Suteja Neka pendiri dan kurator Museum Neka
Kekhawatiran akan
mengalirnya hasil-hasil karya seni lukis
bermutu tinggi keluar negeri, menimbulkan tekad P.W. Suteja Neka untuk
meninggalkan pengabdiannya di bidang pendidikan dan beralih mengabdi sebagai
kolektor karya lukis bermutu. Cita-cita dan pengabdian pria kelahiran Ubud, Bali, tahun 1939, itu
kini bisa kita saksikan dan kita nikmati di Museum Neka yang terletak di
Desa Campuan, Ubud, Bali.
![]() |
Foto:yukpegi.com |
Siapa pun pencinta seni akan
kagum melihat penataan maupun koleksi seni lukis yang ada di sana. Museum Neka menawarkan karya pelukis-pelukis
ternama untuk dinikmati dan dikagumi,
bahkan untuk ditelaah dan diperbandingkan.
Hasil-hasil karya para pelukis
terkenal seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made,
I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Doblog, Ida Bagus Widja, Affandi, Rusli,
Nashar, Soedjojono, dan sederetan nama terkenal yang berkiprah dalam bidang
seni lukis lainnya, terpampang di sana. Juga pelukis-pelukis mancanegara yang
pernah tinggal menetap di Bali seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith
dan lain-lainnya.
Tidak kurang dari 178 lukisan
berbagai ukuran dipamerkan di museum yang dikelola swasta itu. Museum itu
sendiri menempati tanah seluas 7.700 m2, dengan bangunan khas bercorak Bali
seperti tata letak rumah keluarga besar masyarakat Bali.
Suteja Neka yang mantan guru
kesenian itu, selain sebagai pendiri Museum Neka, ia juga sebagai kurator di
sana.
Suteja yang sering
mondar-mandir mengadakan pameran lukisan
baik di Bali, di luar Bali bahkan sampai ke Honolulu itu menyatakan, ia cukup
berbahagia karena pada masa pembangunan
sekarang ini bisa ikut mengabdikan dirinya di bidang seni sesuai dengan ajaran
agama yang dianutnya sekaligus dharma bakti terhadap kedua orang tuanya,
terhadap guru, pemerintah, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Keberanian Suteja Neka atas
panggilan batinnya untuk bergelut dan berjuang menyelamatkan karya-karya seni
lukis yang bermutu, patut kita hargai. Sebab dengan usaha yang dilakukan dengan susah payah dan pengorbanan yang tidak sedikit itu tentu
tidak akan sia-sia. Khususnya bagi generasi mendatang untuk menikmati dan
bercermin terhadap kesungguhan para
pelukis besar kita.
Para wisatawan yang berkunjung ke
Ubud, rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjungi museum yang diresmikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pada 7 Juni 1982 itu.
Prihatin
Menuturkan pengalamannya yang
cukup panjang akhir tahun lalu, Suteja Neka merasa tergugah hatinya untuk mengumpulkan karya-karya seni milik
ayahnya dalam sebuah Art Shop kecil, setelah melihat keberhasilan ayahnya sebagai seniman pematung yang sukses.
Wayan Neka, demikian nama ayah
Suteja Neka, adalah seorang pematung
yang pada tahun 1935 tergabung dalam organisasi “Pita Maha” di bawah bimbingan
Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Cokorde
Gde Agung Sukawati.
Wayan Neka berhasil menjuarai
sayembara seni patung di Bali tahun 1960. Ia memperoleh berbagai hadiah,
termasuk satu truk kayu sawo kecik bahan
patung.
Melihat keberhasilan ayahnya itu,
Suteja mengumpulkan karya-karya ayahnya , di samping lukisan-lukisan
tradisional Bali yang dipinjam dari kawan-kawan ayahnya dan beberapa pelukis di sekitar Ubud, untuk dipajang di
Art Shop-nya yang kecil itu.”dari hasil penjualan barang-barang seni itu kami
memperoleh imbalan yang dikumpulkan
sebagai modal,”tutur pria yang mengaku hanya berpendidikan formal sampai SPG
itu.
