Reuters
![]() |
Warga Rohingya menjadi sasaran
serangan kekerasan, pembantaian massal dan terusir dari rumah-rumah mereka |
Jakarta
– Meskipun ada tanda-tanda reformasi
politik di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan warga minoritas
Muslim Rohingya belum juga tampak membaik.
Pemerintah
Myanmar menolak mengakui warga minoritas Muslim Rohingya sebagai warga negara.
Warga Rohingya menjadi sasaran serangan kekerasan masal dan terusir dari
rumah-rumah mereka ke kamp-kamp yang kumuh. Banyak yang merasa harapan terbaik
mereka adalah melarikan diri ke negara-negara tetangga acapkali dengan risiko
besar.
PBB
menyebut Muslim Rohingya sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya.
Setelah
lari dari penganiayaan di Myanmar, warga Rohingya menganggap Malaysia, sebuah
negara Muslim, sebagai tempat berlindung yang aman. Tapi Malaysia belum
menandatangani konvensi PBB mengenai pengungsi sehingga warga Rohingya tidak
bisa bekerja secara legal atau menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun mereka
lahir di Malaysia.
Para
aktivis memperkirakan sekurangnya 18 ribu orang Rohingya tiba di Malaysia dalam
beberapa bulan terakhir. Sebagian besar merasa tidak punya pilihan kecuali
melarikan diri.
Serangan
yang disertai kekerasan menyebabkan lengan dan leher Ayub Khan lumpuh
sebagian.“Saya berusaha melarikan diri dari serangan massa, tapi mereka
menangkap saya dan membacok bahu saya,” kata Ayub dikutip Voice Of America
(VoA).
Massa
membunuh orangtua, anak-anak, dan seorang perempuan mengatakan pelaku
perdagangan manusia membunuh suaminya ketika mereka lari dengan anak-anak
mereka lewat Thailand menuju Malaysia.
“Di
negara saya, sangat banyak pembunuhan, penyiksaan dan serangan-serangan yang
disertai kekerasan, sehingga kami tidak bisa lagi tinggal di sana. Saya harus
meninggalkan Myanmar dan pergi ke Thailand,” tutur Nayeemah, seorang pengungsi
Rohingya.
“Kalau
ada yang meninggal, mayatnya dibuang ke laut. Sekurangnya 50-55 orang meninggal
dalam perjalanan kami,” papar Eman Hossein.
Sekitar
40 ribu orang Rohingya di Malaysia terdaftar pada badan pengungsi PBB (UNHCR),
sehingga mereka terlindung dari penangkapan dan deportasi. Tapi para aktivis
memperkirakan masih banyak yang belum didaftar.
Nayeemah
yang baru sampai, ingin meninggalkan Malaysia. Ia mengatakan, “Kalau saya
tinggal di sini, saya tidak akan bisa menyekolahkan anak-anak, jadi saya ingin
(bisa) dimukimkan di negara lain.”
“Banyak
pengungsi yang menunggu lebih dari tiga dekade. Mereka masih dalam kondisi yang
sama tanpa harapan apapun. Jadi UNHCR harus memukimkan mereka secepatnya,”
katanya.
Kesempatan
tersebut mungkin tipis, tapi hidup sebagai pengungsi miskin yang terpinggirkan
di Malaysia, masih bisa dikatakan lumayan, dibanding tinggal di negara asal
mereka, Myanmar.*
Sumber:Hidayatullah.com, Sabtu, 17 Januari 2015
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.