Ketua GIDI Temui Presiden Jokowi
Islamedia – Ketua GIDI Papua
Lipiyus Biniluk, mengakui dua orang yang ditetapkan Tersangka oleh Polisi
merupakan anggota jemaatnya.“Memang
dua ini anggota GIDI. Mereka pemuda dan sudah dibawa ke Polda Papua,” ujarnya
di Jakarta, Jumat (24/7/2015). “Proses
hukum yang akan membuktikan, karena data semua sudah ada,” tandasnya
Terkait
adanya peraturan daerah yang melarang pembangunan rumah ibadah, Lipiyus
membenarkan hal tersebut. Ia berdalih, Perda itu dibuat sehubungan dengan
adanya otonomi khusus Papua.
Untuk
diketahui, sejumlah pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) menemui Presiden
Jokowi di Istana Merdeka, pada Jumat (24/7/2015) setelah 2 orang jemaatnya
ditetapkan sebagai tersangka tragedi teror di tolikara.[islamedia/YL]
http://islamedia.id/akui-jemaatnya-tersangka-teror-tolikara-ketua-gidi-temui-presiden-di-istana-merdeka/
Tolikara, Toleransi dan Permainan
Media Sekuler
Islamedia – Pihak, kelompok, ras
termasuk agama apapun, takkan bisa dan takkan suka digeneralisasi gara-gara
adanya oknum yang meresahkan ataupun berbuat hal yang amat memalukan. Tapi, ada
saja orang-orang yang sukanya mem-blow up oknum agama tertentu (dalam hal ini
Islam). Apalagi kalau ada orang Islam yang berbuat kesalahan, pasti
berhari-hari akan jadi bulan-bulanan media sekuler.
Masih
hangat dalam ingatan kita, sebuah masjid di Kabupaten Tolikara, Papua dibakar.
Tepat di hari raya paling mulia bagi umat islam di seluruh dunia. Pelakunya
oknum dari agama yang minoritas di negeri ini, tapi menjadi mayoritas di Papua
sana. Insiden memilukan beberapa waktu lalu itu, memang dilakukan oleh
“oknum-oknum” gereja yang ternyata punya kerja sama dengan Zionis-Israel. MoU
atau Perjanjian ini terkonfirmasi secara jelas di dalam website resmi GIDI
Indonesia.
Ramai-ramai
beberapa media sekuler memihak kalangan Gereja. Terjadilah pengaburan dan
penyesatan opini. Yang nyatanya dibakar itu masjid, dibilang musholla bahkan
cuma sebuah kios. Yang menjadi korban adalah muslim Tolikara, dibilang ada
sebagian pihak pembakar masjid yang mengalami luka tembak. Celakanya lagi, Imam
masjid tersebut dicap Wahabi oleh Gusdurian, hanya gara-gara bahu membahu berdakwah
dengan kawan-kawan Hidayatullah padahal sang imam masjid adalah warga
Nahdliyin.
Sekilas
mungkin kedengaran fair-fair saja, mayoritas mendominasi yang minoritas.
Normal. Tapi kalau dicermati lebih lanjut, jelas ini tidak fair. Mendominasi,
harusnya bukan berarti menzalimi. Coba lihat muslim Papua dan muslim Rohingya,
mereka sama-sama minoritas, mereka tidak dominan dan mereka dizalimi, dianiaya
sampai sebegitunya. Bahkan Palestina yang mayoritas pun, bisa diusir dari
tempat tinggalnya karena kebrutalan Zionis.
Belum lagi kalau membicarakan muslim di Eropa yang jangankan dapat jatah libur hari raya dan kesempatan beribadah mingguan, hak untuk berhijab pun, seperti tak punya. Sudah tak terhitung berapa kali sahabat saya yang berhijab ditatap dengan wajah sinis dari kepala hingga ke kaki dalam perjalanannya ke Jenewa-swiss beberapa bulan lalu.
Kembali
ke topik utama. Muslim sudah biasa jadi bulan-bulanan media sekuler. Islam lah
yang selalu dianggap menebarkan teror, padahal ‘mereka’ lah yang meledakkan
gedung WTC-nya sendiri. Padahal mereka lah yang menciptakan dan membiayai
“teroris” dari al-Qaeda, Boko haram hingga ISIS.
Islam
lah yang simbol-simbolnya dilecehkan dalam media-media, padahal tak ada yang
tahu betapa menyakitkannya itu bagi kami. Lantas mana wujud toleransi untuk
kami? Kami hanya butuh toleransi yang sederhana sekali. Yakni haknya untuk
menjalankan keyakinannya, tanpa dihakimi, apalagi dizalimi seperti di Kabupaten
Tolikara.
Tak
usah berkoar-koar tentang ide toleransi dihadapan Kami. Toh kami sudah diajari
sedari dulu tentang apa dan sejauh mana toleransi beragama itu. Yaitu Lakum
diinukum wa liya diin: Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Sekedar perbandingan antara Pak Harto dan bapak Jokowi. Dikutip dari status facebook Mas Ipan (fadh ahmad arifan). Pada tahun 1995 saat Muslim bosnia dizalimi militer Serbia, Pak Harto kirim dana dan senjata. Adapun tahun 2015 saat Muslim Tolikara dizalimi oleh Gereja injili, Jokowi entah kemana. Sekali lagi, kami minta aparat kepolisian segera menangkap pelaku pembakaran masjid, tegakkan hukum!. Jangan karena oknum dari pihak gereja injili dibekingi Zionis Israel lantas aparat jadi segan kepadanya.
