Mahasiswa Indonesia di Mesir kembangkan citra positif
SAAT ini sekitar 3.000 pelajar/mahasiswa
Indonesia tengah menimba ilmu di Mesir. Mereka umumnya berasal dari
pesantren/madrasah dan perguruan tinggi dari pelosok Tanah Air merantau
menuntut ilmu di sejumlah perguruan di sana.
Zaini Hasan (30 tahun), mahasiswa tingkat
tiga Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, setelah menamatkan
pelajarannya di Gontor tahun 1987,dan mengabdikan diri selama dua setengah
tahun di tempat ia dididik selama empat tahun, ia memilih belajar di Kairo.
Sebagai kader Gontor, mahasiswa ini
dibiayai oleh pesantren modern di Ponorogo itu bersama 18 kader lainnya, dua di
antaranya puteri. Bersama teman-temannya, mahasiswa kelahiran Wonokromo Tengah,
Jatim, itu kini tinggal di asrama Madinatul
Buust Al Islamiyah, Kairo.
Selain belajar, Zaini juga aktif di Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia
(HPMI) Mesir dan ia membidangi kesenian dalam kepengurusan organisasi itu..”Kami
mempunyai program memperkenalkan seni yang islami, musik, band, puisi, kegiatan
ilmiah, pelatihan jurnalistik, dan temu wicara dengan para pakar,”ujar Zaini
menjawab pertanyaan Angkatan Bersenjata
di Kairo belum lama ini.
Menurut Zaini, ketika baru pertama kali
bergaul dengan orang-orang Mesir, ia mengalami kesulitan dan merasakan
orang-orang Mesir sulit dipahami. Namun setelah lama bergaul ternyata mereka
mudah bersahabat,
sehingga ia banyak teman di sana. Sedangkan dalam kuliah
kesulitan yang ia hadapi di antaranya masalah bahasa Arab slang yang belum banyak ia pahami. Sehingga ia lebih banyak
memahami materi kuliah dari buku-buku.
![]() |
Boer Mauna |
Sejak kedatangannya di Kairo, Zaini Hasan
belum pernah pulang kampung. Katanya, bukan ia tak rindu kampung, tetapi karena
tidak punya uang, ditambah masa-masa ujian mengharuskan ia tetap berada di
Kairo. “Sarana telekomunikasi ada tetapi tak ada duit untuk menelpon,” ujarnya
sambil menuturkan, ia memperoleh uang saku 73 LE (Pound Mesir) atau sekitar Rp
47.450, dan tinggal di asrama yang ditanggung
Pemerintah Mesir karena Zaini
lancar dalam studinya. Bagi mahasiswa yang stuidinya tidak lancar alias pernah
tidak naik tingkat hanya memperoleh 62 LE atau sekitar Rp 40.300 .(1 LE sama
dengan Rp 650). Sedangkan mahasiswa yang tidak tinggal di asrama memperoleh 120 LE atau Rp 78.000 per bulan.
Zaini mengatakan ia kuliah setingkat S1
dengan menempuh paket kuliah14-16 pelajaran yang harus habis dalam satu
semester. Selain itu ia harus hafal dua juz Alquran dalam satu tingkat
(setahun).”Dalam empat tahun kami diuji 8 juz Alquran, dengan pertimbangan
karena orang Asia dinilai kurang mampu menghafal, padahal untuk mahasiswa asal
Mesir mereka diharuskan hafal Alquran 7 juz dalam setahun,”katanya. Wajib hafal
Alquran ini diperuntukkan bagi mahasiswa Ushuluddin (ilmu-ilmu dasar agama),
Syariat (hukum), Islamic Study, dan Fakultas Bahasa.
Sebagai mahasiswa di Kairo, Zaini juga pernah ikut program isi kantong dengan bekerja pada PT Tiga Utama pada musim haji
dengan honorarium yang lumayan. Untuk pergi ke Arab Saudi ia dan sejumlah
temannya harus mencari modal untuk biaya perjalanan dengan cara utang.”Ongkos
kapal laut dari Suez ke Jeddah pp dengan perjalanan dua malam tiga hari sebesar
350 dolar AS,”katanya.
