![]() |
23
Apr 2015,
Pelantikan Budi Gunawan menjadi Wakil Kapolri |
MIMBAR-RAKYAT.com
(Jakarta) – Komjen Budi Gunawan (BG) sudah dilantik sebagai Wakapolri, Rabu
(22/4). Terkesan sebagai pelantikan
ngumpet, karena hanya dihadiri sekelompok kecil pati Polri
dalam upacara sangat singkat di salah satu ruang Mabes Polri , tertutup bagi
wartawan.
BG
pun meninggalkan pelantikan melalui pintu lain yang membuat terhindar dari
wartawan. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, pelantikan Komjen
Budi Gunawan sebagai Wakapolri dipercepat menjadi Rabu (22/4/2015) sore. Pada
awalnya, acara pelantikan tersebut dijadwalkan digelar Kamis (23/4/2015).
Menurut
Badrodin,semula direncanakan digelar Kamis karena rangkaian proses
pemilihannya baru selesai pada Rabu pagi . Surat pemberitahuan pada Presiden
Joko Widodo juga baru ditanda tangani dan dikirim kepada Menteri Sekretaris
Negara.
“.
Tapi besok kegiatan saya penuh sehingga tidak memungkinkan,” kata Badrodin, di
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu malam.
Sosiolog
Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menilai, pelantikan terhadap
BG sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden Joko Widodo. Sebab, kata dia,
sampai saat ini dugaan korupsi terhadap jenderal bintang itu masih belum clear.
Menurutnya,
alasan pembatalan pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu sebagai
Kapolri beberapa waktu lalu adalah karena aspek hukum dan sosiologis. Dua aspek
itu saat ini masih berlaku. Sebab, kata dia, secara hukum perkaranya belum
jelas dan juga publik yang masih menolak BG.
“Jadi
telah terjadi pelecehan oleh Polri atau tidak mengindahkan wibawa presiden,”
kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/4).
Menyadari
situasi ini maka pelantikan yang tiba-tiba dan terkesan “ngumpet” memang
menjauhkan dari kontroversi yang bisa kembali merebak.
Dalam
Pasal 57 ayat (1) Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kepolisian Negara RI mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian
pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua ke atas
atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh
Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.
Pelantikan Ngumpet
Menteri
Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy
Purdijatno menilai pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri tidak perlu
ada yang dipermasalahkan .
“Kan
sudah disetujui oleh internal, inilah pimpinan saya (Polri),” kata Tedjo, di
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (22/4/2015).
Tedjo
menuturkan, dirinya yakin Kapolri telah melaporkan terpilihnya Budi Gunawan
sebagai Wakapolri kepada Presiden Joko Widodo. Badrodin mengakui ia
menyampaikan pelantikan itu kepada Presiden pada hari ( pelantikan) Rabu itu
juga. Ia juga tidak sependapat jika pelantikan tersebut dianggap tergesa dan
ditutup-tutupi, atau “ngumpet”. (ais)
Komjen
Polisi Budi Gunawan Resmi Dilantik Menjadi Wakil Kapolri
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komjen
Budi Gunawan (BG) telah dilantik dan resmi menjabat sebagai wakil kapolri, Rabu
(22/4). Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola menilai,
pelantikan terhadap BG sebagai bentuk pelecehan terhadap Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, alasan pembatalan pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu sebagai kapolri beberapa waktu lalu adalah karena aspek hukum dan sosiologis. Dua aspek itu saat ini masih berlaku. Sebab, kata dia, secara hukum perkaranya belum jelas dan juga publik yang masih menolak BG.
"Jadi telah terjadi pelecehan oleh Polri atau tidak mengindahkan wibawa presiden," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/4).
Pembatalan pelantikan BG sebagai kapolri secara tidak langsung adalah untuk menjaga institusi kepolisian diisi oleh orang-orang yang bersih. Sebab, kata dia, sampai saat ini dugaan korupsi terhadap jenderal bintang itu masih belum clear.
Dalam Pasal 57 ayat (1) Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara RI mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua ke atas atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.
"Pertanyaannya apakah Kapolri Badrodin sudah konsultasi dengan Jokowi," ujar dia.
Menurutnya, alasan pembatalan pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu sebagai kapolri beberapa waktu lalu adalah karena aspek hukum dan sosiologis. Dua aspek itu saat ini masih berlaku. Sebab, kata dia, secara hukum perkaranya belum jelas dan juga publik yang masih menolak BG.