Deden
Fathurrahman:Wirausahawan di bidang Desain Komunikasi Visual, Alumnus ITS Surabaya
Insiden Tolikara dan Toleransi Beragama
Ahad 2 Syawal 1436 / 19 Juli
2015 
Oleh: Agastya
Harjunadhi
Presiden Aliansi Pemuda
Islam Indonesia (APII)
NSIDEN yang terjadi
di Musala Baitul Mustaqin di Kabupaten Tolikara, Papua, yang terjadi pada
pelaksanaan salat Idul Fitri 1436 H, Jumat (17/7) pagi, telah mencoreng
kehidupan toleransi antar umat beragama di Indonesia. Hal ini sangat disesalkan
karena lagi-lagi umat Islam menjadi korban.
Sebagai warga negara
Indonesia, kita telah sepakat bahwa negeri ini memiliki semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Semboyan yang memiliki makna “berbeda-beda namun tetap satu
jua” ini tentu memiliki kontekstualitas yang tanpa batas selama dalam
koridor konstitusi bernegara yakni yang dibangun berlandaskan Pancasila dan UUD
1945 sekaligus yang dijiwai oleh Piagam Djakarta 22 Juni 1945, sebagaimana
pengakuan sekaligus pengesahan oleh Soekarno sendiri, Presiden pertama RI dan
Panglima Tertinggi Angkatan Perang NKRI “…Bahwa kami berkejakinan bahwa
piagam djakarta tertanggal 22 djuni mendjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut..” .
Dalam pasal 29 UUD
jelas di pasal (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal (2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Disebutkan perulangan
setelah tercantum dalam Preambule UUD 1945, Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa ini memberikan isyarat penguatan bahwa negara kita adalah negara
yang mengakui asas kehidupan berketuhanan. Kehidupan yang menjamin agama-agama
yang diakui agar bebas menjalankan sesuai syariat masing-masing. Maka dapat
disimpulkan insiden Tolikara telah melanggar konstitusi hukum yang dijunjung
tinggi di Negara hukum Indonesia ini.
Selain itu, insiden
Tolikara juga melanggar nilai moral dan etis bangsa timur yang terkenal santun,
tenggang rasa, saling menghormati dan beradab.
Kini toleransi di
Indonesia tercoreng kembali. Kasus penyerangan, pembubaran ibadah, pembakaran
masjid umat Islam yang dilakukan oleh pihak Gereja Injil di Indonesia (GIDI)
atau oknum di Kabupaten Tolikora, membuat umat Islam terusik. Tindakan tidak
beradab itu dilakukan justru ketika umat Islam merayakan hari raya dan sedang
menjalankan Ibadah agamanya. Insiden ini sangat sensitif karena bernada
sentimen agama.
Kami hanya ingin
mengajak segenap umat kristian berempati kepada umat Islam, ketika anda di
gereja sedang ibadah lalu ada sekelompok orang membubarkan dan membakar gereja
anda, bagaimana perasaan anda? Tak hanya tempat ibadah tapi juga harta benda
pribadi serta asset anda dijarah dan dibakar, bagaimana perasaan anda?
Sebagai warga Negara
Indonesia yang taat hukum, segenap hati kami meminta agar seluruh elemen bangsa
menjunjung tinggi hukum Negara kita. Kita juga harus menjaga harkat dan
martabat bangsa yang rukun damai penuh toleransi sebagai bentuk pribadi yang
beradab.
Maka sungguh adalah
pribadi yang tidak beradab, bagi mereka yang menginginkan kerusuhan dan
perpecahan bangsa. Dan orang-orang yang menggerogoti kerukunan, keutuhan dan
persatuan NKRI inilah musuh kita bersama, musuh bangsa dan Negara.
Tanpa kecuali terkait
insiden ini, seruan segenap kami adalah meminta aparat hukum memproses sesuai
hukum yang berlaku di Indonesia dan diberikan sanksi jera.
Selain itu, sebagai
bentuk komitmen dan itikad baik dalam menjaga toleransi antar umat beragama,
kami meminta pihak Dewan Gereja Indonesia (DGI) mendesak Gereja GIDI yang
beraliran evangelista untuk meminta maaf kepada umat Islam Indonesia.
Kami juga meminta
Presiden RI, Jokowi dan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla untuk menangani secara
serius insiden yang mengakibatkan kerugian bagi umat islam ini. Kami mendesak
Jokowi dan JK menjadi ligamen penguat erat tali persatuan demi keutuhan bangsa
Indonesia. Kami para generasi muda bangsa siap dengan komitmen tinggi untuk sinergi
dalam kebaikan, membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, damai,
beradab dan berkeadilan.
Mari bersama-sama
menjaga keutuhan bangsa Indonesia, menuju bangsa yang menegakkan secara utuh
nilai-nilai Pancasila dan mentaati hukum sebagai bentuk penjagaan harkat dan
martabat bangsa. Kita adalah satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sumber: Islampos.com, 19 Juli 2015
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.