Friday 12 December 2014

Seharusnya Sertifkat Halal Itu Dipajang !


  Oleh: Mustofa Achmad S- PusatHalal.com
     Banyak restoran besar  di Central Park, Jakarta Barat,  yang belum  memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia.  Hal itu terungkap  dalam Wisata Kuliner Halal yang dilakukan Halal Watch pada Minggu (27-01-2013).

    Menurut  Rachmat Os. Halawa dari Halal Watch, hasil survei yang dilakukan pihaknya dari 67 restoran besar di tempat itu hanya lima yang memiliki  Sertifikat Halal MUI.”Ini belum termasuk restoran kecil yang belum saya survei,”tuturnya di tengah-tengah kegiatan peduli halal itu. Wisata Kuliner Halal  antara lain bertujuan untuk menyadarkan para pemilik restoran agar memperhatikan konsumen Muslim  dengan menyediakan makanan halal melalui sertifikasi halal MUI. Kegiatan tersebut juga sekaligus berdakwah mengenai  pentingnya makanan halal. 

    Rachmat mengakui ada beberapa pemilik restoran yang memasang label halal meski belum melakukan sertifikasi halal, ada juga yang memang tidak tahu  atau tidak mau tahu dan ada pula yang pura-pura tidak tahu. Mereka kompak, jika ditanya soal sertifikat halal umumnya penanggung jawan resto mengatakan punya sertifikat halal, tapi ketika ditanya nomornya mereka berkilah sertifikatnya ada di kantor pusat atau beralasan sertifikat halalnya sedang diproses.”Seharusnya sertifikat halal itu dipajang di resto,”ujar aktivis  di Grup Milis Halal-Baik-Enak itu.

    Ia menuturkan sejumlah pengalamannya malang melintang di dunia  wisata kuliner halal, di antaranya pengalaman bertemu dengan orang-orang yang sewot ketika diberi tahu bahwa apa yang dipakai dalam pengolahan makanan itu adalah haram. Pernah di salah satu hotel di Anyer, Banten, Rachmat masuk dapur hotel tersebut dan bertemu dengan sang kepala koki. Ia kemudian menunjuk ang ciu yang ada di dapur itu seraya menyebutkan bahwa angciu itu haram. Namun sang kepala koki malah sewot dengan mengatakan dia juga Muslim dan dia tidak mungkin menghilangkan barang haram itu dalam masakannya karena dia bisa dipecat oleh sang majikan.

    Ketika menginap di hotel pun yang namanya angciu (arak merah) juga tidak lepas dari makanan yang disajikan di antaranya  nasi goreng dan makanan hasil laut. “Saya ngobrol dengan kepala dapurnya dan semua di situ pakai angciu,”ujar Rachmat. Dia mengingatkan agar masalah halal-haram ini terus diwaspadai, karena belum tentu  rumah makan yang  kita yakini halal  itu benar halal adanya, apalagi tidak memiliki sertifikat halal MUI.
Soal kehalalan banyak dimanipulasi oleh pedagang, misalnya saja ada pedagang pempek yang mencampurkan angciu pada kudapan itu, bahkan ada ustadz yang dijadikan unsur pembenaran dalam soal kehalalan resto.”Ustad Anu saja sudah makan di sini,”ujar Rachmat Os Halawa memberi contoh ucapam seorang pemilik resto.  Padahal resto tersebut belum tentu halal. Bahkan berdasarkan pengalamannya Rachmat pernah menemukan angciu di salah satu rumah makan padang.

    Dalam wisata kuliner halal yan g diikuti 14 orang itu  mereka mengunjungi sejumlah restoran di antaranya  Mie Tarik Laiker, Riung Sunda, Java Kitchen, Potato Corner dan Snack Puff. Ketika singgah di Mie Tarik Laiker  kelompok pencinta halal ini pun menyatakan niat untuk makan di tempat itu. Namun sebelum makan koordinator lapangan dari Halal Watch Keke Z  Sugitahari  menanyakan  tentang kehalalan makanan resto tersebut kepada Romlah,  kepala dapur resto itu.

    Menurut Romlah, resto tersebut jelas halal dan sudah memiliki sertifikat halal. Namun ketika dicecar sejumlah pertanyaan seperti mengapa sertifikat halal tidak dipajang, ia menyatakan barang tersebut ada di kantor. Ia pun sempat nyolot.”Tanya saja bos kami,”jawabnya seraya menanyakan apakah rombongan itu mau makan atau tidak.”Kami mau makan di sini asal jelas makanan halal, kalau nggak jelas ya nggak jadi makan di sini,”ujar Keke ZS.