"Jadi telah terjadi pelecehan oleh Polri atau tidak mengindahkan wibawa presiden," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/4).
Pembatalan pelantikan BG sebagai kapolri secara tidak langsung adalah untuk menjaga institusi kepolisian diisi oleh orang-orang yang bersih. Sebab, kata dia, sampai saat ini dugaan korupsi terhadap jenderal bintang itu masih belum clear.
Dalam Pasal 57 ayat (1) Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara RI mengatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan Perwira Tinggi (PATI) bintang dua ke atas atau yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.
"Pertanyaannya apakah Kapolri Badrodin sudah konsultasi dengan Jokowi," ujar dia.
Aktivis: Pelantikan BG Tak Sesuai dengan Sistem
Administrasi Negara
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --
Masyarakat Antikorupsi Yogyakarta menilai mekanisme pelantikan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia
tidak sesuai dengan sistem administrasi negara yang ada.
Hal itu disampaikan Masyarakat
Antikorupsi Yogyakarta yang terdiri atas beberapa elemen antara lain Pusat
Kajian Antikorupsi, Jogja Police Watch (JPW), Indonesia Court Monitoring, dan
Seknas Gusdurian dalam jumpa pers di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
Kamis.
"Dalam konteks pelantikan Budi
Gunawan (BG) terjadi proses insubkoordinasi dalam sistem administrasi negara
kita," kata Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu.
Menurut Tri, seharusnya sesuai
pengangkatan dan pemberhentian pejabat pada jabatan dan kepangkatan perwira
tinggi bintang dua ke atas yang termasuk dalam lingkup jabatan eselon IA dan IB
ditetapkan oleh Kapolri setelah dikonsultasikan dengan Presiden.
Prosedur itu, kata dia, sesuai
dengan Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tantang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Sedangkan pengangkatan BG sebagai
Wakapolri ditentukan sendiri oleh internal Polri tanpa konsultasi pada Presiden
yang sedang sibuk mengurus Konferensi Asia Afrika (KAA)," kata dia.
Sementara itu, Koordinator Jogja
Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba mengatakan pengangkatan BG sebagai
Wakapolri jangan sampai terbukti memiliki indikasi intervensi partai politik.
Kebijakan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Sebab, kata dia, status BG sebagai
tersangka hingga saat ini masih belum benar-benar hilang. Sementara putusan
praperadilan, kata dia, tidak secara otomatis menghilangkan status tersangka BG
sebab belum ada surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Apalagi, Presiden juga sebelumnya
telah membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri karena status hukum jenderal
bintang tiga itu masih dianggap bermasalah. "Bahkan saat ini gelar perkara
kasus BG di Polri belum dilakukan tetapi BG sudah dilantik menjadi
Wakapolri," kata dia.
Sumber:republika.co.id, Jumat, 24 April 2015
Jokowi Diminta Tolak BG sebagai Wakapolri
Jakarta
- Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) meminta Presiden Joko
Widodo (Jokowi) menolak Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Wakapolri.
Peneliti MaPPI, Dio Ashar Wicaksana
menyatakan, Jokowi membatalkan pelantikan BG sebagai kapolri karena adanya
polemik di tengah masyarakat. Hal yang sama seharusnya menjadi pertimbangan
Jokowi menolak nama Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) itu sebagai
Wakapolri.
"Kami meminta Presiden Jokowi tidak
menyetujui nama BG apabila nantinya Kepolisian memilih nama BG sebagai calon
wakapolri. Kami meminta konsistensi dari sikap Presiden. Presiden membatalkan
pelantikan BG sebagai kapolri karena adanya polemik di masyarakat. Sudah
seharusnya, beliau juga tidak sepakat jika nama BG diajukan sebagai calon
wakapolri," kata Dio dalam siaran pers yang diterima SP, Selasa
(7/4).
Dio menyatakan lembaga kepolisian
seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang integritas dan kualitasnya dinilai
baik. Dio menilai praperadilan BG yang dikabulkan Pengadilan Negeri (PN)
Jakarta Selatan (Jaksel) tidak otomatis berarti yang bersangkutan (BG) terbebas
dari sangkaan tindak pidana korupsi.
