Pendatang ke Jakarta
umumnya tak punya keterampilan
OLEH MUSTOFA AS WARTAWAN AB
Pengantar
Pemda
DKI Jakarta akhir Nopember lalu mengadakan Karya Wisata Pers ke Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Wisata pers itu dimaksudkan terutama untuk mendapatkan gambaran
dan keterangan sekitar masalah
kependudukan, khususnya melihat daerah asal pendatang yang banyak mengalir ke
Jakarta. Wartawan HAB Mustofa AS yang sehari-hari bertugas di Pemda DKI
mengikuti wisata pers tersebut sekaligus membuat catatan perjalanannya dalam
tiga tulisan. Semoga bermanfaat.
Redaksi
SALAH
satu masalah yang dihadapi Pemda DKI Jakarta saat ini dan masa-masa mendatang
adalah masalah perrtambahan penduduk. Setiap tahun rata-rata 4% terdiri dari
2,3% pertambahan penduduk secara alam i(kelahiran) dan 1,7% karena pendatang
baru (urbanisasi) yang tercatat menetap di DKI Jakarta.
Jumlah penduduk DKI saat ini diperkirakan lebih dari 7 juta jiwa masih
ditambah lagi dengan penduduk musiman yang jumlahnya mencapai 600.000 orang dan
sekitar 300.000 jiwa pendatang yang nglaju (pulang pergi).
Sering
dikemukakan oleh para pejabat Pemda DKI banyaknya pendatang yang ingin menetap
di DKI antara lain disebabkan pesatnya pembangunan di DKI, lapangan kerja yang
banyak dan tawaran-tawaran lain yang dapat “membius” orang-orang dari daerah
lain di luar DKI Jakarta.
Tidak menjadi masalah jika pendatang itu memiliki keterampilan dan bisa
membuka lapangan kerja di Jakarta. Tetapi kebanyakan pendatang ke ibu kota
biasanya tanpa bekal keterampilan.
Datang hanya untung-untungan mencari lowongan
kerja apa saja. Akibatnya jika pekerjaan tidak didapat pendatang itu
bisa menjadi gelandangan, pengemis dan pekerja-pekerja lain yang oleh
masyarakat banyak dianggap sampah.
Pernah kota Jakarta dibuat tertutup bagi pendatang, namun nampaknya hal
itu tidak bisa diterima, karena sebagai ibu kota negara, Jakarta milik seluruh
bangsa Indonesia.
Menurut data dari Dinas Kependudukan DKI, 80% pendatang berbekal
pendidikan rendah (SD, SLTP) dan tidak memiliki keahlian/keterampilan.
Dari sekitar 7 juta penduduk hanya
sekitar 1,45% yang bekerja, baik di sektor formal maupun non nformal.
Sehingga rata-rata setiap orang Jakarta harus menghidupi sekitar 5 juiwa.
Kepadatan penduduk DKI juga cukup tinggi, rata-rata 10.628 jiwa per
kilometer persegi.Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta membawa dampak sosial di
DKI Jakarta yang terkadang sulit diatasi, misalnya timbulnya gubuk-gubuk liar,
penyerobotan tanah dan kesemrawutan lainnya. Gelandangan, pengemis dan WTS juga
merupakan dampak negatif dari urbanisasi.
Untuk mendapatkan gambaran dan bahan-bahan informasi mengenai
kependudukan, rombongan wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan di wilayah
DKI Jakarta, akhir Nopember lalu melakukan karya wisata ke Semarang, Kabupaten
Batang, Kotamadya Pekalongan, Kabupaten Brebes, Kabupaten Cirebon dan Indramayu
atas undangan Pemda DKI.
Dari keterangan para pejabat setempat diketahui setiap kota memiliki
masalah kependudukan, khususnya migrasi penduduk dari daerah lain. Masuknya
penduduk kota lain ke kota-kota yang nampaknya bisa memberikan lapangan kerja
merupakan satu segi dari masa;lah kependudukan lainnya seperti pelaksanaan
program KB untuk menekan laju pertambahan penduduk.
Dari masalah KB sampai penyediaan lapangan kerja di daerah menurut para pejabat dari Pelita ke Pelita terus
ditingkatkan, seluruh program untuk menyejahterakan rakyat dilaksanakan. Timbul
pertanyaan mengapa masih banyak orang berurbanisasi ke Jakarta?
Tentu saja jawabannya bisa bermacam-macam. Gubernur Jateng, H.M. Ismail
berpendapat, masalah migrasi ini tidak bisa ditinjau dari satu segi saja,
tetapi banyak kaitannya. Misalnya jangan semua kegiatan dipusatkan di Jakarta khususnya
proyek-proyek pembangunan.
