Kembali
Oleh: Mustofa AS
SEORANG anggota DPRD DKI Jakarta, yang juga temanku, punya piaraan jin Betawi,
Alia namanya. Katanya, sosok Alia itu tinggi besar dan berkulit pekat, jauh
dari gambaran jin yang tampil dalam sinetron Jin dan Jun. Makhluk halus
ini seperti layaknya manusia, ternyata suka juga bercanda.
Jin muslim (ada juga jin kafir-red)
ini kadang-kadang suka juga iseng mengganggu pemilik rumah di bilangan timur
Jakarta itu. Seperti terjadi pekan lalu, ketika suasana sepi tengah malam
tiba-tiba air mengucur dari kran di pojok halaman rumah. Bunyi air yang
mengucur itu pun memecahkan kesunyian malam. Tentu saja sang anggota DPRD DKI
itu terbangun dan mencari sebab musabab mengapa kran air bisa mengucur sendiri.
Dan, belum sempat menutup kran, pemilik rumah itu pun akhirnya maklum.
Karena, di depannya, Alia berdiri sambil tersenyum.
Ketika jin itu ditanya mengapa berbuat iseng di tengah malam, Alia menjawab
pendek,”Habis saya di-cuekin sih!” Sang wakil rakyat pun tak jadi marah.
Ia hanya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini dirinya sedang stress,
sehingga lupa menegur penjaga rumahnya itu. Maklum, sebentar lagi ia harus
hengkang dari gedung di Jalan Kebon Sirih Jakarta. Mendengar penuturan tuannya
itu, Alia pun lalu tertunduk. Tampaknya ia menyesal telah mengganggu orang yang
tengah terpukul batinnya itu.
Saya tak tahu mengapa anggota dewan yang satu ini stress. Mungkinkah ia terkena
post power syndrome alias penyakit orang pensiunan atau terlibat utang
di BPD?”It was my private affairs,”ujarnya ketus. Padahal, konon,
anggota DPRD DKI Jakarta memperoleh pesangon yang cukup besar, meskipun baru
dua tahun mengabdi sebagai wakil rakyat. Menurut berita angin lalu, pesangon
itu minimal Rp 50 juta per orang.
Dalam sebulan terakhir, menjelang akhir tugas anggota DPRD tingkat 1 maupun
daerah tingkat II (Kabupaten dan Kodya), memang banyak angggota dewan
yang stress. Mereka berharap-harap cemas soal jumlah uang pesangon untuk
menutup utang-utang mereka ke BPD maupun utang kendaraan secara cicilan, yang
sudah merupakan pola hidup dari tahun ke tahun. Soal pesangon, masing-masing
daerah memiliki kebijakan. Tergantung besar kecilnya APBD dan juga kebaikan
sang gubernur, bupati atau wali kota.
Soal pesangon atau uang tali-asih ini memang menimbulkan pro dan kontra di
kalangan anggota DPRD, terutama dalam jumlahnya. Mereka jelas mengharapkan uang
pangjeujeuh itu bisa menutupi biaya-biaya yang selama ini mereka
keluarkan. Umumnya para angggota yang terhormat ini begitu duduk menjadi
anggota dewan memperoleh berbagai fasilitas. Selain gaji, mereka mendapat
kemudahan kredit ke BPD setempat, dengan agunan jabatannya.
Pantaskah sebagai wakil rakyat mereka berlaku begitu? Padahal, kalau ditilik
dari istilah barangkali para yang terhormat ini sebenarnya di bawah rakyat.
Coba simak, wakil ketua kedudukannya di bawah ketua, jadi wakil rakyat
sebenarnya berada di bawah rakyat. Tetapi, kini sudah salah kaprah, wakil
rakyat justru lebih galak dari yang diwakilinya. Anda pasti bingung membaca
ini, seperti saya juga.
Seorang anggota DPRD Jatim merasa dilecehkan karena ditawari uang presangon Rp
10 juta, padahal yang lainnya memperoleh Rp 77 juta per orang. Bedanya mereka
yang memperoleh Rp 77 juta itu sudah dua tahun jadi anggpota DPRD
Jatim. Sedangkan anggota yang yang merasa dilecehkan ini baru duduk
sebagai angggota pengganti antarwaktu. Dapat memaklumi mengapa
anggota DPRD minta pesangon besar, termasuk yang baru duduk itu. Karena ibarat
orang berdagang, modal yang dikeluarkan menjadi anggota dewan yang
terhormat cukup besar, dan itu mesti kembali.
Harian
Umum ABRI
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.