Terkadang ia dan teman-temannya juga
mnenyediakan dirinya sebagai badal haji, di samping menjual
benda-benda cenderamata kepada Jemaah haji.”Tapi dalam dua tiga tahun ini
rasanya sulit bekerja pada musim haji karena
selalu bertepatan dengan ujian, sehingga kantong kering,”tutur mahasiswa
yang berpenampilan kalem dan murah senyum ini.
Tamatan Gontor lainnya, M. Ghozali
Moenawar, memilih fakultas filsafat di Al Azhar. Di perguruan yang memiliki
14.000 mahasiswa dan tersebar di
sejumlah provinsi di Mesir itu, ia kini duduk di tingkat terakhir.”Setelah dari
Kairo saya ingin melanjutkan studi di Amerika,”tuturnya. Sedangkan Najib
Tabhan, yang baru menamatkan S-1 Fakultas Teologi Al Azhar, sebelumnya belajar
di Pondok Pesantren Darul Dakwahj Wal
Irsyad, Pare-pare, Sulsel.
Sebagai mahasiswa Ghozali termasuk aktif,
selain berkiprah di iCMI Orwil Afrika dalam Divisi Sumber Daya Manusia dan
Pembudayaan, ia juga bendahara Orsat ICMI Cairo. Arek Lamongan ini juga aktif
menulis dan memimpin penerbitan buletin ICMI. Anggota ICMI di sana kini
sebanyak 203 orang.
Tamatan
Gontor tahun 1988 ini mengabdi di
Ponpes Darunnajah, Jakarta, selama satu setengah tahun, ditambah pengalaman di
Lembaha Islam dan Bahasa Arab.
Ketika ditanya apakah mereka tidak bisa mencari uang sambil belajar? Baik
Zaini, Najib Tabhan, maupun Moenawar Ghozali mengatakan di Mesir mahasiswa
dilarang bekerja, agar bisa konsentrasi dalam memperoleh ilmu.
Nusantara
Tidak semua mahasiswa beruntung memperoleh
beasiswa dari Pemerintah Mesir, karrena batasan yang ada. Dewan Tinggi Urusan
Islam di sana, misalnya, menetapkan mahasiswa Indonesia yang memperoleh
beasiswa tahun ini sebanyak 20 orang, sedangkan yang datang lebih dari jumlah
itu.”Untung di sini ada organisasi mahasiswa yang bisa membantu mahasiswa yang
baru datang,”kata Moenawar.
Moenawar kini tinggal di Sekretariat ICMI,
di kawasan Nasr City. Di kawasan ini ada rumah makan Nusantara, satu-satunya
rumah makan masakan Indonesia di Kairo yang dikelola oleh sejumlah mahasiswa
kita, berpatungan usaha dengan penduduk
setempat.
Nusantara yang menyajikan menu Indonesia,
di antaranya rendang dan soto, menjual
rokok dan juga mi instan buatan Indonesia. Pelanggannya umumnya pelajar dan
mahasiswa Indonesia. Maka, harga makanan pun disesuaikan dengan jangkauan
kantong para mahasiswa.
Para mahasiswa Indonesia di Mesir banyak
juga yang tinggal di apartemen, dengan menyewa secara patungan. Sewa apartemen
di sana relatif murah, apartemen yang
lumayan seluas 65m2 dikenakan sewa sekitar Rp 600.000/bulan biasanya lengkap
dengan perabotan rumah tangga (termasuk AC), air gratis, listrik dan telepon
dihitung borongan, misalnya tagihan listrik 200 LE perbulan, telepon 200 LE per 6 bulan. Sedangkan biaya telepon
internasional, misalnya dari Kairo ke Jakarta, dikenakan 10 LE per tiga menit.
Para mahasiswa biasanya menempati apartemen
yang sewanya 100-150 dolar AS per bulan dan bisa dihuni dua sampai empat orang.
Untuk makan ala Indonesia mereka rata-rata menghabiskan 10 LE per hari , tetapi
kalau ingin makanan yang lebih murah mereka membeli makanan di rumah-rumah makan orang Mesir biasanya berkisar 5-6LE.
Makanan orang Mesir sehari-hari adalah eis,
terbuat dari tepung gandum yang dipanggang, dan rasanya gurih. Harga nasi lebih
mahal dari eis. Misalnya harga beras
2LE per kg, jika dibelikan eis akan
memperoleh 20 lembar yang berukuran selebar piring kecil.