![]() |
Gubernur Jateng H Ismail |
Gubernur Jateng menegaskan, kalau ke Jakarta hanya untung-untungan tanpa dibekali keterampilan, lebih baik
tinggal di kampung, tetapi kalau memang yang bersangkutan memiliki keterampilan
silahkan, katanya.
Kotamadya Semarang tidak luput darii”serbuan” penduduk dari luar kota
Semarang seperti dari Demak dan Mranggen. Mereka biasanya nglaju setiap hari
sekitar 16.000 orang sedangkan jumlah keseluruhan mencapai 30.000 buruh per
hari yang masuk ke Kotamadya Semarang, ujar Walikota Semarang Iman Suparto
Tjakrayuda SH.
Karena DKI maju dan banyak menawarkan hidup senang maka penduduk daerah
lain urbanisasi ke Jakarta. Kalau pembangunan merata tidak ada yang lari dari
kampungnya, ujar Walikota Semarang.
Dikatakannya, ia telah mengimbau propinsi agar ruang gerak penduduk
Semarang tidak hanya ke timur (Surabaya) dan ke barat (DKI Jakarta) tetapi juga
ke Kalimantan dan lain-lainnya bisa melalui laut.”Barangkali banjir manusia ke
DKI bisa dikurangi,”ujarnya menambahkan.
Di
Semarang berbagai upaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja dilakukan seperti
Proyek Padat Karya Gaya Baru, pembinaan sektor informal lainnya.
Seperti juga Semarang, Batang, Pekalongan, Brebes, Cirebon maupun Indramayu sama sekali tidak memiliki data, berapa penduduk daerah-daerah tersebut yang bekerja/datang ke Jakarta.”Belum sempat dipantau yang merantau ke Jakarta, tetapi percayalah tidak begitu banyak karena di desa-desa sudah banyak pekerjaan,”ujar Bupati Batang Drs.H.Sukirdjo menjawab pertanyaan wartawan.
Usaha untuk mencegah mereka keluar daerah telah dilakukan antara lain
mendidik para anak putus sekolah dengan keterampilan.”Banyak di antara mereka
yang telah sukses menjadi kontraktor kelas Batang,”ujar Bupati Batang.
Untuk mengisi kekosongan, para buruh tani pada saat menunggu pekerjaan
mereka dipekerjakan di proyek padat karya gaya baru.
Bupati Batang minta agar melaporkan
warga Batang jika kedapatan di
Jakarta sedang menggelandang. Apalagi mengaku-ngaku dari daereah Gringsing
Batang, karena kemungkinan mereka bukan berasal dari desa potensial itu, tetapi
dari Desa Kebun Dalam yang dulunya merupakan basis dari PKI. Sukirdjo
memberikan nomor telepon rumah dan kantornya kepada wartawan untuk maksud
tersebut.
Djoko Prawoto, Walikotamadya Pekalongan juga menjelaskan, banyak
penduduk Pekalongan yang membawa ikan dari Pelabuhan Pekalongan ke Jakarta tetapi tidak menetap di
Jakarta.”Kalau ke Jakarta boleh saja, tetapi harus trampil,”ujarnya.
Di
Pekalongan banyak pekerjaan yang bisa diusahakan oleh penduduk misalnya membuat kerudung bordir
dan lain-lainnya yang bisa diekspor ke Arab. Berbagai latihan keterampilan juga
dilaksanakan di Pekalongan untuk memperluas usaha dan penyaluran tenaga kerja.
Lewat
gunung
Di
Kabupaten Brebes bahkan tenaga dari Pemalang banyak yang bekerja di kota bawang
ini.”Para pendatang ke Jakarta bukan hanya membebani Pemda DKI dan tidak mesti
jadi beban,” ujar Sekwilda Brebes Drs. Solichin sambil menjelaskan pembangunan
di DKI tidak akan jalan kalau di Jakarta hanya
terdiri dari penduduk asli. Buktinya tukang batu, tukang kayu, dan
buruh-buruh lainnya berasal dari luar Jakarta.
Kepala Kantor Sosial Brebes, Surajio bahkan menilai yang membuat arus
urbganisasi deras adalah derasnya pembangunan di Jakarta, juga ulah wartawan
yang menulis menimbulkan rangsangan orang-orang untuk datang ke Jakarta.”Ya
kalau dari Brebes ke Yogya kan jauh harus lewat gunung segala, maka mereka ke
Jakarta yang lebih dekat dari Brebes,”ujar Surajio menggambarkan mengapa orang
memilih Jakarta untuk mencari kerja, faktor sejarah juga berpengaruh.