Sebab, hakim Sarpin yang memimpin
sidang praperadilan hanya mendelegitimasi kewenangan KPK mengusut kasus BG.
"Isi putusan Sarpin Rizaldi tidaklah memutuskan BG sama sekali tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, isi putusannya hanyalah mendelegitimasi
kewenangan KPK terhadap pemeriksaan perkara BG," katanya.
Untuk itu, Dio meminta Kapolri yang
baru tidak lagi mengajukan nama BG sebagai calon wakapolri. Menurutnya, Kapolri
memilik hak menolak nama yang diusulkan oleh Dewan Kepangkatan dan Jabatan
Tinggi (Wanjakti) Polri. "Kami meminta kapolri yang baru untuk tidak
mengajukan nama BG sebagai calon wakapolri," tegasnya.
Setelah batal dilantik sebagai
kapolri, muncul kabar BG diusulkan menjadi Wakapolri. Usulan tersebut
disampaikan sejumlah fraksi DPR kepada Presiden Jokowi saat rapat konsultasi
Senin
Sumber: Beritasatu.com/Suara Pembaruan
Ini Jawaban Kapolri soal Sertijab Wakapolri yang Tertutup
Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti
(Antara/Widodo S.Jusuf)
Jakarta -
Kapolri Jenderal Badrodin mengatakan dirinya sama sekali tidak berniat melakukan
upacara serah terima jabatan (sertijab) Wakapolri Komjen Budi Gunawan (BG) di
Mabes Polri, Rabu (22/4), secara tertutup.
"Ceritanya itu ini adalah buah
dari sebuah proses yang serbacepat. Awalnya saya berniat menggelar sertijab
pada Kamis (23/4) ini. Sertijab yang terbuka dihadiri ibu-ibu Bhayangkari,
lengkap, dengan media seperti biasanya. Tapi, ternyata, saya sudah ada jadwal
paparan hari ini," kata Badrodin kepada Beritasatu.com, Kamis
(23/4) pagi.
Karena itu, dia lalu berniat
menggeser acara ke Kamis sore, tetapi lagi-lagi dia terbentur dengan rangkaian
acara peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) karena harus berangkat ke
Bandung, Jawa Barat.
"Saya akan menginap di Bandung
sampai Jumat. Sampai Jakarta Jumat sore sehingga mustahil akan dilakukan
sertijab dan pasti baru bisa minggu depan. Itu tentu terlalu lama, karena
maunya cepat, ya sudah, saya putuskan Rabu siang itu," tambahnya.
Karena digelar mendadak itu,
Badrodin melanjutkan, maka diputuskan acara digelar di lantai dua Gedung
Rupatama yang memang sempit, tidak seluas aula Rupatama yang biasanya dipakai
sebagai acara sertijab. Karena ruangan yang sempit, jumlah tamu yang diundang
terbatas.
Saat ditanya mengapa informasi
keterpilihan BG hasil rapat Wanjakti juga ditutupi, Badrodin menjawab,"Karena
memang baru clear pada Rabu pagi saat saya berkirim surat pada menteri
sekretariat negara. Kan tidak tepat mengumumkan sesuatu yang belum clear,"
ujar Badrodin.
Untuk itu, masih kata mantan Kapolda
Jawa Timur itu, dirinya meminta maaf jikalau terkesan acara sertijab BG
terkesan tertutup dan mengesampingkan media yang biasa meliput di lingkungan
Mabes Polri.
"Sekali lagi, bukan maksud saya
begitu. Jadi tolong dipahami ya. Harapan kita setelah ini kinerja Polri bisa
lebih cepat lagi untuk melayani masyarakat. Soliditas internal juga
meningkat," lanjutnya.
Memang, meski telah dibantah namun
informasi soal proses pemilihan wakapolri saat ini memang jauh lebih tertutup
dibanding proses pemilihan sejumlah wakapolri di masa lalu, di mana informasi
pada media saat itu mengalir lancar. Misalnya saja dalam proses pemilihan
Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Komjen Oegroseno, dan Komjen Nanan Soekarna,
ketika itu semua informasi dipasok pada media untuk dipublikasikan secara luas.
Bahkan warna-warni bunga ucapan
selamat memenuhi halaman Mabes Polri dihari pelantikan mereka. Sementara aneka
makanan disajikan bagi jamuan para tamu. Namun ini semua itu tak ada di hari
pelantikan BG.