    Akhirnya setelah mendapat pencerahan dan penjelasan soal halal-haram, Romlah pun tampaknya memahami dan menyadari  sikapnya. Keke ZS pun  lalu menulis surat kepada pemilik resto tersebut, Jimmy Herlambang,  yang antara lain jika resto itu sudah punya sertifikat halal agar dipajang di tempat itu. Jika belum memiliki sertifikat halal agar segera mengurusnya ke  MUI.”Pengurusan serrtifikat halal mudah dan murah,”tulisnya.

    Selain itu pemilik resto tersebut diminta tidak menyampaikan informasi yang tidak benar atau tidak akurat kepada konsumen karena berpotensi melanggar Undang-Undang Konsumen dan berpotensi pencabutan izin serta pelanggaran pidana. Keke juga menyatakan akan mempromosikan resto tersebut jika sudah bersertifikat halal, karena  pihaknya memilki jaringan media social  yang beranggotakan  sekitar 4.000 orang. Rombongan wisata kuliner halal ini tidak jadi makan siang di resto itu karena tiadanya kejelasan mengenai kehalanan makanan dan minuman di tempat itu.

Pekerjaan Rumah
    Seperti sudah disetel,   Restoran Riung Sunda di Mal Central Park itu pun mengklaim makanan dan minuman di tempat itu halal ketika para wisatawan ini menyatakan niat mereka untuk makan siang di tempat itu.”Seratus persen halal Pak, pelayan di sini juga semuanya Muslim, hanya saya yang Nasrani,”ujar Johan, penanggung jawab resto itu dengan ramah. Meskipun demikian dia mengakui resto tersebut belum memiliki sertifikat halal .

    Ketika ditanya Keke soal penggunaan angciu di resto itu, Johan mengaku angciu hanya digunakan untuk  cireng saja. Ia tampak kaget ketika diberitahu bahwa angciu itu haram. “Saya baru tahu angciu itu haram,”ujarnya.

    Baik Rachmat maupun Keke ZS menyarankan agar  pemilik reto itu segera mengurus sertifikat halal.”Kalau tetap pakai angciu sertifikat halal tidak akan keluar,”ujar Rachmat. Jika resto itu sudah bersertifikat halal maka akan dipromosikan gratis oleh  Halal Watch. Untuk lebih jelasnya pihak Halal Watch menyankan agar Johan membuka situs halalmui.org atau PusatHalal.com. “Jangan kalah dengan resto dari Taiwan yang sudah bersertifikat halal,”ujar Rachmat seraya menyebutkan beberapa resto yang sudah melakukan sertifikasi halal.

    Keke Z S juga mengirim surat kepada pemilik resto itu, Rusdi,  yang berkantor di Cikini, Jakarta Pusat, antara lain berisi imbauan agar resto tersebut disertifikasi halal. “Kami rombongan bermaksud untuk makan siang di Restaurant Riung Sunda, namun setelah berdialog dengan Bpk Johan, dengan terpaksa kami tidak jadi karena:  1. Restaurant Riung Sunda belum bersertikat halal, 2. Menggunakan angciu di menunya.,”tulis Keke ZS. Ia juga menyatakan penghargaan atas respons dari Johan yang telah membantu memberikan  informasi dengan baik. Akhirnya rombongan memilih resto lain yakni Java Kitchen yang sudah bersertifikat halal.

    Dari wisata kuliner halal itu pun terungkap adanya beberapa resto dan gerai makanan/minuman yang memajang  sertifikat halal untuk beberapa jenis makanan saja. Misalnya ada gerai menjual enam jenis makanan tapi yang bersertifikat halal hanya dua jenis makanan. Jika konsumen tidak jeli membaca sertifikat tersebut maka seakan-akan semua jenis makanan di tempat itu sudah bersertifikat halal.”Bahkan ada yang cuma sambalnya saja bersertifikat halal,”kata Rachmat . 

    Menurut dia,  yang berbahaya adalah resto-resto yang pernah bersertifikat halal namun tidak diperpanjang dan stiker  halalnya masih terpasang sehingga konsumen menganggap resto dimaksud halal. “Di MUI belum ada prosedur pencabutan stiker halal,”Tutur Rachmat seraya menambahkan bahwa untuk penyadaran diperlukan keberanian dan ketegaan kita untuk menanyakan apakah suatu resto itu halal atau tidak dengan cara yang baik.

    Jika kita tidak peduli terhadap kehalalan makanan di resto-resto maka produsen  juga tidak akan peduli.“Memang kekuatan kita adalah tidak membeli makanan –makanan yang tidak halal itu,”ujar Fisy Amalia, aktivis Halal Watch  yang ikut acara tersebut sambil menambahkan bahwa  kita punya banyak pekerjaan rumah dalam penyadaran  halal dan haram ini.*

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.