Istrinya membantu mengelola jual
beli barang seni itu supaya ia tetap bisa melakukan tugasnya sebagai guru. Perhatiannya bisa tercurahkan kepada Arts Shopnya jika
Suteja Neka selesai mengajar.
Dorongan untuk lebih giat bekerja
datang ketika Wayan Neka mendapat kehormatan untuk membuat patung garuda setinggi 3 meter untuk dipamerkan pada
Pavilion Indonesia di New York World Fair.”Peristiwa itu mendorong kami untuk
lebih giat mengumpulkan lukisan-lukisan
dengan modal yang ada,” ujar Suteja seraya mkenambahkan, banyak lukisan yang
terkumpul diikutsertakan dalam pameran internasional itu.
Dengan dibukanya hotel
internasional pertama di Bali yakni Hotel Bali Beach di Sanur, semakin banyak
wisatawan mancanegara membawa souvenir atau cenderamata, termasuk memboyong
karya seni bermutu tinggi ke negara asalnya.
Sebagai seorang guru seni Suteja
merasakan keprihatinannya, karena banyaknya seni lukis bermutu tinggi diangkut
ke negara lain. Merasa tidak mampu menjalankan dua tugas sekaligus, yakni
sebagai guru dan pengumpul karya seni, Suteja lalu meninggalkan
pengabdiannya di bidang pendidikan.
Walaupun katanya, hal itu dilakukan dengan berat hati.
“Mendokumentasikan karya-karya seni lukis dari para seniman Bali
merupakan pengabdian juga,”ucapnya. Sejak itu ia mulai mendokumentasikan
lukisan-lukisan yang kelak akan dimanfaatkan untuk bahan pendidikan.
Memburu karya seni
Tentu tidak mudah memperoleh karya-karya pelukis besar yang memiliki nilai
tinggi dan berharga mahal. Ada yang mudah didapat, tetapi tidak jarang untuk
mendapatkan satu lukisan ia harus berjuang habis-habisan. Jalan yang cukup
,berliku milsalnya, ketika ia memperoleh lukisan “Sabungan ayam dan penggembala
bebek” karya Ida Bagus Made. Lukisan itu telah bertahun-tahun diincarnya.
Rumah Suteja dengan pelukis Ida
bagus Made tidak begitu jauh. Sehingga antara keduanya sering melakukan
diskusi mengenai karya-karya seni lukis.
Permintaan untuk memiliki ”Sabungan ayam dan penggembala bebek” ia kemukakan
beberapa kali dengan cara akan membeli lukisan
tersebut. Namun pelukis tersebut
tetap tidak mau menyerahkan lukisannya
itu.”Yah tapi saya tidak putus asa,”
kata Neka menuturkan.
Suatu hari gallery Sutreja
Neka didatangi kolektor lukisan dari Belanda dan tertarik pada beberapa
lukisan koleksi Neka yang telah diputuskan untuk tidak dijual. Pemburu lukisan
dari Belanda itu berkali-kali minta agar Suteja Neka sudi melepaskan salah satu
koleksinya itu untuk dibawa ke negeri Belanda.” Ia katanya akan bersedih jika
meninggalkan Bali tanpa lukisan yang
disenanginya itu, “ujar Neka menceritakan keinginan kuat tamunya itu.
Akhirnya Suteja Neka mau
melepaskan lukisan itu dengan syarat kalau bisa ditukar dengan sebuah
lukisan karya Ida Bagus Made. Si pemburu
lukisan itupun bergegas ke rumah Ida Bagus Made. Hampir-hampir tidak bisa
mempercayai apa yang dilihatnya, Suteja Neka disodori lukisan ”Sabungan ayam
dan penggembala bebek” oleh si Belanda sekembalinya dari rumah pelukis Bali
itu.