Situasi yang serbatertutup dan tidak
lazim ini mengingatkan saat sertijab Kabareskrim dari Komjen Suhardi Alius
kepada Komjen (saat itu masih Irjen) Budi Waseso yang berlangsung 19 Januari
lalu. Sertijab ini digelar hanya beberapa jam setelah Surat Perintah Kapolri
Nomor 124/I/2015 tertanggal 19 Januari 2015 yang ditandatangani Plt Kapolri
Komjen Badrodin Haiti dikeluarkan.
Padahal, berdasarkan pengalaman
sebelumnya, sertijab digelar 2-3 hari, atau bahkan 1-2 minggu, setelah surat
perintah dikeluarkan. Saat itu Badrodin juga beralasan yang sama, yakni
sertijab sebenarnya tidak tertutup, tapi karena sertijab berlangsung di lantai
dua gedung Rupatama yang sempit, maka tidak bisa menampung semua tamu, termasuk
media.
Untuk diketahui, Suhardi waktu itu
diganti secara mendadak dengan aroma tuduhan telah berkhianat kepada intitusi.
Dia dianggap bekerja sama dengan KPK dan tidak melindungi BG dari bidikan KPK.
Sumber: Beritasatu.com,
Kamis, 23 April 2015
Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik
Jumat,
24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY
PERMANA Hakim
Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu
depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.
"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.
Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.
"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.
Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.
"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.
Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.
Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik
Jumat,
24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY
PERMANA Hakim
Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu
depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.
"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.
Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.
"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.
Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.
"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.
Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.
Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik
Jumat,
24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY
PERMANA Hakim
Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu
depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.
"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.
Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.
"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.
Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.
"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.
Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.
Putusan Hakim Sarpin Dinilai Sarat Kepentingan Politik
Jumat,
24 April 2015 | 09:23 WIB
TRIBUNNEWS/DANY
PERMANA Hakim
Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). Sidang tersebut ditunda sampai minggu
depan karena ketidakhadiran pihak tergugat.
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Program Pascasarjana Interdisiplin Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, putusan Hakim Sarpin dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan kental dengan unsur politis. Ia mengatakan, hakim memang dituntut untuk membuat terobosan hukum dalam putusannya, tetapi putusan Sarpin dinilai mendobrak esensi terobosan tersebut.
"Sayangnya, putusan Hakim Sarpin untuk membuat terobosan sarat dengan kepentingan politik," ujar Sulistyowati melalui sambungan telepon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (23/4/2015) malam.
Sulistyowati mengatakan, seharusnya terobosan hukum oleh hakim ditujukan demi memberi rasa keadilan dengan segala pertimbangannya. Namun, menurut dia, putusan Sarpin yang mengabulkan gugatan Budi atas penetapan tersangka tidak memenuhi tujuan keadilan tersebut.
"Dalam hal ini, Sarpin justru buat terobosan untuk kepentingan politik. Artinya, tidak memberi pelajaran bagus bagi mahasiswa, praktisi, dan ahli hukum," kata Sulistyowati.
Sulistyowati mengatakan, hakim diibaratkan sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menjaga keadilan, dan tidak boleh melakukan kesalahan. Dengan demikian, keputusan apa pun yang dikeluarkan hakim harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan Tuhan. Ia mengingatkan Hakim Sarpin dan para hakim lainnya untuk tidak bermain-main dalam melahirkan putusan.
"Tentu hakim membaca berbagai literatur, melihat realitas di masyarakat sehingga keputusannya tidak bertentangan dengan publik. Kepastian hukum harus didasari kepentingan publik dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Sulistyowati.
Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Dalam putusannya, Hakim Sarpin menganggap penetapan tersangka termasuk dalam obyek praperadilan. Ia menilai KPK tidak berwenang mengusut kasus Budi. Padahal, berdasarkan Pasal 77 juncto Pasal 82 huruf b juncto Pasal ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kewenangan lembaga praperadilan hanya meliputi penanganan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Dalam hal ini, penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan. Dampaknya, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Namun, Kejaksaan kemudian melimpahkan penyelidikan kasus Budi ke Polri dengan alasan bahwa Bareskrim Polri pernah menangani penyelidikan kasus dugaan rekening gendut Budi.
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.