Apresiasi
HUBUNGAN Mesir –Indonesia sangat berkembang
terutama dari segi kemahasiswaan, karena banyaknya mahasiswa Indonesia yang
menuntut berbagai disiplin ilmu di sejumlah kota di sana. Mereka datang ke
Mesir memperoleh beasiswa dari Pemerintah RI cq Departemen Agama, ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia), beasiswa dari Pemerintah Mesir, dan lembaga di
samping biaya mahasiswa sendiri.
Masyarakat setempat umumnya menyambut baik
keberadaan para mahasiswa Indonesia di negara yang berpenduduk 60,2 juta jiwa
lebih itu. “Dengan bangga saya katakan bahwa
masyarakat Mesir menilai
mahasiswa Indonesia di Mesir serius dan tidak pernah menimbulkan masalah serta memiliki disiplin yang tinggi,”tutur
Dubes RI untuk Republik Arab Mesir, Dr Boer Mauna.
“Ketaatan dalam beragama para mahasiswa kita juga memperoleh apresiasi dari masyarakat setempat. Para
pejabat dan masyarakat di kota-kota di mana mahasiswa Indonesia berada menilai para mahasiswa kita bersungguh-sungguh dalam belajar, sangat
kooperatif, termasuk bila ada kegiatan yang diselenggarakan masyarakat
setempat,”kata Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Arab Mesir
itu.
Sebagai cerminan sambutan baik itu, kata
Boer Mauna, Oktober tahun lalu Syeh Al Azhar memberikan dispensasi kepada 400 mahaiswa Indonesia untuk belajar di Universitas
Al Azhar walaupun mereka belum lagi siap dari segi administratif maupun
persamaan ijazah.
Mahasiswa Indonesia di Mesir nomor tiga
terbesar setelah Amerika dan Eropa.”Kami memberikan pembinaan khusus kepada
mereka karena merekalah bagian terbesar dari masyarakat Indonesia di
Mesir,”tutur mantan Dubes RI di Maroko itu.
Para mahasiswa Indonesia di sana umumnya
berasal dari lingkungan kehidupan keagamaan yang kuat, dari madrasah dan
pesantren, sehingga mereka memiliki nilai-nilai keagamaan yang teguh. Sehingga
masyarakat setempat menghargai dan menyambut baik mereka.
Di Mesir terdapat 15 kelompok yang satu
sama lain erat berhubungan. Menurut Boer Mauna, mereka juga merupakan duta-duta kita yang ikut
mengembangkan citra positif Indonesia di luar negeri, khususnya di Mesir.
Terhindar
DALAM memeriahkan HUT ke-50 RI di Mesir,
kata Mauna, KBRI Kairo membentuk tim kesenian terpadu dan satu tim pameran
kebudayaan, separuh dari tim berasal dari mahasiswa Indonesia di Mesir. “Mereka
melakukan kegiatan bersama KBRI sepanjang tahun dengan mengunjungi enam kota besar,”kata Dubes RI di
Kairo itu. Sehingga masyarakat bukan hanya
mengetahui hubungan antara kedua negara
dan bangsa yang terjalin baik, tetapi mereka melihat pula kesenian dan
kebudayaan yang ditampilkan mahasiswa
dan KBRI mulai April di Alexandria dan
berakhir di Tanta September lalu.
Para mahasiswa kita memiliki 15 buletin,
mereka memperoleh bantuan informasi bagi penerbitan mereka dari Kedubes RI.
Para pelajar dan mahasiswa sering
berkonsultasi dengan KBRI.”Kami mendukung
upaya-upaya mahasiswa supaya mereka
dekat dan tidak merasa asing di luar negeri, dan mereka tetap
mengembangkan budaya sendiri. Sehingga terhindar dari pengaruh dan
gangguan budaya asing,”kata Dubes yang
pernah menjadi mahasiswa selama 12 tahun
di Paris itu.
(mustofa as/2.8)
Harian Angkatan Bersenjata
Jumat, 22 Desember 1995
No comments:
Post a Comment
Silakan beri komentar, terima kasih.