Melarang orang untuk tidak bepergian ke Jakarta memang berat, ujar
Surajio yang humoris itu.
Kepala Biro Humas Pemda Jateng
Sukoyo G.menegaskan, permasalahan demi permasalahan seperti juga urbanisasi dan
masalah kependudukan lainnya adalah masalah
kita bersama. Yang penting harus dipecahkan bersama pula.
Di
Kabupaten Cirebon, Jabar, tepatnya di Palimanan para wartawan diberi kesempatan
meninjau sasana rehabilitasi wanita “Silih Asih”.
Di
tempat ini parta WTS dilatih keterampilan setiap angkatan 30 orang selama 3
bulan. Mereka umumnya para WTS yang terjaring dari kota-kota Jabar seperti
Ciamis, Cianjur, Kotamadya Cirebon,
Majalengka, Kotamadya Bandung, Bogor.
Selain dilatih keterampilan memasak, menjahit, merias, para WTS itu dibina
juga mentalnya sebelum dikembalikan ke masyarakat.
Kadinsos
Kabupaten Cirebon, Masduki, mengaku banyak wanita tuna susila yang berasal dari
daerah sekitar Cirebon tetapi mengaku dari Cirebon. Mereka yang dikembalikan
oleh Dinas Sosial DKI ke Cirebon ternyata bukan orang-orang Cirebon.
Masduki mengimbau Dinas Sosial DKI agar sebih selektif dalam meneliti
asal para tuna karya, tuna wisma dan tuna-tuna lainnya yang akan diekmbalikan
ke daerah asal, sehingga tidak merepotkan kantor dinas sosial di daerah. Karena
harus mengurus orang-orang tersebut yang asal dipulangkan.”Akibatnya Cirebon
kena getahnya,”katanya mengeluh.
Ditegaskannya, tidak terdapat data mengenai wanita muda yang mencari
nafkah ke Jakarta dan tidak ada yang mengatakan untuk menjadi WTS, ujarnya
sengit menjawab pertanyaan wartawan sekitar banyaknya WTS yang mengaku berasal
dari Cirebon.
Karena itu para camat sekarang lebih selektif memberikan surat jalan
kepada para wanita yang akan mengadu nasib ke
DKI.
Kemajuan yang dicapai Kabupaten Cirebon ternyata mengundang pula
urbanisasi dari daerah lain.. Misalnya saja dari hasil razia WTS April-Mei lalu
terjaring 146 orang di sepanjang jalan protokol, namun dari jumlah tersebut
hanya 20% dari Cirebon, sisanya dari Majalengka, Kuningan, Brebes, dan lain-lainnya.
Sekwilda Kabupaten Indramayu Drs H. Prawoto Sayuti mengungkapkan,
setelah devaluasi banyak warga Indramayu yang mencari nafkah di Jakarta pulang
kampung, apalagi setelah DKI dinyatakan bebas becak.
Ia
mengakui sudah sejak lama orang Indramayu dan Cirebon bekerja di Jakarta
sebagai tukang becak, karena bidang
pertanian belum maju seperti sekarang.”Sulit mencari tenaga kerja pada musim
menggarap sawah pada saat panen,”katanya.
Mengenai pengakuan para WTS di Jakarta yang katanya berasal dari Indramayu, Sekwilda mengakui,
dulu angka perceraian di daerahnya cukup tinggi, sehingga banyak wanita muda ke
Jakarta, juga banyak wanita muda dari daerah lain datang ke Jakarta.”Jadi tidak
tepat jika Indramayu dikonotasikan dengan hal-hal negatif begitu,”ujarnya
dengan nada keras.
Dengan adanya kemajuan di berbagai bidang pembangunan apalagi Indramayu
pernah mendapat penghargaan karena kemajuan yang dicapai, kini sedikit banyak
telah berubah.“Perkawinan muda bisa juga dicegah, karena dimonitor
terus,”tegasnya.
Pemda-pemda di Jawa khususnya, masing-masing menghadapi masalah seperti
yang dikeluhkan Pemda DKI yaitu urbanisasi. Karena itu pembangunan di berbagai
bidang terus digalakkan di daerahnya masing-masing. Salah satu sasarannya agar
mereka bisa hidup sejahtera di kampungnya sendiri.
Sebagai gambaran selintas tulisan berikutnya mengemukakan sebagian dari
usaha pemda-pemda tersebut.
(Bersambung/dm)
Harian Umum AB
Senin, 15 Desember 1986
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.