Tentu saja ia berjingkrak
kegirangan, karena lukisan yang diidam-idamkannya bertahun-tahun akhirnya bisa
dimilikinya.
Terjadilah tukar menukar lukisan
di gallery itu, lukisan koleksi Suteja Neka
ditukar dengan lukisan karya Ida Bagus Made.”Saya sedih melepaskan
lukisan koleksi saya, tertapi bisa terobati lukisan dari Ida Bagus Made,”Suteja
Neka mengungkapkan. Ia pun berpikir, mengapa lukisan itu lebih gampang dilepaskan kepada orang asing, padahal ia
telah lama meminta dengan cara membeli, namun tidak terlaksana.
Suteja pernah pula kecewa ketika
memburu lukisan”Baju Hijau” (1974) karya pelukis Srihadi. Lukisan itu
dipamerkan di TIM, Suteja diundang oleh Srihadi untuk menghadiri pameran itu.
Seusai pameran ia ke Bandung ke rumah Srihadi
dengan niat membeli si Baju Hijau. Namun, betapa kecewanya lukisan itu ternyata
telah dibeli oleh orang Jerman, ketika
pameran berlangsung. Berdasarkan pengalaman yang kurang enak itu, jika
saya tergetar oleh suatu karya lukisan
sedapat mungkin saya langsung membelinya, takut keduluan orang lain,
kata Suteja yang katanya masih terkenang-kenang akan lukisan Baju Hijau itu.
Pengalaman lain yang cukup
berkesan dalam memburu lukisan dikisahkan
oleh Suteja Neka. Suatu ketika ia mendatangi seorang pelukis senior yang
memiliki koleksi cukup banyak. Dua buah lukisan
yang berjudul Pura Bali menarik perhatiannya, namun harganya cukup
tinggi. Harga itu tidak bisa turun meskipun berkali-kali Suteja menawar. Apa
boleh buat jauh-jauh dari Bali ke Jakarta akhirnya pulang dengan tangan hampa,
katanya.
Suatu ketika pelukis senior dari
Jakarta itu datang ke gallery milik
Neka. Di sana diperlihatkan semua koleksi lukisan Suteja Neka, dan setelah cukup lama
berbincang-bincang si pelukis itu menyatakan bahwa lukisan yang ditaksir Suteja kini dibawanya
dan boleh dibeli dengan harga seperti penawaran Suteja pada saat di rumah pelukis tersebut.
Pelukis Bali yang memiliki nama
besar I Gusti Nyoman Lempad ternyata
cukup murah hati, ketika Suteja menyatakan keinginannya untuk mengoleksi lukisannya. Suteja disuruh
memilih sendiri lukisan yang
disenanginya dan ketika ia menanyakan
harganya dengan kalem Lempad berkata,” Tidak usah dibayar, bawa sajalah karena untuk dikoleksi dan tidak
diperdagangkan,”tutur Suteja Neka menirukan kata-kata Lempad. Tentu saja
peristiwa itu sangat berkesan di hati Neka.
Karya-karya Abadi
Tahun 1975 Suteja berkeliling ke
beberapa kota di Eropa seperti Amsterdam, London, Roma, Jenewa, dan Paris.
Kepergiannya ke sana itu atas saran
pembina seni lukis Bali Rudolf Bonnet, supaya Suteja menambah wawasan dengan
melihat-lihat museum seni lukis di mancanegara itu. Saran itu dikemukakan
Bonnet ketika Suteja Neka merencanakan
memperluas gallerynya pada tahun 1972.
Sepulang dari Eropa Suteja mulai
memperluas gallerynya di Campuan Ubud dengan maksud menjadikan tempat itu
sebagai museum seni lukis. Bentuk bangunan yang bisa kita lihat sekarang
direncanakan oleh Suteja sendiri dan dibangun secara bertahap.
