah di
salah satu hotel di Anyer, Banten, Rachmat masuk dapur hotel tersebut dan
bertemu dengan sang kepala koki. Ia kemudian menunjuk ang ciu yang ada di dapur
itu seraya menyebutkan bahwa angciu itu haram. Namun sang kepala koki malah
sewot dengan mengatakan dia juga Muslim dan dia tidak mungkin menghilangkan
barang haram itu dalam masakannya karena dia bisa dipecat oleh sang majikan.
Ketika menginap
di hotel pun yang namanya angciu (arak merah) juga tidak lepas dari makanan
yang disajikan di antaranya nasi goreng dan makanan hasil laut. “Saya ngobrol
dengan kepala dapurnya dan semua di situ pakai angciu,”ujar Rachmat. Dia
mengingatkan agar masalah halal-haram ini terus diwaspadai, karena belum tentu
rumah makan yang kita yakini halal itu benar halal adanya,
apalagi tidak memiliki sertifikat halal MUI.
Soal kehalalan
banyak dimanipulasi oleh pedagang, misalnya saja ada pedagang pempek yang
mencampurkan angciu pada kudapan itu, bahkan ada ustadz yang dijadikan unsur
pembenaran dalam soal kehalalan resto.”Ustad Anu saja sudah makan di sini,”ujar
Rachmat Os Halawa memberi contoh ucapam seorang pemilik resto. Padahal
resto tersebut belum tentu halal. Bahkan berdasarkan pengalamannya Rachmat
pernah menemukan angciu di salah satu rumah makan padang.
Dalam wisata
kuliner halal yan g diikuti 14 orang itu mereka mengunjungi sejumlah
restoran di antaranya Mie Tarik Laiker, Riung Sunda, Java Kitchen, Potato
Corner dan Snack Puff. Ketika singgah di Mie Tarik Laiker kelompok
pencinta halal ini pun menyatakan niat untuk makan di tempat itu. Namun sebelum
makan koordinator lapangan dari Halal Watch Keke Z Sugitahari
menanyakan tentang kehalalan makanan resto tersebut kepada Romlah,
kepala dapur resto itu.
Menurut Romlah,
resto tersebut jelas halal dan sudah memiliki sertifikat halal. Namun ketika
dicecar sejumlah pertanyaan seperti mengapa sertifikat halal tidak dipajang, ia
menyatakan barang tersebut ada di kantor. Ia pun sempat nyolot.”Tanya
saja bos kami,”jawabnya seraya menanyakan apakah rombongan itu mau makan atau
tidak.”Kami mau makan di sini asal jelas makanan halal, kalau nggak
jelas ya nggak jadi makan di sini,”ujar Keke ZS.
Akhirnya
setelah mendapat pencerahan dan penjelasan soal halal-haram, Romlah pun
tampaknya memahami dan menyadari sikapnya. Keke ZS pun lalu menulis
surat kepada pemilik resto tersebut, Jimmy Herlambang, yang antara lain
jika resto itu sudah punya sertifikat halal agar dipajang di tempat itu. Jika
belum memiliki sertifikat halal agar segera mengurusnya ke
MUI.”Pengurusan serrtifikat halal mudah dan murah,”tulisnya.
Selain itu
pemilik resto tersebut diminta tidak menyampaikan informasi yang tidak benar
atau tidak akurat kepada konsumen karena berpotensi melanggar Undang-Undang
Konsumen dan berpotensi pencabutan izin serta pelanggaran pidana. Keke juga
menyatakan akan mempromosikan resto tersebut jika sudah bersertifikat halal,
karena pihaknya memilki jaringan media social yang
beranggotakan sekitar 4.000 orang. Rombongan wisata kuliner halal ini
tidak jadi makan siang di resto itu karena tiadanya kejelasan mengenai
kehalanan makanan dan minuman di tempat itu.
Pekerjaan
Rumah
Seperti sudah
disetel, Restoran Riung Sunda di Mal Central Park itu pun mengklaim
makanan dan minuman di tempat itu halal ketika para wisatawan ini menyatakan
niat mereka untuk makan siang di tempat itu.”Seratus persen halal Pak, pelayan
di sini juga semuanya Muslim, hanya saya yang Nasrani,”ujar Johan, penanggung
jawab resto itu dengan ramah. Meskipun demikian dia mengakui resto tersebut
belum memiliki sertifikat halal .
Ketika ditanya
Keke soal penggunaan angciu di resto itu, Johan mengaku angciu hanya digunakan
untuk cireng saja. Ia tampak kaget ketika diberitahu bahwa angciu itu
haram. “Saya baru tahu angciu itu haram,”ujarnya.
Baik Rachmat
maupun Keke ZS menyarankan agar pemilik reto itu segera mengurus
sertifikat halal.”Kalau tetap pakai angciu sertifikat halal tidak akan
keluar,”ujar Rachmat. Jika resto itu sudah bersertifikat halal maka akan
dipromosikan gratis oleh Halal Watch. Untuk lebih jelasnya pihak Halal
Watch menyankan agar Johan membuka situs halalmui.org atau PusatHalal.com.
“Jangan kalah dengan resto dari Taiwan yang sudah bersertifikat halal,”ujar
Rachmat seraya menyebutkan beberapa resto yang sudah melakukan sertifikasi
halal.
Keke Z S juga
mengirim surat kepada pemilik resto itu, Rusdi, yang berkantor di Cikini,
Jakarta Pusat, antara lain berisi imbauan agar resto tersebut disertifikasi
halal. “Kami rombongan bermaksud untuk makan siang di Restaurant Riung Sunda,
namun setelah berdialog dengan Bpk Johan, dengan terpaksa kami tidak jadi
karena: 1. Restaurant Riung Sunda belum bersertikat halal, 2. Menggunakan
angciu di menunya.,”tulis Keke ZS. Ia juga menyatakan penghargaan atas respons
dari Johan yang telah membantu memberikan informasi dengan baik. Akhirnya
rombongan memilih resto lain yakni Java Kitchen yang sudah bersertifikat halal.
Dari wisata
kuliner halal itu pun terungkap adanya beberapa resto dan gerai makanan/minuman
yang memajang sertifikat halal untuk beberapa jenis makanan saja.
Misalnya ada gerai menjual enam jenis makanan tapi yang bersertifikat halal
hanya dua jenis makanan. Jika konsumen tidak jeli membaca sertifikat tersebut
maka seakan-akan semua jenis makanan di tempat itu sudah bersertifikat
halal.”Bahkan ada yang cuma sambalnya saja bersertifikat halal,”kata Rachmat .
Menurut
dia, yang berbahaya adalah resto-resto yang pernah bersertifikat halal
namun tidak diperpanjang dan stiker halalnya masih terpasang sehingga
konsumen menganggap resto dimaksud halal. “Di MUI belum ada prosedur pencabutan
stiker halal,”Tutur Rachmat seraya menambahkan bahwa untuk penyadaran
diperlukan keberanian dan ketegaan kita untuk menanyakan apakah suatu resto itu
halal atau tidak dengan cara yang baik.
Jika kita tidak
peduli terhadap kehalalan makanan di resto-resto maka produsen juga tidak
akan peduli.“Memang kekuatan kita adalah tidak membeli makanan –makanan yang
tidak halal itu,”ujar Fisy Amalia, aktivis Halal Watch yang ikut acara
tersebut sambil menambahkan bahwa kita punya banyak pekerjaan rumah dalam
penyadaran halal dan haram ini.*
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.