Wednesday 22 October 2014

Teropong


                                 Kembali
                                 Oleh: Mustofa AS

     SEORANG anggota DPRD DKI Jakarta, yang juga temanku, punya piaraan jin Betawi, Alia namanya. Katanya, sosok Alia itu tinggi besar dan berkulit pekat, jauh dari gambaran jin yang tampil dalam sinetron Jin dan Jun. Makhluk halus ini seperti layaknya manusia, ternyata suka juga bercanda.


     Jin muslim (ada juga jin kafir-red) ini kadang-kadang suka juga iseng mengganggu pemilik rumah di bilangan timur Jakarta itu.  Seperti terjadi pekan lalu, ketika suasana sepi tengah malam tiba-tiba air mengucur dari kran di pojok halaman rumah. Bunyi air yang mengucur itu pun memecahkan kesunyian malam. Tentu saja sang anggota DPRD DKI itu terbangun dan mencari sebab musabab mengapa kran air bisa mengucur sendiri. Dan, belum sempat menutup kran, pemilik rumah  itu pun akhirnya maklum. Karena, di depannya, Alia berdiri sambil tersenyum.

     Ketika jin itu ditanya mengapa berbuat iseng di tengah malam, Alia menjawab pendek,”Habis saya di-cuekin sih!” Sang wakil rakyat pun tak jadi marah.  Ia hanya menjelaskan bahwa akhir-akhir ini dirinya  sedang stress, sehingga lupa menegur penjaga rumahnya itu. Maklum, sebentar lagi ia harus hengkang dari gedung di Jalan Kebon Sirih Jakarta. Mendengar penuturan tuannya itu, Alia pun lalu tertunduk. Tampaknya ia menyesal telah mengganggu orang yang tengah terpukul batinnya itu.

     Saya tak tahu mengapa anggota dewan yang satu ini stress. Mungkinkah ia terkena post power syndrome alias penyakit orang pensiunan atau terlibat utang di BPD?”It was my private affairs,”ujarnya ketus. Padahal, konon, anggota DPRD DKI Jakarta memperoleh pesangon yang cukup besar, meskipun baru dua tahun mengabdi sebagai wakil rakyat. Menurut berita angin lalu, pesangon itu minimal Rp 50 juta per orang.

     Dalam sebulan terakhir, menjelang akhir tugas anggota DPRD tingkat 1 maupun daerah  tingkat II (Kabupaten dan Kodya), memang banyak angggota dewan yang stress. Mereka berharap-harap cemas soal jumlah uang pesangon untuk menutup utang-utang mereka ke BPD maupun utang kendaraan secara cicilan, yang sudah merupakan pola hidup dari tahun ke tahun. Soal pesangon, masing-masing daerah memiliki kebijakan. Tergantung besar kecilnya APBD dan juga kebaikan sang gubernur, bupati atau wali  kota.

     Soal pesangon atau uang tali-asih ini memang menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota DPRD, terutama dalam jumlahnya. Mereka jelas mengharapkan uang pangjeujeuh itu bisa menutupi biaya-biaya yang selama ini mereka keluarkan. Umumnya para angggota yang terhormat ini begitu duduk menjadi anggota dewan memperoleh berbagai fasilitas. Selain gaji, mereka mendapat kemudahan kredit ke BPD setempat, dengan agunan jabatannya.

     Pantaskah sebagai wakil rakyat mereka berlaku begitu? Padahal, kalau ditilik dari istilah barangkali para yang terhormat ini sebenarnya di bawah rakyat. Coba simak, wakil ketua kedudukannya di bawah ketua, jadi wakil rakyat sebenarnya berada di bawah rakyat. Tetapi, kini sudah salah kaprah, wakil rakyat justru lebih galak dari yang diwakilinya. Anda pasti bingung membaca ini, seperti saya juga.

     Seorang anggota DPRD Jatim merasa dilecehkan karena ditawari uang presangon Rp 10 juta, padahal yang lainnya memperoleh Rp 77 juta per orang. Bedanya mereka yang memperoleh  Rp 77 juta itu  sudah dua tahun jadi anggpota DPRD Jatim. Sedangkan anggota yang  yang merasa dilecehkan  ini baru duduk sebagai angggota pengganti antarwaktu. Dapat  memaklumi mengapa  anggota DPRD minta pesangon besar, termasuk yang baru duduk itu. Karena ibarat orang berdagang, modal yang dikeluarkan  menjadi anggota dewan yang terhormat cukup besar, dan itu mesti kembali.


Harian Umum ABRI
Jumat, 23 Juli 1999

No comments:

Post a Comment

Silakan beri komentar, terima kasih.