Menurut dia, jika uang telah
terkumpul sebagian untuk membangun, sebagian lagi untuk membeli lukisan.
Akhirnya 4 bangunan dengan tata letak pekarangan Bali rampung sudah, termasuk jumlah lukisan
dinilai telah memadai.”Timbul keinginan kami sekeluarga untuk menjadikan
koleksi barang seni itu suatu karya abadi dan lestari sepanjang masa,”ujarnya
mengenang.
Maka ketika Menteri Daoed Joesoef
berkunjung ke Bali Suteja minta
saran-saran dan mengemukakan keinginannya
untuk mendirikan museum seni lukis.
Setelah melalui berbagai proses,
termasuk pemeriksaan oleh tim Bina Program Bidang Permuseumann dan Sejarah Departemen P dan K
Bali, maka dinyatakan persyaratan untuk museum pada bangunan itu telah dipenuhi, karena telah sesuai dengan
kesepakatan antara Indonesia dengan ICOM (International Council of Museum).
Yakni badan permuseuman internasional yang didirikan Unesco.
Namun demikian pada saat itu
masih ada persyaratan yang harus dipenuhi. Yakni suatu badan tetap yang akan mengelola museum itu. Untuk itu dan
atas saran tim pemeriksa dirancanglah suatu badan berupa yayasan.
Lahirlah Yayasan Dharma Seni yang
mengelola Museum Neka atas restu Gubernur Bali Ida Bagus Mantra dan Ka Kanwil
Departemen P dan K Bali I Gusti Agung
Gde Oka. Kedua pejabat itu duduk sebagai penasihat yayasan.
Di museum yang juga mendapat
bantuan pemerintah itu kita bisa melihat lukisasn-lukisan yang dibuat pada tahun 30-an karya Nyoman Lempad,
Ketut Soki, dan sederetan nama terkenal
lainnya. Juga lukisan-lukisan masa kini karya pelukis-pelukis kenamaan Indonesia.
Empat gedung itu masing-masing memiliki
kekhasan tersendiri. Gedung I digunakan untuk
memamerkan karya –karya pelukis Bali terkemuka seperti I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde
Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Doblog dan Ida Bagus
Widja. Gedung II dipajang karya-karya pelukis Indonesia seperti Affandi, Widayat, Fajar Sidik, Achmad Sadali,
Srihadi, Popo Iskandar, Hendra Gunawan, Rusli, Nashar, Abas Alibasyah,
Soedjojono, Nyoman Tusan, Dullah, Abdul Azis, Nyoman Gunarsa dan lain-lain.
Untuk gedung III dipamerkan lukisan-lukisan karya tiga pelukis asing yang
tinggal menetap di Bali dan ada
hubungannya dengan perkembangan
seni lukis di Bali. Mereka adalah Walter Spies, Rudolf Bonnet dan Artie
Smith. Sedangkan gedung IV tempat hasil
pelukis asing lain yang pernah menetap di Bali, mendapat inspirasi lingkungan
alam dan kebudayaan Bali. Mereka adalah
Theo Meier, V.G. Hofker, Hansnell, Antonio Blanco dan Donald Friend.
Museum Neka yang dikelola swasta
itu selalu dikunjungi wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara, kini
memiliki 15 karyawan.
Suteja Neka pernah menyertai
koleksi lukisannya dari Museum Neka untuk dipamerkan di Honolulu Oktober tahun
lalu. Selain itu ia pernah juga
berkunjung kie Selandia Baru atas undangan Garuda Indonesia.
Cita-citanya untuk mengabdikan
dirinya di bidang seni, khususnya pelestarian seni lukis karya para pelukis
kenamaan, kini terwujud. Di Ubud, Suteja Neka
juga memiliki gallery, tidak jauh dari rumahnya yang juga ditata apik. (Mustofa AS/2.1)
Harian Umum "AB"
8 Februari 1989
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.